Kamis, 26 Maret 2015

MATI UNTUK LEBIH BERBUAH

MATI UNTUK LEBIH BERBUAH
Yohanes 12:20-26

Sidang jemaat yang kekasih,
Malam ini sengaja saya mengajak kita untuk membaca satu perikop yang cukup unik khususnya juga sangat tepat dibawakan menjelang peringatan minggu-minggu sengsara Tuhan Yesus. Yaitu soal pemberitaan Tuhan Yesus mengenai kematianNya.
Dikatakan unik saudara, karena dalam perikop ini kita mendapati satu percakapan yang tidak biasanya kita temui dikalangan para murid. Orang-orang yang hadir dalam percakapan pada perikop ini, salah satunya adalah orang-orang Yunani.
Saudara, patut kita ketahui bahwa tema penting dari kitab Yohanes adalah bahwa Yesus adalah Juruselamat dunia. Tuhan Yesus bukan hanya Penebus Israel. Sebagaimana yang dituliskan oleh Yohanes dalam Yohanes 1:29, bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Domba Allah yang menghapus dosa-dosa dunia.
Karena itu perikop yang kita baca hari ini, lebih menjelaskan bahwa berita Injil, karya dan pengajaran Tuhan Yesus, ternyata sudah didengar oleh orang-orang non-Yahudi, khususnya kepada orang-orang Yunani.
Ayat 20 menjelaskan: “Diantara mereka yang berangkat untuk beribadah pada hari raya itu, terdapat beberapa orang Yunani.”
Saudara siapakah yang dimaksud dengan orang-orang Yunani? Kalau kita memperhatikan pada teks asli saudara, yang dimaksud dengan “orang-orang Yunani”/ “Ellénés” adalah mereka yang secara etnik bukan orang Yahudi. Tetapi mereka sudah biasa datang dan menyembah pada perayaan Paskah. Mereka bukan pendatang yang ingin tahu atau penyelidik yang datang satu kali. Kedatangan mereka sangat jelas dicatat adalah untuk menemui Tuhan Yesus.
Saudara, secara tidak langsung ini menjadi satu kontrak mengenai keinginan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang bukan Yahudi dalam hal menemui Tuhan Yesus. Orang-orang Yahudi seringkali datang kepada Tuhan Yesus karena mereka ingin melihat tanda (Matius 12:38; 1 Korintus 1;22), tetapi orang-orang Yunani ini datang kepada Tuhan Yesus justru karena mereka ingin bertemu dengan Tuhan Yesus.
Lagi pula, saudara, orang-orang yang bukan Yahudi ini datang dalam rangka mengikuti perayaan paskah. Dari sini kita melihat saudara, tentunya yang dimaksud dengan orang-orang Yunani ini adalah adalah orang-orang yang juga takut akan Tuhan,” namun belum menjadi percaya di dalam Yesus. Karena itulah mereka datang ingin menemui Tuhan Yesus.
Nah saudara, saat orang-orang Yunani itu datang, mereka menemui Filipus. Mengapa Filipus? Memang kita tidak mendapatkan penjelaskan mengapa mereka mendatangi Filipus.
Bisa saja karena saat orang-orang ini datang di Bait Allah, wajah Filipuslah yang dilihat pertama kali oleh mereka. Namun rupanya saudara, Filipus adalah nama Yunani dan mereka mengira bahwa seorang dengan nama Yunani akan memperlakukan mereka dengan penuh simpati. Karena itu mereka datang kepada Filipus. Akan tetapi rupanya Filipus tidak mengetahui apa yang harus diperbuat, dengan cekatan ia pun membawa mereka kepada Andreas.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Andreas yang lebih dikenal sebagai seorang yang suka membawa orang kepada Yesus (Yohanes 1:41, 12:22). Bisa jadi mereka berdua adalah rekan akrab karena sering disebut bersama-sama.
Andreas dan Filipus seringkali berperan seperti seseorang humas yang mengantarkan orang kepada Yesus. Mereka memiliki keterampilan yang lebih dalam soal bergaul. Dalam Yohanes 6:1-15, tertulis bahwa Tuhan Yesus pernah meminta kedua murid ini, untuk bertanggung jawab memberi makan orang banyak.
Karenanya saat Filipus mendatangi Andreas, maka dengan segera keduanya membawa orang-orang Yunani itu berjumpa dengan Yesus.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Kita tidak tahu apakah Tuhan Yesus sempat bercakap-cakap khusus dengan orang-orang Yunani ini atau tidak. Tetapi Alkitab hanya mencatat, saat Tuhan Yesus bertemu dengan mereka, Tuhan Yésus berkata: telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan” (ay. 23).
Sejenak perkataan Tuhan Yesus dengan dimuliakan dimengerti berbeda oleh para pendengarNya saat itu. Mereka menganggap perkataan ini merujuk pada kemenangan Yesus saat para penjajah bertekuk lutut di hadapanNya. Mereka lebih memahami pengertian ini dalam arah politis. Sebab jika Ia mengatakan hal itu, maka para pendengar seharusnya merasa lebih lega karena sebentar lagi raja mereka akan menyatakan kemenangannya.
Namun sebenarnya apa yang diucapkan oleh Tuhan Yesus tentang “dimuliakan” lebih berbicara tentang kematianNya. Dan Tuhan Yesus jauh melihat kedepan melampaui salib yaitu kepada kemuliaan yang akan datang setelah kematian.
Karena itu Tuhan Yesus menjelaskan secara lebih rinci dengan sebuah perumpamaan soal benih. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji sajal; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (ayat 24).
Saudara, Tuhan Yésus meng-gunakan gambaran tentang sebuah benih adalah untuk menjelaskan kebenaran rohani yang penting, bahwa tidak ada kemuliaan tanpa penderitaan, tidak ada hidup yang berbuah tanpa kematian, tidak ada kemenangan tanpa penyerahan.
