Sabtu, 08 Agustus 2015

IMAN HARUS NYATA DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN PRAKTIS

IMAN HARUS NYATA DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN PRAKTIS
Matius 17:24-27


Bapak/ ibu yang kekasih,
Iman yang benar bukan sekedar sebuah teori yang memenuhi alam pikiran kita, tetapi iman yang benar lebih kepada sebuah terobosan yang menerapkan isi firman Tuhan dengan bijaksana. Iman Kristiani bukan iman duniawi, yang memakai cara-cara duniawi dan dengan format duniawi.
Karena itu bapak/ ibu yang kekasih,
Kekristenan yang asli adalah kemampuan menerapkan iman sejati dalam kehidupan praktis secara bijaksana, termasuk dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam kehidupan kita. Demikianlah firman Tuhan dalam Yakobus 2:26 yang berkata: “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.”
Berbicara tentang Hak dan Kewajiban, ini adalah dua hal yang sangat melekat dalam kehidupan kita. Kedua-duanya harus memiliki perhatian yang seimbang dalam menjalankannya. Sebab jika hak tanpa disertai dengan kewajiban maka itu adalah sebuah keserakahan. Sebaliknya kewajiban tanpa disertai dengan hak adalah kesewenang-wenangan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan, jika kita memperhatikan Matius 17:24-27 lebih seksama, sebenarnya perikop ini bukan sekedar membahas soal bea untuk Bait Allah. Tetapi pokok persoalannya adalah ada pada bagaimana caranya kita menerapkan iman dengan tepat melalui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada kita.
Berbicara soal kewajiban, khususnya dalam hal membayar pajak, rupaya bukan hal baru bagi kita. Kewajiban ini sudah terjadi sejak jaman dulu. Dalam Keluaran 30:11-16 kita melihat bagaimana Allah memerintahkan Musa untuk menetapkan suatu persembahan khusus bagi Tuhan. Inilah yang melatarbelakangi kisah yang ditulis dalam Matius 17:24-27 ini.
Saudara dalam PL, pajak ini dibebankan kepada umat sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap pemeliharaan dan kelangsungan aktivitas di Bait Allah waktu ituMaka berdasarkan Keluaran 30:13, ditetapkanlah setiap laki-laki Yahudi yang berusia diatas  dua puluh tahun harus membayar pajak tahunan Bait Allah sebesar setengah syikal. Pembayaran setengah syikal yang diwajibkan bagi semua orang ini dipergunakan untuk mengganti semua biaya yang berkenaan dengan penyembahan di sana.
Bait Allah di Yerusalem membutuhkan biaya sangat besar untuk memeliharanya. Setiap hari pastinya ada kurban pagi hari dan sore hari yang masing-masing membutuhkan seekor anak domba berumur satu tahun. Disamping anak domba yang dipersembahkan, ada juga anggur, tepung dan minyak yang melengkapinya. Demikian juga dengan kemenyan yang dibakar setiap hari harus dibeli dan dipersiapkan. Jubah para imam yang mahal harus selalu diganti, dan jubah Imam Besar sendiri harganya senilai pakaian seorang raja. Itu semua semua membutuhkan uang.
Saudara,
Uang ini disebut sebagai, “uang pendamaian karena nyawanya” (Keluaran 30:12). Dan nilai setengah syikal adalah sama nilainya dengan dua drakhma/Dinar Yunani. Yang pada zaman Tuhan Yesus biasanya disebut sebagai Dirham.
Dalam hal ini, bea Bait Allah sebesar 2 Dirham adalah setara dengan gaji 2 hari kerja waktu itu. Bea yang dituntut bukanlah pembayaran sipil kepada pemerintahan Romawi tetapi sebagai tanggung jawab keagamaan, khususnya pajak bagi Bait Allah.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Dikisahkan ketika Yesus tiba di Kapernaum (tempat dimana Petrus dilahirkan), demikian dituturkan oleh nas kita, pemungut pajak datang dan bertanya kepada Petrus, salah seorang murid Yesus: Apakah Gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?Petrus menjawab, Ya, memang membayar (Ayat 24-25).
Saudara, pertanyaan para pemungut bea ini sebenarnya sangat sederhana, tetapi jika kita kritisi lebih mendalam pertanyaan ini bukan sekedar sebuah pertanyaan, sebab di dalamnya terkandung unsur jebakan layaknya suatu pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang Farisi. Karenanya saat penagih pajak ini tahu bahwa Tuhan Yesus tengah menginap di rumah Petrus, mereka bertanya kepada Petrus, yang menjadi pemilik rumah.