Pastinya ada satu keindahan jikalau benih itu “mati” dan memenuhi tujuannya. Seandainya sebuah benih dapat berbicara, benih itu pasti akan mengeluh karena ditaruh di tanah yang belap dan dingin. Namun, satu-satunya cara supaya benih itu dapat mencapai tujuannya adalah dengan cara ditanam.
Saudara, ini merupakan hal yang sangat lazim kita ketahui dalam dunia pertanian bukan, bahwa dari satu biji benih yang ditanam akan menghasilkan banyak buah saat ia menjadi tumbuh besar. Sebab biji tidak akan efektif dan berguna jika tetap disimpan saja seperti apa adanya. Hanya saat ia dilemparkan di tanah yang dingin, ditanam dalam sebuah tanah, maka kelamaan ia akan bertumbuh dan berbuah.
Demikian pula kenyataan yang terjadi di dalam pribadi Tuhan Yesus. Satu-satunya jalan yang dipakai Allah agar karya Tuhan Yesus sempurna adalah Tuhan Yesus harus mati dan dikuburkan, akan tetapi kematian-Nya tidak akan pernah menjadi sia-sia. Sebaliknya dengan kematian dan kebangkitanNya, Ia akan menghasilkan banyak buah. Karena itu bagi Tuhan Yesus kematian adalah peristiwa Dia untuk dimuliakan.
Kemudian Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal” (ayat 25).
Sidang jemaat yang dikasihi Tuhan,
Tuhan Yesus mengatakan bahwa hanya dengan mengorbankan hidup, orang akan mendapatkan hidup itu. Sebaliknya orang yang mencintai hidupnya seringkali didorong oleh dua macam tujuan, yaitu oleh nafsu mementingkan diri sendiri dan oleh keinginan untuk rasa aman.
Dari sini kita mendapatkan satu pemahaman bahwa orang yang mencintai nyawanya akan menjaga supaya ia tidak kehilangan nyawanya. Tetapi hukum ini ingin mengatakan kepada kita bahwa kalau ia melakukan hal itu ia justru akan kehilangan nyawanya, dalam arti ia tidak mendapatkan hidup yang kekal. Sebab orang yang mencintai nyawanya justru sedang menghancurkan nyawanya sendiri
Sebaliknya saudara dikatakan: barangsia tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Maksudnya adalah  kita harus rela menderita dan mati jika hal itu berguna bagi Tuhan.
Saudara, William Barclay menceritakan tentang seorang penginjil terkenal yang bernama Christmas Evans yang selalu aktif memberitakan Injil. Teman-temannya memintanya untuk mengurangi kegiatannya atau untuk lebih berhati-hati, tetapi ia menjawab: Adalah lebih baik terbakar habis dari pada berkarat sampai habis.
Dengan demikian saudara,
Jika hidup dianggap sebagai tujuan akhir, jika orang tidak mau berkorban, jika orang takut mati untuk Tuhan, jika orang mati-matian melindungi hidupnya, dan hidup itu menjadi berhala, maka hidup/ nyawa itu akan sendirian saja. Artinya ia tidak akan pernah mendapatkan kehidupan yang kekal.
Sebaliknya jika seseorang mau berkorban untuk Tuhan, dan bahkan mau mati, maka hidup itu tidak akan sendirian, tetapi ia akan berbuah banyak.
Dari sini kita memahami bahwa membenci hidup sendiri menunjukkan sikap yang menilai hal-hal sorgawi lebih penting daripada hal-hal yang ada di dunia. Karena itu orang yang mengikut Yesus, seharusnya tidak lagi mementingkan kesenangan pribadinya, atau filsafat, kesuksesan, nilai-nilai dirinya dari dunia. Sebab apa yang kini telah mereka miliki di dalam Kristus jauh lebih indah dari semua kesenangan dunia.
Saudara, pernyataan ini sama dengan apa yang dirasakan oleh Paulus, ketika ia menuliskan Filipi  3:7 Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.
Karena itu, Tuhan Yesus menyambung pembahasan ini dengan berbicara soal pelayanNya/ pengikutNya. Soal murid-muridNya.
Di ayat ke-26, Tuhan Yesus berkata; Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan dimana Aku berada, disitu pun pelayanKu akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Beriman kepada Yesus Kristus berarti komitmen pribadi untuk mengikuti Dia, memelihara dan menaati semua ajaranNya serta berada dimana Dia ada. Mengikut Kristus juga sama artinya kita harus berani menyangkal diri dan memikul salib bagi kristus.
Namun sekalipun mengikut Kristus mencakup banyak hal, seperti belajar Firman Tuhan, berdoa, mentaati Tuhan, dsb, tetapi dalam ay 26 ini yang paling ditekankan adalah soal kerelaan untuk menderita bagi Kristus. Yang artinya setiap pelayan Tuhan yang mau mengikut Kristus, dengan sadar ia harus siap menanggung penderitaan bagi Kristus. Sebab orang-orang yang demikian akan dihormati oleh Bapa.
Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan, menjelang minggu-minggu sengsara yang akan kita peringati sebentar lagi. Marilah kita kembali untuk mengingat pengorbanan Tuhan bagi kita. Ia yang “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:6-8).
Tuhan Yesus telah membuktikan kasihNya yang luar biasa bagi kita. Ia rela mati untuk menghasilkan buah yang banyak bagi pekerjaan Tuhan. Pertanyaannya bagi kita, maukah kita hidup bagi Kristus? Siapkah kita menjadi kepanjangan tangan Tuhan di tengah-tengah dunia ini, supaya melalui kehidupan kita ada banyak orang yang diselamatkan Tuhan. Amin.