Atau kemungkinan yang lain adalah para petugas ini memiliki keseganan untuk bertanya langsung kepada Tuhan Yesus. Rupanya mereka tidak berani terang-terangan menjumpai Tuhan Yesus, sehingga ia hanya bertanya kepada Petrus.
Yang jelas saudara, percakapan petugas bea Bait Allah dengan Petrus ini begitu singkat dan mungkin sekali terjadi di depan pintu rumah Petrus. Karenanya ketika Petrus hendak masuk kembali ke dalam rumah, secara ajaib Tuhan Yesus tahu apa yang terjadi dan bagaimana Petrus menjawab mereka.
Saudara, dikatakan sebagai jebakan, sebab pertanyaan ini dilontarkan dengan tujuan yang jahat, petugas bea Bait Allah ini sebenarnya mengharapkan jawaban “tidak” dari Tuhan Yesus.
Perhatikan saudara, kalau seandainya Tuhan Yesus menolak untuk membayar, pastinya ada alasan bagi mereka akan mengatakan bahwa Tuhan Yesus adalah seorang yang tidak menghargai ibadah di Bait Allah, dan para pengikut-Nya adalah orang-orang yang tidak taat pada hukum, karena tidak lagi membayar pajak, upeti atau bea (bdk. Ezra 4:13). Dengan demikian, sangat mudah bagi mereka untuk mendiskreditkan Tuhan Yesus, sebagai seorang pemimpin bangsa Yahudi yang tidak nasionalis.
Dilain pihak, coba perhatikan bagaimana Petrus menjawab pertanyaan mereka dengan spontan: Memang membayar Sehingga dengan jawaban ini maka petugas itu langsung pergi, dengan pengertian bahwa bea itu akan dibayarkan kelak.
Saudara, jika kita membaca percakapan Tuhan Yesus dengan Petrus kemudian, saat Petrus mengatakan “dari orang asing?” (ayat 25), maka sebenarnya jawaban ini tidak cocok dengan jawaban Petrus kepada pemungut bea.
Dari sini kita mendapat kesan bahwa Petrus menjawab para petugas pajak itu dengan ngawur, ia sekedar menyenangkan hati mereka, supaya percakapan itu tidak menyulitkan dia. Ia mengatakan sesuatu yang tidak dipikir lebih dahulu. Hal ini terjadi karena reaksi Petrus kepada Kristus tidak tepat.
Saudara, respon sejati seharusnya dipikir baik-baik, respon sejati seharusnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Demikian pula saat kita menjawab karena takut kepada manusia dan ingin menyenangkan manusia maka jawaban kita pastinya akan menjadi ngawur. Sebaliknya basis jawaban kita seharusnya berpusat kepada Kristus yang berdaulat atas kita. Jadi jangan asal jawab! Iman sejati pastinya memberikan kepada kita jawaban sejati.
Iman bukan hanya ada di awang-awang tapi iman itu nyata, yaitu bagaimana kita menghadapi persoalan di dunia ini, bagaimana kita bereaksi dengan tepat kepada Kristus ketika kita menghadapi persoalan di dunia ini. Kalalu iman kita tepat maka jawaban kita pastinya juga tepat.
Jika demikian, jika Petrus sadar bahwa dia sudah salah menjawab kepada pemungut bea. Dalam kondisi seperti ini, pastinya ada macam-macam pilihan reaksi yang dapat timbul yaitu:
1.    Petrus tetap melakukan pembayaran.
Karena Petrus sudah berani berbicara, maka yang harus dia lakukan adalah ia harus segera membayar bea. Tetapi jika hal ini dilakukan, bukankah akan berdampak buruk terhadap status Tuhan Yesus. Dia yang adalah Allah, Raja di atas segala raja masakan soal membayar bea harus dibayarkan oleh anak buah.
2.  Petrus mencabut omongannya,
Ketika Petrus sadar bahwa ia telah salah berbicara, seharusnya ia akan bergegas mencari petugas bea dan meralat perkataannya dan mengatakan bahwa Gurunya tidak mau membayar. katakan kalau tidak mau bayar. Saudara ini lebih celaka! Karena ini bukan hanya memalukan Petrus, tetapi pastinya ia akan dianggap telah melakukan konspirasi dan seorang pelanggar hukum.
3.  Yesus yang bayarkan.
Saudara pilihan ketiga mungkin lebih aman sebab seharusnya Yesus memang membayar. Tetapi rupanya pilihan ini juga salah, karena Raja di atas segala raja seharusnya tidak perlu bayar.
Jadi apa yang harus dilakukan oleh Petrus? Situasi ini rupanya bertambah rumit bagi Petrus. Karenanya saat ia memalingkan wajahnya hendak masuk ke dalam rumah, Tuhan Yesus tahu apa yang terjadi. Dan Tuhan Yesus  bertanya kepada Petrus: Apakah pendapatmu, Simon? dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?” (ayat 25) Jawab Petrus: Dari orang asing!Maka kata Yesus kepadanya: Jadi bebaslah rakyatnya (ayat 26).
Dari sini kita memahami, bahwa Tuhan Yesus sedang ingin mengetahui secara pribadi mengenai isi hati Petrus. Bagaimana dia memahami tentang pribadi Yesus dan bagaimana iman Petrus kepadaNya. Nyatanya saat Tuhan Yesus menanyakan secara lembut satu pertanyaan yang menyentuh hatinya, Petrus baru menyadari sehingga ia mampu menjawabnya dengan benar. Karena itu ia berkata: Dari orang asing!Maka kata Yesus kepadanya: Jadi bebaslah rakyatnya (ayat 26).
Jika demikian, apakah masalahnya selesai sampai disitu? Belum saudara! Masih ada satu hal yang penting yang ingin Tuhan Yesus ajarkan kepada Petrus dan juga kepada kita hari ini, yaitu.
Kita tahu bahwa pemerintah Romawi saat itu sedang menjajah tanah Palestina, mereka memungut pajak dari bangsa Yahudi. Para pemungut cukai atau pajak ditugaskan untuk memungut pajak untuk pemerintah Romawi.
Nyatanya bila seorang raja memungut pajak dari suatu bangsa, maka ia pasti membebaskan keluarganya sendiri dari kewajiban itu. Pajak itu justru dipungut untuk menanggung biaya keluarga raja.
Nah sekarang, pajak yang dipersoalkan disini adalah pajak bagi Bait Allah, yang adalah rumah Allah. Kita memahami bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah. Bukankah Ia pernah berkata ketika orang tuaNya mencariNya di Yerusalem: “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” (Lukas 2:49). Jadi bagaimana mungkin Anak wajib membayar pajak bagi rumah BapaNya sendiri?
Sebenarnya Yesus, selaku Anak Allah, secara pribadi tidak berkewajiban untuk membayar bea bagi rumah Allah. Ia seharusnya bebas dari soal tanggung jawab membayar pajak untuk Bait Allah.
Tapi disinilah hal yang penting untuk kita simak. Dalam ayat 27 dijelaskan: “Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka...”
Saudara, perkataan Tuhan Yesus ini adalah hal yang luar biasa, suatu sikap yang menandakan kerendahan hati. Memang dalam soal Tuhan Yesus membayar bea untuk Bait Allah merupakan bentuk pemenuhan tuntutan pemimpin Agama. Dan sekarang Ia pun memenuhi tuntutan pembayarnya bea bagi diri-Nya yang sekalipun Dia adalah Anak Allah.
Karena itu saat pertanyaan Tuhan Yesus ditujukan kepada Petrus secara pribadi bahwa raja-raja memungut pajak dan bea itu hanya dari orang-orang asing, maka sebenarnya Tuhan Yesus hendak menyatakan satu hal bahwa Ia sekalipun lahir ditengah-tengah bangsa Yahudi, tetapi sebenarnya Ia bukanlah bangsa Yahudi.
Kalau Tuhan Yesus bukan seorang Yahudi, lalu dari bangsa manakah Dia? Saudara, jawabannya sederhana: “Tuhan Yesus adalah Anak Allah. Ia datang dari sorga ke dalam dunia, dilahirkan dalam bangsa Yahudi untuk menyelamatkan umat manusia dari hukuman Allah atas dosa manusia. Ia adalah Pencipta langit dan bumi. Ia menciptakan ikan yang ada di danau. Ia mengenal ikan yang membawa empat dirham itu.”
Ungkapan Tuhan Yesus tentang “Supaya tidak menjadi batu sandungan bukan berarti Ia tunduk kepada aturan dunia, tetapi berusaha menghormati apa yang diatur oleh dunia, dan supaya tidak menjadi contoh yang buruk sehingga tidak memberi kesaksian yang baik bagi orang lain mengenal Kerajaan Allah.
Pada sisi yang lain, Tuhan Yesus mengerahkan kuasaNya menolong Petrus agar bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain. Tetapi ini bukanlah karena sebuah tuntutan kewajiban dunia, melainkan karena ada kewajiban yang lebih tinggi yang harus Ia penuhi.  Karena itu Tuhan Yesus berkata: “Kita harus membayar supaya jangan memberi contoh buruk bagi orang lain. Kita tidak hanya harus melakukan tugas kita, tetapi kita juga harus melaksanakan hal-hal yang lebih besar karena dengan cara itu kita menunjukkan kepada orang lain hal-hal yang seharusnya mereka lakukan.”