MENGANDALKAN TUHAN

MENGANDALKAN TUHAN
Yesaya 31:1-9

Pendahuluan:
Kaum ibu yang kekasih,
Umumnya manusia tidak pernah suka dengan yang namanya celaka. Celaka adalah sesuatu yang sangat menakutkan untuk dibicarakan dan dialami oleh seseorang dan kalau bisa tidak pernah terjadi dalam kehidupannya.
Namun anehnya saudara, dalam kehidupan kita sehari-hari, sadar atau tidak sadar, kita justru lebih suka memilih untuk celaka, daripada menjalani kehidupan yang lebih baik. Mereka berpikir kehidupan yang mereka jalani adalah kehidupan yang dapat diaturnya sesuka hati, tanpa lebih dahulu mempertimbangkan campur tangan Tuhan didalamnya. Bahkan yang terjadi lebih sering seseorang mengandalkan apa yang dilihatnya, daripada mengandalkan Tuhan.
Karena ibu-ibu,
Hari ini kita diingatkan kembali bahwa Tuhan sangat menghendaki orang-orang yang dikasihiNya dapat hidup mengandalkan Dia.
Nabi Yeremia pernah menuliskan janji Tuhan yang mengatakan bahwa: "Diberkatilah orang yang mengan-dalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!" (Yeremia 17:7).
Dari sini kita melihat saudara,
Bahwa hidup mengandalkan Tuhan merupakan topik yang sangat menarik dan bagus untuk kita pelajari dengan lebih serius. Kenapa? Karena, tidak bisa kita pungkiri, di dalam realitas kehidupan kita dewasa ini, manusia memiliki tendensi untuk beralih kepada hidup mengadalkan diri sendiri, lebih mengandalkan kemampuan orang lain atau sesuatu yang dimilikinya. Sehingga yang terjadi mereka tidak lagi dengan sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan.
Yang lebih tragis lagi, kenyataan ini bukan hanya dilakukan orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Tetapi orang yang mengaku diri anak-anak Tuhan, mereka yang mengaku diri orang Kristen, justru mereka juga dengan terang-terangan tidak mengandalkan Tuhan.
Saudara,
Apa artinya hidup mengandalkan Tuhan? Hidup mengandalkan Tuhan adalah Hidup menaruh kepercayaan kepada Tuhan yang memiliki otoritas tertinggi di dalam kehidupannya, yang dengan kesanggupan, kekuatan, dan kemampuan yang dimiliki Allah menjamin kehidupan kita.
Masalahnya saudara, saat orang Kristen diperhadapkan dengan masalah, kesulitan hidup, pergumulan yang berturut-turut, serta tantangan hidup yang tak kunjung henti, hal yang pertama kali terpikirkan justru adalah siapa yang bisa diajak untuk curhat.
Ibu-ibu yang kekasih,
Kembali kepada pokok bahasan kita, dalam Yesaya 31. Pasal ini mengulas kecaman Allah atas umat Israel yang tidak setia. Yang hidupnya lebih mengandalkan kekuatan manusia daripada kekuatan Allah.
Memang tidak dapat disangkali, pengalaman yang pernah dialami bangsa Israel saat mereka melihat bangsa Mesir, menjadikan mereka memiliki pandangan yang salah. Mereka berpikir kekuatan Mesir yang terkenal dengan tentara berkudanya, adalah bukti kekuatan mesir yang tidak terkalahkan. Kereta-kereta kuda mereka yang gagah perkasa dianggpnya mampu menyelamatkan orang Israel dari serbuan musuh.
Karenanya saat mereka diperhadapkan dengan kondisi yang sulit. Bangsa Israel lebih cenderung untuk mengandalkan kekuatan militer Mesir daripada datang untuk meminta pertolongan kepada Tuhan (31:1).
Namun saudara, apa yang dipikirkan bangsa Israel, rupanya dibantah Tuhan dalam ayat 3. Allah menyatakan bahwa harapan Israel akan menjadi sia-sia jika mereka mengantung kepada bangsa Mesir.
Alasan Allah dinyatakanNya dalam ayat 3: "Sebab orang Mesir adalah manusia, bukan allah, dan kuda-kuda mereka adalah makhluk yang lemah, bukan roh yang berkuasa. Apabila Tuhan mengacungkan tanganNya, tergelincirlah yang membantu dan jatuhlah yang dibantu, dan mereka sekaliannya habis binasa bersama-sama." (Yesaya 31:3).
Saudara ayat ini sangat jelas memberikan kesaksian kepada kita bahwa Mesir dan segala perlengkapan perangnya bukanlah sesuatu yang dapat menjamin kelangsungan hidup manusia. Sebab hanya tangan Tuhanlah yang berotoritas atas segalanya. Karena itu, Allah memastikan kehancuran bagi siapa yang mengandalkan kekuatan Mesir.
Dengan demikian kaum ibu yang kekasih,
Firman Tuhan yang disampaikan melalui Nabi Yesaya ini menyiratkan adanya pesan bahwa Allah tidak suka dengan orang yang mengandalkan kekuatan lain selain Allah. Apalagi hal yang salah ini justru dilakukan oleh umat pilihanNya.
Demikian pula dengan kehidupan kita saat ini. Sebagai orang percaya, kadangkala hati ini lebih tergoda untuk mengandalkan kekuatan manusia bukan? daripada hidup berserah kepada Tuhan. Hati-hati saudara, Jangan sampai kita terjebak dengan jaminan yang ditawarkan dunia. Didunia ini tidak ada jaminan yang mampu memberikan garansi yang bernilai kekal. Dunia hanya mampu menawarkan garansi yang sifatnya sementara waktu, dan itu pun terbatas pada hal-hal tertentu saja.
Tetapi berbeda dengan garansi yang ditawarkan Allah. Allah memberikan garansi yang nilainya kekal. Garansi yang tidak dapat digugat oleh siapa pun juga.
Sebab apabila ada seseorang yang berusaha menggugat keputusan Allah, Allah sendiri akan berdiri menghadapi mereka. Dikatakan seperti seekor singa atau singa muda menggeram untuk mempertahankan mangsanya, dan tidak terkejut mendengar teriakan seluruh pasukan gembala yang dikerahkan melawan dia, dan tidak mengalah terhadap keributan mereka, demikianlah Tuhan semesta alam akan turun berperang untuk memper-tahankan gunung Sion dan bukitnya.” (Yesaya 31:4).
Saudara,
Dikatakan seperti seekor singa yang mempetahankan mangsanya dari ancaman apa saja, Allah bertindak melindungi umatNya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada satu hal pun yang mampu menggentarkan Allah dalam melindungi umat kesayanganNya. Justru dengan kuasaNya yang besar, Allah akan berdiri dan menghardik siapa saja yang mau merebut umatNya dari tanganNya.
Dari sini menjadi bukti kepada kita,
Apa gunanya anak-anak Tuhan takut dengan masalah hidup? Untuk apa orang percaya kuatir akan hidup? Yang harus kita mengerti adalah, Allah memang terkadang mengijinkan masalah datang menimpa kita, tetapi bukan berarti Allah akan berdiam diri, dan menutup mata terhadap keluh kesah kita.
Masalah diijinkan Tuhan menghampiri kehidupan anak-anak Tuhan dengan satu maksud supaya kita makin berserah dan mengandalkan Tuhan dalam hidup. Masalah diijinkan Tuhan datang dalam kehidupan kita seperti sebuah batu loncatan untuk iman kita dapat semakin bertumbuh di dalam Tuhan.
Bisa dibayangkan saudara,
Apabila disepanjang kehidupan kita, tidak ada satu masalah pun yang datang menimpa kita. Kita mungkin akan bertumbuh menjadi orang yang sombong, seorang yang angkuh di hadapan Tuhan, karena kita tidak lagi membutuhkan kekuatan Allah untuk menolong hidup kita.
Karena itu ibu-ibu yang kekasih,
Mari kita kembali kepada apa yang Tuhan ajarkan kepada kita. Percayalah tidak ada satu hal pun yang tidak mungkin tidak bisa kita lewati bersama Tuhan. Sebab Tuhan menjanjikan dalam 1 Korintus 10:13 “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
Hanya masalahnya, maukah kita belajar mengandalkan Tuhan dalam hidup kita atau tidak.
Yang Tuhan mau terjadi dalam kehidupan kita adalah, kita sadar dari kesalahan hidup kita, dan mulai untuk bertobat kepadaNya.
Yesaya 31:6 berkata: “Bertobatlah, hai orang Israel, kepada Dia yang sudah kamu tinggalkan jauh-jauh.”
Mungkin selama ini kita tidak pernah ingat untuk mengandalkan Tuhan. Mungkin selama ini, kita menganggap membutuhkan Tuhan jika kita merasa perlu.
Jika itu yang kita lakukan, Tuhan berkata: bertobatlah. Berbaliklah kembali kepada Dia yang menjamin kehidupan kita.
Sebab disaat kita menyadari kesalahan yang kita buat. Disaat kita melakukan pertobatan di hadapan Tuhan, maka apa yang dulu kita anggap sebagai sesuatu yang bisa menjamin hidup kita, mendorong kita untuk menyingkirkan hal yang tidak berguna di hadapan Tuhan.
Dalam hal inilah, Yesaya menggambarkan seperti tindakan bangsa Israel yang sedang membuang berhala-berhala peraknya dan berhala-berhala emasnya yang pernah dibuatnya saat mereka berdosa.” (ayat 7).
Ibu-ibu yang kekasih,
Apa yang dinyatakan oleh Yesaya terhadap bangsa Israel, kiranya menjadi pelajaran berharga bagi kita yang hidup saat ini.
Kita memang tidak bisa menghilangkan persoalan dalam kehidupan kita. Persoalan akan selalu datang di sepanjang kehidupan kita. Hanya yang membedakan kita dengan orang yang belum mengenal Tuhan adalah, bagaimana kita menghadapi persoalan yang datang menghampiri kita, yaitu dengan jalan mengandalkan Tuhan dalam segala hal.
Hidup mengandalkan Tuhan, terkadang membutuhkan proses yang panjang. Di dalamnya mungkin kita diperhadapkan dengan masalah yang bisa mengikis iman kita. Namun Tuhan telah berjanji kepada kita, apabila kita bisa mengatasi setiap persoalan hidup kita bersama dengan Tuhan.
Yaitu orang yang mengandalkan Tuhan dalam hidupnya, akan senantiasa menjadi seorang yang diberkati oleh Tuhan. Kembali saya ingin mengajak kita untuk membaca firman Tuhan dari Yeremia 17:7, “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!" Amin!

HIDUP BAGI INJIL

HIDUP BAGI INJIL
1 Korintus 9:19-23

Sidang jemaat yang kekasih di dalam Tuhan,
Bulan ini, kita masih berbicara tentang Firman yang Mengajar Hidup Bersosial. Masih ingatkah saudara dengan tema minggu pertama kita? Minggu pertama berbicara tentang “Hidup Saling Membantu”, Minggu kedua kita berbicara tentang “Hidup Yang membawa Dampak bagi Sesama.” Dan Minggu yang lalu kita membahas Keistimewaan Manusia.Namun saya tidak akan mengulang kembali apa yang telah dibahas dalam tiga minggu terakhir itu saudara.
Tetapi maksud saya menyinggung kembali tema-tema kita adalah supaya kita dapat melihat satu rangkaian pembicaraan yang terarah padaFirman Yang Mengajar Hidup Bersosial.
Dan hari ini, kita akan membahas bagaimana seharusnya anak-anak Tuhan dapat Hidup Bagi Injil.Bagaimana Injil dapat dibawa dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk ini?
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Saat orang Kristen berada dalam keragaman masyarakat, kita pasti berupaya agar identitas kristiani kita tetap melekat dengan kuat. Namun kenyataannya, dalam rangka memperta-hankan identitas diri ini, tentu saja tidaklah mudah.
Di dalam suatu pergaulan, orang-orang Kristen menghadapi suatu dilema. Di satu sisi mereka diminta untuk menjadi terang supaya dunia percaya pada Tuhan Yesus dan untuk itu mereka harus bergaul dengan orang-orang yang ada di dunia, sambil berusaha dapat terus menggarami mereka. Tetapi di sisi yang lain orang kristen tidak boleh tercemar oleh dunia.
Masalahnya saudara, keadaan ini semakin menjadi sulit karena masyarakat yang kita hadapi semakin lama semakin majemuk, baik dalam hal kepercayaan, pandangan hidup, serta pada masalah kebiasaan-kebiasaan mereka. Keberagaman dari masyarakat dunia inilah yang pada akhirnya menjadi satu tantangan tersendiri bagi orang-orang Kristen.
Dengan kondisi yang demikian, orang-orang Kristen sebenarnya sedang diperhadapkan dengan semakin banyak-nya perangkap yang dapat mengikis kebenaran iman Kristen.
Hingga yang terjadi pada umumnya saudara, orang Kristen lebih memilih berdiam diri, daripada harus berurusan dengan masalah benturan iman. Orang Kristen menjadi anti atau sulit sekali berbaur dengan orang-orang yang berbeda dari dirinya. Kehidupan yang over protektif ini, bukanlah hal yang dikehendaki oleh Tuhan.
Pada ekstrim yang lain adalah adanya orang Kristen yang mencoba untuk mengadopsi banyak hal dari masyarakat sehingga sadar atau tidak sadar identitas kristianinya menjadi kabur bahkan tidak bisa lagi untuk dibedakan.
Dalam hal inilah seharusnya kekristenan memiliki batasan-batasan yang menjadi prinsip-prinsip penuntun bagi orang-orang Kristen di dalam pergaulannya dengan dunia. Prinsip-prinsip ini terangkum di dalam suatu etika pergaulan Kristen. Apa yang boleh dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan sebagai orang Kristen.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan
Jika kembali kepada pengertian Gereja, Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia. Dan Implikasi dari panggilan yang khusus ini menjadikan Gereja Tuhan harus menjauhkan diri dari sikap “essenis” atau sikap yang menganggap diri paling benar dan suci, dan menganggap yang lain lebih rendah dari dirinya.
Sebaliknya saudara, Gereja seharusnya dapat mulai membangun relasi dengan dunia. Namun yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah relasi yang seperti apakah yang harus dibangun oleh Gereja Tuhan masa kini? Dan bagaimanakah relasi ini dapat dibangun dengan baik tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Alkitab?
Saudara,
1 Korintus 9:19-23 adalah satu pengajaran yang menjelaskan prinsip-prinsip di dalam pergaulan orang percaya ditengah-tengah dunia. Paulus memberikan satu teladan bagi kita bagaimana membawa diri dengan tepat di dalam sebuah keberagaman.
Konteks yang dihadapi oleh Paulus sangat jelas saudara. Dimana, Paulus sedang berbicara mengenai pelayanan-nya di tengah-tengah jemaat Korintus yang juga sangat beragam. Namun dengan Hikmat Allah, Paulus mampu membawa pesan Injil, hingga dapat dengan efektif sampai kepada tiap-tiap golongan yang ada dalam jemaat, baik kepada orang Yahudi dengan hukum Tauratnya yang begitu ketat, kepada orang-orang non Yahudi yang tidak hidup dibawah hukum Taurat. Kepada mereka yang kuat, maupun mereka yang lemah.
Saudara, Rasul Paulus tidak terjebak menjadi seperti orang asingyang tidak bisa didekati, atau seperti orang yang ekslusif ditengah-tengah kehidupan mereka yang lemah maupun yang hidup bebas karena dilihat terlalu kuat dan terikat hukum Taurat. Sebaliknya, Rasul Paulus juga tidak menjadi orang yang diremehkan atau dipandang sebelah mata oleh mereka yang kuat dan taat pada hukum Taurat karena dilihatnya Paulus telah berbaur dengan yang lemah dan yang hidup bebas dari Taurat. 
Ini semua terjadi karena prinsip utamanya adalah Allah. Tujuan keberadaan Paulus ditengah-tengah jemaat yang majemuk adalah supaya ia dapat memenangkan sebanyak mungkin orang dalam Kristus.
 Saudara, sebagai seorang Pengkhotbah yang ternama, sebagai seorang Rasul yang tengah naik daun, Paulus bisa saja memanfaatkan pergaulan yang dia bangun untuk mendapatkan ketenaran atau dukungan di dalam pelayanannya, tetapi itu bukanlah tujuan dari hidupnya. Ia tidak bermaksud mencari keuntungan diri sendiri dari setiap pelayanan yang dikerjakannya. Sebaliknya, tujuannya adalah murni semata-mata karena Allah, dan supaya Injil Allah itu dapat diterima oleh banyak orang.
Karena itu saudara, dengan segala cara Paulus berusaha menjangkau banyak orang, asalkan itu tidak bertentangan dengan aturan tertinggi dalam hidupnya, yaitu pengajaran Kristus.
Dengan demikian, sama seperti Tuhan Yesus, Rasul Paulus ingin mengingatkan kepada kita bahwa Injil seharusnya berlaku untuk siapa saja, dengan latar belakang dan kondisi yang bagaimana pun juga, Injil seharusnya mampu menjawab setiap kebutuhan orang.
Yang berikutnya saudara,
Bagaimana mengetahui batasan-batasan di dalam sebuah pergaulan? Saudara, sekalipun tujuan yang akan dicapai itu adalah mulia, namun jika dilakukan dengan cara yang tidak benar, hasilnya tetap tidak benar.
Demikian pula jika tujuan yang akan dicapai itu adalah salah, walaupun dilakukan dengan cara yang benar, maka hasilnya pun akan salah.
Terlebih lagi jika tujuan yang akan dicapai itu salah, kemudian dilakukan dengan cara yang salah, hasilnya pasti seratus persen salah.
Karena itu yang seharusnya dilakukan adalah kita harus memiliki tujuan yang benar, dan dilakukan dalam cara yang benar, hingga hasil yang kita dapatkan pun adalah benar.
Kembali kepada pembahasan kita, penyesuaian yang dilakukan oleh Rasul Paulus ini bukanlah penyesuaian yang asal-asalan atas segala hal. Dalam usaha menjangkau orang, Rasul Paulus tetap membatasi diri dibawah hukum Kristus. Dengan kata lain, sejauh penyesuaian ini tidak melanggar firman Tuhan maka Paulus akan melakukannya.
Saudara di ayat 19, dijelaskan: Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.
Perhatikan kalimat ini saudara, Paulus menggunakan kata “bebas” sebagai kata pertama dalam penjelasan kalimatnya. Kata ini ditempatkan oleh Paulus sebagai kesimpulan dari ayat 1-18 dengan penekanan yang sangat kuat, bahwa ia bebas dari kebergantungan keuangan dari siapapun.
Dengan tidak menerima kompensasi dari jemaat di Korintus untuk setiap pelayanannya, Paulus dapat bebas dari tekanan yang dapat mengekang kotbahnya.
Namun saudara, walaupun Paulus memberikan penekanan pada kata bebastetapi dia kemudian memberikan pernyataan yang kontras dengan menambahkan bahwa ia menjadikan dirinya sendiri hamba dari semua orang”.
Dari sini kita mendapatkan satu pemahaman bahwa Paulus sedang menerapkan prinsip hidup orang Kristen ditengah-tengah kehidupan sosial yang beragam. Ia meneladani prinsip hidup Tuhan Yesus, yang hidup sebagai hamba dan melayani manusia.
Jadi, apakah sebenarnya yang menjadi tujuan Paulus ketika ia membuat dirinya sendiri menjadi hamba dari semua orang? Saudara, pertanyaan ini dijawab oleh perkataan Paulus di akhir ayat 19, yaitu “supaya dapat memenangkan sebanyak mungkin orang.
Dalam hal ini, Paulus menuliskan kalimat ini sebanyak 5 kali pada ayat 19-22. Hal ini menyatakan satu indikasi bahwa motivasi Paulus untuk melakukan semua ini adalah motivasi yang tulus yang keluar dari hati nurani yang murni hanya demi Kristus. Jadi bukan ada maksud untuk kepentingan diri sendiri.
Yang terakhir, bagaimana langkah menjalin relasi ditengah-tengah masyarakat yang majemuk itu?
Sidang jemaat yang kekasih,
Keberadaannya yang telah menjadi manusia yang baru di dalam Kristus tidak menjadikan Paulus seorang yang eksklusif dan menutup diri terhadap lingkungan disekitarnya, tetapi sebaliknya Paulus membuka dirinya dan memberikan kesempatan untuk terjadi proses pengenalan satu dengan yang lain. Dan strategi yang dilakukan oleh Paulus adalah:
-        Menjadi seperti orang Yahudi bagi orang Yahudi (ayat 20).
-        Menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat bagi mereka yang hidup di bawah hukum Taurat (ayat 20).
-        Menjadi seperti orang yang hidup tidak dibawah hukum Taurat bagi mereka yang hidup tidak di bawah hukum Taurat (ayat 21).
-        Menjadi seperti orang yang lemah bagi mereka yang lemah (ayat 22).
Saudara hidup “menjadi seperti” menunjukkan bahwa Paulus bukanlah orang yang egois. Ia tidak menjadikan orang lain seperti yang ia inginkan, tetapi dia bersedia untuk mengerti orang lain dengan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan latar belakang kepercayaan maupun status sosialnya.
Jadi dalam hal ini sangat jelas untuk kita mengerti bahwa Paulus sebagai hamba Tuhan berusaha sedapat mungkin, memahami orang lain di dalam integritas injil, yaitu segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil” (ayat 23).
Dengan demikian saudara, apa yang dilakukan Paulus bukanlah menye-suaikan injil dengan pandangan pendengar, bukan pula menyesuaikan Injil dengan sinkretisme agama-agama setempat. Tetapi apa yang dilakukan Paulus lebih kepada bagaimana ia menjalin hubungan dan berperilaku diantara mereka sebagai satu kesempatan untuk membagikan berita injil.
Pada ayat 20 dikatakan bahwa bagi orang Yahudi Paulus menjadi seperti Yahudi. Bagi orang yang hidup di bawah hukum Taurat, Paulus menjadi seperti orang yang hidup dibawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup dibawah hukum Taurat.”
Ketika Paulus mengatakan hal ini, ia tidak mungkin memaksudkan arti ini dalam pemahaman etnis, karena secara etnis tidak mungkin Paulus berubah dari orang Yahudi menjadi orang non-Yahudi. Sebaliknya ungkapan ini merujuk pada kebiasaan hidup atau budaya non Yahudi. Misalnya, Paulus sedang membicarakan soal kebiasaan makan, karena memang isu di pasal 8-10 adalah tentang makanan.
Jadi maksudnya adalah di tengah komunitas non-Yahudi, Paulus berusaha mengikuti pola makan mereka. Ia tidak keberatan jika harus membeli bahan makanan di pasar yang pastinya sudah dipersembahkan sebelumnya kepada para dewa (10:25-26). Ia juga tidak menghindarkan diri ajakan orang yang tidak percaya untuk makan di rumahnya karena alasan hati nurani (10:27).
Bagi Paulus, sejak ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya, dia adalah ciptaan baru dan menjadi pengikut Kristus sehingga ia bebas dari tuntutan hukum Taurat.
Saudara, tindakan ini membutuhkan keberanian yang besar dan pemahaman teologis yang kuat. Bagi orang Yahudi, makan bersama orang non-Yahudi merupakan sesuatu yang sangat sensitif, bahkan bisa menimbulkan ketidaknyamanan sehingga mustahil untuk dapat dilakukan (Kisah 10:11-15, 28; Galatia 2:11-14).
Demikian pula cara memasak maupun cara makan orang non-Yahudi tidak mungkin memenuhi standart halal versi Yahudi.
Tetapi bagaimana pun juga, Paulus rela membangun relasi dengan orang non-Yahudi dengan resiko bahwa ia harus merasa tidak terbiasa dan berpotensi untuk disalahpahami orang Yahudi yang lain. Ia bisa saja dianggap sebagai pelanggar Taurat atau orang yang gaya hidupnya plin-plan sesuai pergaulan yang ada.
Selanjutnya ayat 21, Paulus menjelaskan: Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup diluar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus.
Saudara, demi Injil Paulus berani hidup tanpa hukum tetapi ia bukanlah pelanggar hukum. Hal ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting bahwa kebebasan Kristiani di dalam Kristus bukan berarti kebebasan mutlak tanpa aturan sama sekali.Kita yang hidup di dalam Kristus, kita memang tidak hidup di bawah Taurat lagi, tetapi bukan berarti bahwa kita bisa hidup secara sembarangan (Roma 6:14-15).
Pada prinsipnya, orang percaya tidak mungkin hidup tanpa hukum. Justru di dalam Kristus, kita hidup di bawah hukum Allah (1 Korintus 7:19).
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa selalu ada batasan dalam kebebasan Kristiani. Dalam kaitan dengan isu seputar makanan, Paulus pun memiliki batasan yang jelas. Ketika ia menerima undangan makan orang lain dan tindakan itu menjadi batu sandungan bagi orang lain, Paulus lebih memilih untuk tidak meneruskan makan (10:28). Yang terpenting adalah keberatan-keberatan itu bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu sendiri, tetapi keberatan-keberatan hati nurani orang lain” (10:29).
Apa yang dilakukan oleh Paulus bukanlah suatu kemunafikan. Tetapi Paulus memikirkan dua tujuan di sini. Yaitu ia berusaha menghindari kesalahpahaman atau fitnahan orang lain yang sering menuduh dia meniadakan tuntutan hukum (Kisah 21:21; Roma 3:8) untuk menyenangkan hati banyak orang (Galatia 1:10).
Tujuan yang lain, ia juga ingin menegur sebagian jemaat Korintus yang menganggap keselamatan di dalam Kristus sebagai alasan untuk hidup sembarangan (5:1-3; 6:13). Sehingga karena kesembarangan mereka menggunakan kebebasan Kristiani, menjadikan mereka batu sandungan bagi orang lain (8:9).
Di sini terlihat jelas bahwa sesungguhnya Paulus bukanlah orang yang anti dengan hukum Allah sebab dia sendiri adalah pribadi yang hidup di dalam kekudusan dan kebaikan. Tetapi dia juga tidak menginginkan orang yang mengatas namakan hukum, pada akhirnya menghalang-halangi seseorang datang kepada Tuhan.
Hal ini menunjukkan satu hal bahwa dengan kehidupan yang fleksibel dalam hal makanan, pakaian dan lain-lain yang bukan menyangkut hal yang prinsipil, ia dapat memenangkan siapa saja bagi Kristus.
Dalam hal ini kita melihat, bahwa Paulus sebagai pekabar Injil yang besar, yang memenangkan lebih banyak orang bagi Kristus daripada orang lain mana pun, melihat betapa esensialnya hal menjadi segala sesuatu bagi semua orang.
Saudara,
Bagi orang-orang yang belum dewasa dalam iman, mungkin gaya hidup Paulus kelihatannya tidak konsekuen. Tetapi kenyataannya, justru ia sangat konsekuen, karena tujuan yang mendorongnya ialah untuk memenang-kan orang-orang bagi Yesus Kristus.
Hal yang terakhir, diungkapkan Paulus dalam ayat 22, “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah
Bapak/ ibu yang kekasih,
Sekilas kita mungkin berpikir bahwa Paulus sedang membicarakan tentang orang yang lemah secara hati nurani di 8:7-13. Tetapi orang-orang yang lemah di sini adalah orang-orang belum percaya yang memiliki status sosial yang rendah. Orang-orang yang belum diselamatkan. Frase ini didukung dengan pernyataan Paulus yang kemudian, yaitu supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah.
Di sinilah terlihat dengan jelas bahwa kebebasan Paulus dari keterikatan dengan manusia mengijinkannya untuk melayani sebanyak mungkin orang.
Paulus sadar bahwa di mata jemaat Korintus, ia tampak sebagai seorang yang lemah. Gaya berkhotbah Paulus terlihat lemah jika dibandingkan dengan para orator ulung waktu itu, baik dari segi isi, penampilannya, maupun gaya ia berbicara. Karena itu ia mengatakan: Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar.” (2:3).
Saudara, pekerjaan Paulus yang kasar sebagai pembuat tenda ikut menegaskan kelemahannya (4:10-13). Namun, dari semuanya itu, ia lakukan supaya ia dapat memenangkan orang lain yang lemah. Demikian pula dengan jawaban Tuhan kepadanya: Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna" (2 Korintus 12:9). Dari sini Paulus disadarkan bahwa keberhasil-annya dalam menjangkau banyak orang bukan terletak pada kepandaiannya, bukan pula karena jerih lelahnya yang telah dicurahkan, tetapi semata-mata karena kasih karunia Tuhan baginya. Inilah yang membuat dia bersukacita.
Saudara,
Jemaat Korintus sendiri dahulu adalah orang-orang yang lemah menurut ukuran dunia (1:26-28). Namun setelah bersentuhan dengan hikmat duniawi mereka malah merasa diri lebih kuat dan hebat (1:18, 22-23). Kesombongan inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam jemaat, sehingga Paulus berkali-kali perlu mengajarkan kepada mereka bahwa kekuatan sejati adalah kelemahan di dalam Kristus (2 Korintus 11:30; 12:5, 9-10; 13:9). Jika kita lemah, maka kita kuat (2 Korintus 12:10a). Sebaliknya, orang yang merasa teguh berdiri maka ia akan jatuh (1 Korintus 10:13). Sebuah paradoks yang indah, bukan!
Dengan demikian, apa yang diajarkan dan dilakukan Paulus di sini bersumber dari ajaran Tuhan Yesus (1 Korintus 11:1). Kristus mau mengasihi orang yang lemah (Roma 5:6). Ia mau menjadi miskin untuk memperkaya orang lain (2 Korintus 8:9). Ia disalibkan dalam kelemahan, tetapi dihidupkan dalam kuasa Allah (2 Korintus 13:4).
Begitu pula dengan Paulus. Ia belajar menjadi lemah menurut ukuran dunia demi injil yang ia beritakan (2 Korintus 6:8-10). Sukacita Paulus adalah ketika kelemahannya justru dipakai Tuhan untuk menguatkan orang lain (2 Korintus 13:9 “sebab kami bersukacita apabila kami lemah dan kamu kuat).
Berkaitan dengan hal itu, rasul Paulus mengatakan: “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya” (1 Korintus 9:23).
Aplikasi
Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Memahami orang lain demi kepentingan Kristus memang tidaklah mudah. Mengutamakan kepentingan orang lain jelas merupakan tugas yang cukup rumit. Terlebih lagi, menjadi seperti orang lain adalah pergumulan yang paling sulit untuk dilakukan.
Namun bukan berarti hal itu adalah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan, sebab bagaimanapun juga, Allah telah memberikan teladan bagi kita.
Sama seperti Kristus telah rela meninggalkan kemuliaan sorga dan menjadi sama seperti manusia – bahkan lebih hina daripada semua orang ketika ia menanggung kutuk Allah di kayu salib – demikian pula kita harus mau menjadi lemah demi keselamatan orang lain. Belajar merendahkan diri demi kepentingan Kristus.
Sarana untuk menjalani kehidupan bagi Injil adalah melalui pergaulan sehari-hari. Pergaulan dapat dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan kabar baik. Untuk itu pemakaian prinsip-prinsip etika pergaulan Kristen ini akan menolong orang-orang Kristen tidak terjatuh di dalam salah satu ekstrem pergaulan, baik yang mengisolasi diri atau yang membuka diri dan mulai “menjual” kebenaran sebagai bentuk penyesuaian di dalam pergaulan. Tetapi mereka dapat menempatkan diri secara tepat sebagai seorang teman tetapi juga sebagai hamba yang bersaksi bagi Tuhan.
Sebagaimana yang pernah Tuhan Yesus katakan, Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Matius 20:26b-28).
Kita melihat saudara,
Paulus tidak selalu keras dalam hal cara memberitakan Injil, tetapi ia belajar peka terhadap keadaan orang yang hendak dilayaninya serta berusaha menyesuaikan diri agar ia dapat diterima dengan baik dan beroleh kesempatan untuk terus dapat memberitakan Injil. Paulus membangun hubungan yang baik dengan semua orang sebagai pembuka jalan bagi masuknya Injil.
Meskipun demikian, bukan berarti Paulus kompromi dengan cara hidup mereka yang tidak berkenan kepada Tuhan. Penyesuaian diri Paulus hanya terbatas dalam hal-hal yang bukan prinsip atau yang tidak bertentangan dengan Firman. Bukan berarti Paulus tidak punya pendirian, melainkan fleksibel. Pendekatan yang fleksibel adalah strategi untuk memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah. Ia tidak ingin terjebak dalam sikap yang kaku, memaksa atau ekstrem, yang justru dapat menghambat pemberitaan Injil.
Karena itu saudara, dalam membangun kehidupan bagi Injil ditengah-tenagh masayarakat yang kita hadapi saat ini, marilah kita meminta pimpinan Roh Kudus agar memiliki sikap yang bijaksana dalam melayani jiwa-jiwa, bukan dengan kekuatan sendiri! 
Sama seperti Paulus telah mengikuti teladan Yesus yang mau berkorban, demikian pula dengan kita, jika demi Injil kita harus kehilangan hak dan kebebasan, mengapa tidak! Sebab hidup yang sedang kita jalani adalah hidup bagi Kristus. Kiranya apa yang diajarkan firman Tuhan kita kali ini dapat menjadi berkat bagi kita. Amin.

Sabtu, 14 Maret 2015

SALIB: PENGORBANAN TANPA PAMRIH

SALIB: PENGORBANAN TANPA PAMRIH
Yohanes 15:13; Filipi 2:6-8


Anak-anak yang dikasihi Tuhan
Berbicara tentang pengorbanan, siapa diantara kita yang pernah mengalaminya? Mungkin korban waktu, korban uang, korban tenaga? Tetapi pertanyaannya, seberapa banyak yang mau berkorban untuk orang lain? Terlebih lagi bagi mereka yang tidak ada hubungannya dengan kita.
Saudara, fakta membuktikan hanya sedikit saja orang yang mau berkorban untuk orang lain. Kalaupun ada, itupun ia lakukan karena ada factor lain yang mempengaruhinya.
Karenanya tidak heran saudara, kalau dalam kehidupan nyata sangat banyak kita temui dimana orangtua yang setengah hati dalam berkorban bagi anak-anaknya. Dan yang sangat menyedihkan, keadaan ini justru banyak kita temui disekitar kita, ada orang tua yang melepas tanggung-jawabnya dengan menyuruh anaknya menjadi peminta-minta di perempatan lampu merah sementara sang ayah duduk manis di warung kopi.
Atau ada suami yang membiarkan isteri mengurusi kebutuhan anaknya sendiri dengan alasan pergi merantau ditempat yang jauh.
Dari sini kita melihat saudara, bahwa hakekat pengorbanan yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari peranan kasih yang menyertainya. Kasihlah yang memungkinkan pengorbanan seseorang menjadi nyata dan seutuhnya.
Jika pengorbanan yang dilandasi tanpa kasih maka itu adalah sebuah keterpaksaan. Jika kasih tanpa dilandasi dengan sebuah pengorbanan maka itu namanya hanya “omong kosong”.
Di dalam kekristenan, berbicara tentang kasih dan pengorbanan, ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Jika kasih harus diungkapkan melalui pengorbanan, maka kita harus merelakan banyak kesenangan diri agar orang lain bisa berbahagia. Pernyataan ini terdengar memang sangat ironis saudara. Namun itulah hakikat sesungguhnya tentang mengasihi dengan tulus. Kita tidak bisa lagi bersenang-senang seorang diri dan membiarkan orang yang kita sayangi mengalami kesusahan. Ketika kasih itu menyelimuti hati kita, maka secara spontan kita hanya ingin melihatnya orang yang kita kasihi dapat tersenyum, entah itu sendirian ataupun saat bersama dengan kita.
Dalam hal ini, berkorban bukan hanya menyangkut soal perasaan tetapi juga menunjuk kepada sebuah keputusan dan komitmen dalam diri untuk berbagi kehidupan dengan orang lain. Adakalanya kita tidak ingin berkorban, namun mau tidak mau kita harus berkorban, disanalah arti pengorbanan yang sesungguhnya. Jadi, berkorban bukanlah sikap pasif, tetapi sebuah tindakan aktif yang didasarkan pada kasih.
Demikianlah yang diungkapkan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya ketika Ia menjelaskan makna kasih yang sejati.
Di dalam Yohanes 15:13 Tuhan Yesus berkata: Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Saudara,
Dari sini kita melihat bahwa Tuhan Yesus tidak sedang berbasa-basi. Ia tidak hanya sedang mengajar dan Ia sendiri tidak melakukannya. Tidak saudara! Sebaliknya Ia sedang menanamkan satu prinsip penting bagaimana kasih dan pengorbanan itu harus dijalankan bersama-sama. Dan itu dimulai di dalam pribadi Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus adalah figure yang rela berkorban demi orang banyak karena kasihNya. Pernyataan ini digenapi sendiri oleh Tuhan Yesus beberapa jam setelah Dia menyatakannya.
Saudara, kejadian ini dimulai di ruang atas saat Tuhan Yesus meneguhkan murid-muridNya dan mengadakan perjamuan yang terakhir dengan mereka. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan pergumulanNya di taman Getsemani. Dan pada babak selanjutnya, kita melihat serangkaian pengadilan yang illegal/ tidak sah, hingga penyaliban-Nya di hadapan orang banyak yang mengejek-Nya.
Saudara,
Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus dapat saja menghindari segala penderitaan, penyiksaan, dan kekejaman yang seperti itu. Dia sama sekali tidak berdosa dan tidak layak untuk mati. Namun mengapa Ia rela melakukannya bagi kita? Hal itu semata-mata dilakukan karena kasihNya yang besar pada Bapa dan kepada orang-orang yang ada dalam anugerah Bapa, sehingga mendorong Tuhan Yesus untuk menyatakan pengorbanan yang sejati hingga Ia naik ke atas kayu salib.
Anak-anak yang kekasih,
Di dalam Injil dicatat bahwa Tuhan Yesus bukan sekedar bergerak menuju kematian yang tidak terhindarkan, tetapi melaksanakannya dengan sikap yang sukarela. Di dalamnya tidak ada kesan ada takdir buta, tetapi Tuhan Yesus jelas yang memegang kendali atas nasibNya sendiri, yang sejalan dengan kehendak BapaNya. Dalam hal inilah Yohanes 10:18 mencatat: “Tidak seorang pun mengambilnya dari padaKu (yaitu nyawa Yesus), melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri. Aku berkuasa memberikannya menurut kehendakKu sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Itulah tugas yang Kuterima dari BapaKu”
Dan sebagai hasilnya saudara, kita dapat diampuni jika mau menerima pengorbanan dan kebangkitan-Nya dengan iman.
Anak-anakku yang kekasih dalam Tuhan.
Alkitab mencatat bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan di atas segala tuhan. Tetapi ketika manusia jatuh ke dalam dosa, upah dosa adalah maut. Pada saat yang sama, Tuhan Yesus juga tidak tega melihat manusia binasa dan mati karena dosa-dosanya.
Yesus yang adalah Tuhan lebih memilih untuk datang ke dalam dunia ini, untuk memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang telah terputus akibat dosa.
Pengorbanan-Nya yang dibangun atas dasar kasihNya yang besar itu, yang dalam bahasa Yunani diungkapkan sebagai kasih "Agape" yaitu kasih kasih yang tulus, tanpa pamrih, tanpa syarat, tidak ada motivasi yang terselubung, tidak ada udang di balik batu. KasihNya murni untuk menjangkau manusia yang sedang menuju kebinasaan, supaya melalui pengorbananNya mereka mendapatkan anugerah keselamatan dari Allah. Inilah bukti ketulusan dari pengorbanan Tuhan Yesus saudara.
Karena itu saudara, dalam Filipi 2:6-8 diungkapkan kepada kita: yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
Dari sini kita melihat bahwa Anak Allah yang Maha Tinggi itu, kini hanya terfokus pada nasib manusia yang sedang binasa. Karena manusia telah berdosa. Manusia telah kehilangan kemuliaan Allah. Maka tidak ada jalan lain bagi manusia untuk selamat dari murka Allah selain Allah sendiri yang mencari pengganti korban untuk menyelesaikan masalah manusia.
Namun, karena tidak ada jalan lain, tidak ada seorangpun yang layak untuk menjadi korban. Maka Allah mengutus Putra TunggalNya untuk turun ke dalam dunia, menjadi sama dengan manusia, hanya saja Ia tidak berdosa. Tuhan Yesus menjalani rencana Bapa dengan jalan harus mati di kayu salib. Kasih yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus ini adalah kasih yang tidak egois, tetapi kasih yang disertai dengan pengorbanan. Pengorbanan untuk menerima hukuman salib yang diterimaNya di bukit Golgota.
Anak-anakku yang kekasih,
Apa artinya salib bagi kita? Jika Kekristenan adalah Kristus, maka salib-Nya adalah kunci untuk mengerti tentang Dia. Salib menyatakan telah rusaknya akhlak manusia hingga manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Salib merupakan lambang penghukuman. Salib juga menyatakan kasih Allah yang sangat besar kepada manusia.
Jika dilihat dari Pihak Allah maka:
- Salib adalah Jalan pembenaran. Maksudnya adalah Allah menggantikan kita dengan memberikan Yesus untuk menanggung hukuman akibat dosa (2 Korintus 5:21). Alkitab mencatat bahwa Yesus: dihina, dicemooh, dinista, direndahkan, dihujat, dijadikan terkutuk, dibuat jadi dosa kita harus melihat diri kita disitu.
- Salib adalah tanda pengampunan dan Penebusan. Kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib, menandakan penebusanNya telah sempurna hingga Allah berkenan untuk kembali mengampuni kita (Efesus 1:7; Kolose 1:14).
-  Salib adalah tanda pembenaran kita. Kita patut mengerti bahwa Allah membenarkan kita bukan karena kesalehan kita, Allah membenarkan kita bukan karena kecakapan kita, tetapi pembenaran itu dilakukan Allah karena penebusan yang dilakukan Tuhan Yesus bagi kita (Roma 3:24). Sehingga tidak ada andil sedikit dari usaha manusia untuk mengusahakan keselama-tannya.
-  Salib adalah bentuk kesetiaan. Kita melihat, Tuhan Yesus sendiri setia pada kehendak BapaNya sampai mati. Dia dikirim oleh Allah Bapa untuk menebus kita semua, Dia mengalami penderitaan yang luar biasa, dan sampai disalib sebagai korban bagi kita semua sampai titik darah penghabisan. Dia menyerahkan nyawa-Nya karena dia setia kepada Bapa.
Dengan kata lain, salib merupakan jalan satu-satunya bagi kita untuk menerima anugerah keselamatan dari Allah. Dan itu hanya dimungkinkan karena pengorbanan Tuhan Yesus yang tanpa pamrih bagi kita.
Yang berikutnya saudara arti salib jika dilihat dari pihak manusia maka:
-  Salib adalah persekutuan dengan Kristus dalam penderitaan dan kematiaanNya (Filipi 3:10-11). Ini merupakan tujuan hidup daripada Rasul Paulus, yaitu supaya ia dapat menjadi serupa dengan Kristus.
Saya rasa tujuan yang sama pula yang seharusnya kita miliki ketika kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, yaitu bahwa kita ingin menjadi serupa dengan Dia.
Jika demikian, apa yang harus kita lakukan saat kita melihat pengorbanan Tuhan Yesus yang tanpa pamrih itu? Apa yang harus kita kerjakan dalam mengisi waktu yang telah Tuhan berikan bagi kita?
Dalam hal ini ada dua sikap yang mesti kita lakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus, yaitu:

1.   Kita harus berani menyangkal diri bagi Kristus:
Anak-anakku,
Menyangkal diri dimulai dari kesadaran bahwa hidupku bukannya aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku” (Galatia 2:20). Dari sinilah kita harus aktif mengendalikan keinginan “si aku” kita. Kita mesti belajar memadamkan segala ambisi pribadi, iri hati kita, perasaan dengki terhadap orang lain, serta hal-hal yang negative yang seharusnya tidak lagi kita lakukan dalam hidup. Dengan kata lain, kita harus mematikan segala bentuk keduniawian kita, mematikan segala keinginan daging, mematikan cara hidup yang sia-sia (Kolose 3:5-10, Galatia 5:19-21).
Sebaliknya kita menggunakan sifat-sifat baru, sifat-sifat yang mencerminkan kehidupan yang dikehendaki Allah. Jadi intinya adalah kita diminta untuk bersikap seperti Yesus, yaitu: Hidup tidak lagi hanya sekedar yang penting aku senang, tetapi juga belajar memberi tempat dalam hati kita untuk sesama. Dengan demikian, kita akan mempunyai kepedulian untuk menolong sesama.
Saudaraku, Agustinus (seorang tokoh dalam kekristenan) pernah berkata: kita akan kehilangan jati diri bila kita mengasihi diri sendiri, tetapi kita akan menemukan jati diri sejati bila kita mengasihi orang lain. Dengan kata lain, rahasia kebahagiaan bukanlah dengan memuaskan diri sendiri, melainkan dengan memberikan hati kita, hidup kita, dan diri kita dalam kasih kepada sesama.”
Dari sini, seharusnya kita terdorong untuk melakukan dan berikan pertolongan dengan tulus dan tanpa pamrih kepada sesama kita. Menunjukkan perbuatan yang baik kepada orangtua, saudara, teman, sahabat, dan sebagainya.
Berbuat baik kepada sesama berarti kita telah menunjukkan bahwa kita mengasihi Tuhan Yesus. Bukankah kasih kita kepada Tuhan Yesus baru terlihat buktinya jika kita mampu mengasihi sesama bukan?
Hal inilah yang juga ditegaskan oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan Matius 25:40, “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Hanya yang terpenting untuk kita mengerti adalah semua perbuatan baik yang kita lakukan tidaklah dengan mengharapkan pamrih dari orang yang kita kasihi.

2.     Kita harus belajar memikul Salib
Anak-anak yang kekasih
Salib memang bukanlah tujuan dari hidup kita. Tetapi Tuhan memberikan salib kepada kita dengan satu maksud supaya dapat kita pikul. Salib adalah menanggung penderitaan bukan karena kesalahan sendiri, tetapi menanggung penderitaan karena nama Tuhan.
Salib adalah jalan kematian, jadi tidak ada jalan balik. Artinya ketika Tuhan memanggil kita dan kita mau mengikut Dia, sejak saat itu kita sedang berada di jalan kematianNya.
Dengan memahami Salib Kristus, maka kita dapat semakin menghargai pengorbanan-nya yang tanpa pamrih itu. Dan kita dapat menjalani segala bentuk kehidupan kita dengan benar dihadapan Tuhan.
Dengan demikian, kekristenan bagi kita bukanlah soal hidup diberkati, bukan pula soal hidup sukses dan bebas dari masalah. Tetapi kekristenan adalah bagaimana kita dengan sukarela masuk dalam penderitaan dan kematian bersama Kristus, agar kehidupan kita semakin indah dimata Tuhan.
Apa yang kita renungkan kali ini, kiranya dapat memberikan satu pemahaman yang lebih baik tentang pengorbanan Tuhan Yesus bagi kita, khususnya saat kita memasuki minggu-minggu sengsara, Tuhan kita Yesus Kristus. Dengan demikian kita tidak memandang enteng pengorbanan Tuhan Yesus bagi kita, tetapi justru semakin mendorong kita untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada Tuhan dan sesama kita dengan tanpa pamrih.
Untuk menutup khotbah ini saya ingin menampilkan klip berikut kiranya dapat memberikan kita inspirasi. Amin