Dalam hal ini saudara, Tuhan Yesus tidak akan membiarkan diriNya mengajarkan sesuatu yang dapat membuat orang mengabaikan kewajiban hidupnya sehari-hari. Karena itu kita pun tidak boleh membiarkan diri kita menjadi contoh buruk bagi orang lain.
Ketika Tuhan Yesus diperhadapkan dengan soal kewajiban orang Yahudi untuk membayar pajak bait Allah, Ia pun tidak menghindar, karena nyataannya kewajiban membayar pajak Bait Allah tidak tercantum dalam hukum Taurat. Peraturan itu dibuat oleh para pemimpin agama. Tetapi walaupun demikian, Tuhan Yesus tetap membayarnya karena Ia tidak ingin menjadi batu sandungan bagi para pemimpin agama (ayat 27).
Dengan demikian Ia tidak menjadikan diriNya suatu pertentangan dengan para pemimpin agama Yahudi karena tidak menaati peraturan. Sebaliknya, dalam hal ini Tuhan Yesus telah memperlihatkan bahwa hak dan kewajiban adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang yang punya hak maka konsekwensinya dia juga harus punya kewajiban dan tanggung jawab. Semakin besar hak dituntut maka semestinya semakin besar pula kewajiban atau tanggung jawab yang diemban.
Kalau Petrus mengakui bahwa Kristus adalah Tuhan, Mesias Anak Allah yang Hidup. Raja di atas segala raja. Seharusnya Petrus menjawab bahwa Tuhan Yesus tidak perlu bayar bea, Dialah pemilik alam semesta ini, justru manusia yang seharusnya bayar kepada Tuhan Yesus. Semua persembahan seharusnya diberikan kepada Tuhan.
Saudara, Kita seringkali tidak menempatkan Kristus sebagai Allah kita. Kalau ada yang tanya tentang Kristus, seharusnya kita jawab bahwa Dia adalah Tuhan, Raja di atas segala raja. Kita seringkali takut menyatakan kebenaran. Konsep tentang Allah adalah pemilik hidup kita seringkali tidak diaplikasikan dalam hidup kita.
Iman sejati adalah iman yang menyatakan siapakah Kristus itu. Hampir seluruh kekristenan sudah salah memandang kepada Kristus. Kristus diperlakukan sebagai pembantu, sebagai teman baik. Padahal, Kristus adalah satu-satunya objek iman yang patut kita pegang. Kalau kita berpegang kepada Kristus, pastinya kita tidak akan hanyut oleh arus dunia.
Jawaban Tuhan Yesus atas persoalan yang dihadapi Petrus di atas adalah: Petrus harus jalan ke danau, lalu mancing, di dalam mulut ikan pertama yang diperoleh ada uang 4 dirham, pakai uang tersebut untuk bayar bea. Jadi yang membayarkan bea sebenarnya adalah ikan yang dipakai Tuhan. Dalam hal ini, Petrus tidak menjadi malu, Tuhan Yesus sebagai Raja di atas segala raja juga tidak melakukan pembayaran.
Dengan demikian, Tuhan pastinya punya cara dan sistim diluar pemikiran manusia. Otak kita cuman 300 cc, jadi jika kita mengandalkan otak kita, tidak mungkin kita sanggup memikirkan pemecahan dari persoalan dunia. Yang dapat kita lakukan adalah percayakan sepenuhnya hidup kita kepada Kristus, maka Dia yang akan menyelesaikannya.
Iman Kristen adalah iman yang realistis artinya apa yang kita imani mampu direfleksikan dalam kehidupan praktis kita. Beriman kepada Kristus berarti kita melakukan satu terobosan dari sekedar menjalani kehidupan.
Dengan demikian, Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa iman Kristen dan Kewarganegaraan yang baik seharusnya dapat berjalan bergandengan tangan. Orang kristen yang membebaskan dirinya dari kewajibannya sebagai warga negara yang baik tidak hanya gagal menjadi warga negara, tetapi ia juga gagal dalam menjalankan iman Kristennya. 
Iman Kristen bukan hanya untuk hari ini saja, tapi untuk seluruh perjalanan waktu hidup kita, kita harus jatuh bangun dalam menghidupi iman kita, yang akan membawa kita semakin hari semakin bersandar kepada Tuhan. Itulah pertumbuhan, itulah proses pengudusan (sanctification). Amin

1 komentar: