Senin, 22 Juni 2015

KEGAGALAN YANG MERUSAK KREDIBILITAS

KEGAGALAN YANG MERUSAK KREDIBILITAS
1 Samuel 2:11-36

 
 
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga kita adalah sebuah karunia Tuhan yang membahagiakan. Saat kita lelah seharian bekerja, kelucuan dan keluguan dari anak kita yang masih kecil seakan-akan melenyapkan rasa capek dan lelah itu. Saudara, itu adalah bagian dari hal-hal yang menyenangkan dari memiliki anak.
Tetapi kalau kita lebih jauh lagi menatap ke masa depan anak tersebut, kita bisa bayangkan pastinya akan lebih banyak lagi kengerian yang muncul dari anak-anak kita jika kita salah dalam mendidik.
Saya sendiri saudara, saat menatap wajah anak-anak saya yang masih kecil itu, terkadang terlintas dalam pikiran saya, kira-kira jika anak-anak saya sudah menjadi besar, bakal jadi seperti apa anak-anak saya? Saudara saya tidak sedang berbicara tentang cita-cita mereka. Sebagai orang tua, kita juga tidak bisa menjamin, anak-anak kita bakal menjadi seperti apa. Tetapi paling tidak saudara, kita harus memulai mengajarkan sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang “yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Karena itu saudara, yang ingin saya katakan adalah apa yang kita tabur hari ini terhadap pendidikan anak-anak kita saudara, pastinya akan membawa dampak pada kehidupan mereka di masa depan. Karena itu jika kita mendapati sebuah kegagalan dalam pembentukan anak-anak, pastinya tidak dapat lepas dari apa yang ditaburnya terdahulu.
Nyatanya saudara, kegagalan dalam mendidik anak-anak, bukan hanya menjadikan mereka  seorang pemberontak terhadap orangtua, terlebih lagi mereka bakal menjadi seorang yang tidak takut akan Tuhan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Saya percaya tidak ada diantara kita yang menghendaki anak-anak kita menjadi seorang pemberontak apalagi seorang yang tidak takut Tuhan. Sebab jika anak-anak itu besar menjadi seorang yang suka memberontak, sebenarnya kita sedang mencetak anak yang kelak akan membuat malu nama baik kita sendiri, dan terlebih lagi mempermalukan nama Tuhan. Karena itu perlu ada disiplin yang baik dalam setiap keluarga.
Saudara, mendidik berhubungan dengan disiplin. Mendidik berarti ”mengajar atau mengatakan, menunjukkan atau memperlihatkan, menuntun seseorang melalui suatu proses dimana di dalamnya orang itu dilatih.”
Firman Tuhan dalam Amsal 13:24 berkata, "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya"
Mengapa perlu adanya disiplin? Sebab disiplin membuktikan kasih kita terhadap anak-anak kita. Anak-anak yang memahami karakter dan sifat ayah mereka, tidak akan membenci disiplin yang ditegakkan oleh ayah mereka. Justru Ayah yang memilih untuk tidak menegakkan disiplin, dan membiarkan anaknya membuat pilihannya sendiri, hanya menunjukkan ketidakpedulianya terhadap kesejahteraan dan masa depan anaknya. Jadi saudara, tidak mendisiplin anak-anak berarti Anda membenci mereka. Sebaliknya jika Anda mencintai mereka, Anda akan segera mendisiplin mereka.
Pertanyaannya, berapa lama kita harus menggunakan tongkat untuk mendisiplin anak-anak? Jawabannya adalah selama mungkin mereka memerlukannya. Karena itu saudara, dibutuhkan hikmat Tuhan dalam mendisplin anak. Dibutuhkan kepekaan untuk mengerti apa yang Tuhan mau kita kerjakan bagi anak-anak kita.
Saudara, pernahkah kita bertanya, mengapa Tuhan ingin agar kita sebagai orang tua mempersiapkan anak-anak kita secara mental dan spiritual? Karena sejatinya Tuhan menghendaki kita untuk mengasihi mereka sungguh-sungguh. Anak adalah anugerah Tuhan dalam kehidupan keluarga. Karenanya Tuhan mengharapkan anak-anak dapat berkembang sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, meski pun mereka berada di dunia yang jahat.
Saudara,
Charles Williams, seorang pakar di bidang anak, mengatakan bahwa, "Anak kecil yang berusia 2 tahun adalah majikan Anda, pada usia 10 tahun adalah budak Anda, pada usia 15 tahun adalah kembaran Anda, dan setelah itu kawan Anda atau musuh Anda, tergantung bagaimana Anda membesarkannya." Oleh karena itu, jangan segan-segan untuk menggunakan rotan/ tongkat jika memang diperlukan, yang terpenting adalah mintalah hikmat kepada Tuhan kapan kita harus menggunakannya.
Kenyataannya saudara, jika orang tua tidak pernah menegakkan disiplin dan mengharapkan anak-anak kita mereka-reka menurut kemampuan mereka sendiri, itu sama saja dengan akan menghancurkan jiwa mereka.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Perhatikan apa yang terjadi pada kehidupan keluarga imam Eli. Dijelaskan dalam nats kita bahwa Imam Eli adalah pemimpin rohani bangsa Israel. Ia adalah seorang yang berasal dari keturunan Itamar, adik Eleazar, anak-anak Harun. Ia adalah seorang imam besar, sebuah jabatan yang ia dapatkan secara otomatis, karena diberikan secara turun temurun.
Saudara, sebagai Imam besar Israel pastinya kata-kata yang diucapkannya akan didengar dan hidupnya diperhatikan banyak orang. Ia dapat dianggap sebagai representasi umat Israel di hadapan Tuhan dan memanjatkan doa serta mempersembahkan korban bakaran bagi orang Israel. Nah, dengan posisi dan jabatan yang demikian, maka dapat dipastikan bahwa ia bersama anggota keluarganya adalah orang-orang yang terhormat dan bisa menjadi teladan bagi umat.
Namun masalahnya adalah, ada suatu hal yang sangat mengejutkan kita, ternyata kedua anak dari Imam Eli ini, yakni Hofni dan Pinehas justru melakukan hal-hal yang menghina Allah. Inilah kejujuran Allah yang kita lihat dalam Alkitab, saudara. Allah tidak hanya menuliskan hal-hal yang baik sebagai sarana membentuk umatNya. Tetapi kegagalan-kegagalan orang-orang yang hidup di dalam Alkitab pun, tetap dibukakan Allah sebagai bentuk peringatan yang berlaku bagi kehidupan pembaca di masa depan.
Saudara kita melihat, bagaimana kehidupan Imam Eli dalam mendidik anak-anaknya. Umumnya orang menduga, imam Eli pastinya mampu membentuk anak-anaknya untuk dapat bertumbuh dalam iman dengan baik. Terlebih lagi, kedua anak-anaknya turut terpanggil sebagai pelayan Tuhan. Kedua anak-anak iman Eli juga menjadi imam. Tetapi Alkitab menjelaskan kepada kita bahwa walaupun demikian, kehidupan anak-anak imam Eli tidak mencerminkan kehidupan seorang pelayan Tuhan.
Sebab anak-anak imam Eli tidak memiliki pengalaman persekutuan dengan Allah secara pribadi. Mereka tidak pernah dengan serius memikirkan Allah. Karena itu saudara, jangan pernah menyangka jika anak-anak kita yang rajin datang ke gereja lalu secara otomatis dapat memiliki kerohanian yang baik, Tidak saudara! Selama kerajinannya tidak disertai dengan pertobatan! Mustahil anak itu bertumbuh secara baik dalam kerohaniannya.
Saudara satu contoh bisa kita lihat dalam kehidupan pelayanan Tuhan Yesus. Sepanjang pelayanan Tuhan Yesus, ada begitu banyak orang-orang yang turut hadir untuk mendengarkan pengajaranNya. Tetapi tidak semua mengalami pertumbuhan rohani. Sebab tidak semua mencari pribadi Tuhan. Tidak semua juga mengalami pertobatan. Misalnya kehadiran orang-orang Farisi dalam setiap pelayanan Tuhan Yesus menjadi bukti bahwa intensitas mereka untuk hadir tidak menjamin besarnya kerohanian mereka. Sebab orang-orang Farisi hadir bukan untuk belajar mengenal Tuhan Yesus. Tetapi mereka hadir untuk mencari-cari kesalahan Tuhan Yesus.
Kembali kita pada kehidupan imam Eli, kita melihat imam Eli tidak mampu mempersiapkan kerohanian anak-anaknya untuk hidup sungguh-sungguh di dalam Tuhan. Sehingga dikatakan dalam nats bahwa anak-anak Eli ini hidup sebagai seorang dursila, yang berarti: jahat atau buruk kelakuannya. Mereka tidak mengenal Tuhan dengan baik. Tidak ada ruang untuk Allah dalam pikiran mereka. Mereka memang tinggal di Kemah Suci. Ayah mereka mengenal Tuhan. Namun dua anak ini adalah orang-orang terhilang, orang-orang yang belum diselamatkan, karenanya disamakan dengan orang-orang dursila yang tidak mengindahkan Tuhan.Saudara, mereka adalah manusia duniawi yang hanya berpikir tentang apa yang menguntungkan bagi mereka.
Kejahatan mereka nyata terdaftar dalam ayat-ayat berikut:
-        Mereka tidak mengindahkan Tuhan dengan tidak menghormati kurban persembahan bagi Tuhan (ayat 12),
-        Mereka tidak mengindahkan batas-batas hak seorang imam (ay. 13). Sebab mereka tidak hanya meminta bagian yang seharusnya menjadi milik si pemberi persembahan, tetapi dalam beberapa kasus mereka justru mengambil bagian yang seharusnya diberikan kepada Tuhan (ayat 15).
-        Mereka serakah dan curang dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terbukti dari sikap mereka yang suka melakukan kekerasan untuk memperoleh kehendak mereka (ayat 16).
-        Dan yang sangat memilukan hati adalah, mereka tidak lagi menghormati kekudusan Tuhan dan kekudusan tempat ibadah (ayat 22). Mereka melakukan suatu dosa perzinahan dengan jalan tidur dengan perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan.
Ini jelas adalah dosa yang disengaja, karena sebagai imam tidak mungkin mereka tidak mengetahui hukum Tuhan tentang hal itu. Mereka sudah tidak mempunyai rasa malu sedikitpun dalam berbuat dosa. Kondisi yang demikian sangat meresahkan bangsa Israel terlebih kejahatan mereka ternyata sampai juga ke telinga Imam Eli.
Saudara! Tindakan dan perbuatan anak-anak Eli ini sangat memalukan dan merusak kredibilitas orang tua mereka yang selaku imam besar dan mereka sendiri yang sebagai asisten imam. Satu perbuatan yang sangat tidak pantas untuk dilakukan.
Bukankah seharusnya mereka menjadi teladan yang baik bagi umat yang dipimpinnya, tetapi kehidupan mereka justru menjadi batu sandungan bagi umat. Dosa imam Eli ini sangat fatal. Maka pantaslah jika Allah marah terhadap mereka.
Saudara, walaupun imam Eli berkali-kali menasihati mereka agar mereka menghentikan dosa tersebut, namun sayangnya anak-anak Imam Eli tidak menghiraukan nasihatnya. Sungguh kegagalan yang sangat menyedihkan bukan. Apalagi yang membuat suatu keluarga hancur, selain tidak diperkenankan Tuhan melayaniNya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebab imam Eli sendiri tidak memiliki ketegasan dalam mendidik anak-anaknya. Ini terlihat dari sikapnya yang hanya memberi nasihat, tanpa adanya tindakan untuk mendisiplinkan mereka, sehingga tingkah laku mereka yang jahat semakin menjadi-jadi (ayat 29). Imam Eli hanya mempertanyakan tindakan anak-anaknya, "Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku…" (ay. 23-24).
Kita melihat saudara, sebagai orang tua, imam Eli tidak tegas, imam Eli begitu lembek di dalam mendidik anak-anaknya. Jika kita bandingkan teguran-teguran imam Eli yang terdahulu terhadap Hana (1:14), teguran imam Eli terhadap moralitas anak-anaknya saya rasakan terlalu lemah.
Sebab imam Eli bertindak kompromi dengan kejahatan mereka. Ia memandang kejahatan anak-anaknya sebagai sesuatu yang biasa. Karenanya tidak heran jika tidak ada hukuman yang harus diterapkan, tidak ada didikan yang mengajar untuk membuat anak-anaknya menyadari bahwa tindakan mereka adalah suatu dosa dimata Allah.
Lebih parah lagi, imam Eli terkesan cuci tangan terhadap kesalahan anak-anaknya. Perhatikan ayat 25: ”Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seorang berdosa terhadap Tuhan, siapakah yang menjadi perantara baginya?”
Aneh bukan saudara! Jelas-jelas ia adalah seorang imam, jelas-jelas ia tahu hukum-hukum Allah. Seharusnya tugas dia adalah menegur dosa, menyatakan kesalahan anak-anaknya. Dan membawa kembali ke jalan Tuhan. Tetapi itu ternyata tidak dilakukan imam Eli terhadap anak-anaknya, karena imam Eli menganggapnya sikap mereka sebagai suatu hal yang sepele.
Bapak/ ibu yang kekasih, bagaimana sikap saudara pada saat melihat/ mendengar anak saudara berdusta, mengeluarkan kata-kata kotor, bersikap kurang ajar, nyontek di sekolah, dsb?
Apakah saudara membiarkannya/ tidak memarahinya? Atau, lebih jelek lagi, apakah saudara lalu tertawa, seolah-olah dosa anak itu merupakan sesuatu yang lucu? Kita bersikap membiarkannya. Dan berpura-pura tidak tahu. Ingatlah saudara, bahwa sikap seperti ini pastinya akan membangkitkan kemarahan Tuhan! Tidak adanya ketegasan dalam mendidik anak, merupakan kesalahan yang dipandang oleh oleh Tuhan.
Saudaraku, ada alasan lain yang juga tidak bisa ditolelir oleh Tuhan dari kehidupan imam Eli, dimana Imam Eli secara sengaja turut dalam dosa anak-anaknya dengan memakan daging persembahan yang berlemak, yang diambil dari kedua anaknya dengan paksa (ay 29c). Ia dianggap berkomplot dengan anak-anaknya dalam dosa mereka. Hal ini nampak dari teguran Tuhan yang mengatakan: ”kamu menggemukan dirimu dengan bagian yan terbaik dari setiap korban sajian umatKu Israel?” (1 Samuel 2:29c).
Disini kita melihat walaupun nampaknya Imam Eli memang menegur mereka, namun ia sendiri tidak menunjukkan keteladan akan hal tersebut. Karenanya tidak heran jika kedua anak-anaknya tidak menghiraukan perkataan ayahnya.
Saudaraku, ada seorang ayah yang sedang menasihati anaknya. Dia mengatakan: ”nak kamu harus ingat, kamu tidak boleh merokok, karena itu tidak baik bagi kamu” Ayah ini menasihati anaknya sambil ia sendiri tidak henti-hentinya menghisap rokok. Pertanyaannya, apakah ia sedang menasihati? Tidak saudara! Sebenarnya ia sedang memberikan satu teladan yang buruk terhadap anaknya.
Dalam 2 Timotius 2:24-25 memang dijelaskan bahwa “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan.” Jika kita bandingkan dengan kejadian yang dikisahkan dalam kitab Samuel ini jelas menunjukkan bahwa ada saat dimana seorang hamba Tuhan pun harus marah dan bertindak tegas, terlebih ketika melihat ada dosa!
Demikian pula kita sebagai orang tua, kita pun adalah imam atas anak-anak kita, jika kita sebagai orang tua selalu memanjakan anak-anak dan tidak bisa/ tidak tega mendisiplin anak-anak pada waktu mereka berbuat salah, maka seharusnya kita bercermin dari bagian ini dan melihat kesudahan dari anak-anak iman Eli (2:34 3:13-14 4:11). Kegagalan imam Eli dalam mendidik anak-anaknya dianggap sebagai satu tindakan yang tidak menghormati Tuhan, karena itu Tuhan membatalkan janjiNya terhadap imam Eli.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan
Apabila kita melihat realitas zaman sekarang, anak-anak sekarang pun cukup memprihatinkan, kejadian ini mirip dengan kondisi anak-anak imam Eli. Hal tersebut dapat di lihat dari kondisi mereka saat ini yang cenderung lebih bebas, mereka tidak lagi peduli dengan nilai-nilai moral yang baik. Kelakuan mereka justru cenderung lebih agresif, emosi tidak stabil, dan tidak bisa menahan dorongan nafsu.
Rusaknya moralitas anak-anak muda saat ini, disamping karena factor lingkungan dimana mereka berada dalam masyarakat. Kehidupan mereka juga sebagian lagi dipengaruhi oleh factor pendidikan orang tua yang gagal.
Banyak orang tua menganggap diri bijaksana dengan memberikan “kebebasan” pada anak mereka, yang akhirnya disalahgunakan sehingga penuh kekhawatiran mereka harus menunggu anaknya yang pulang sampai dini hari. Yang akhirnya berujung pada percekcokan dalam keluarga.
Saudara, kita harus mengerti bahwa anak-anak zaman sekarang lebih pintar dan pandai menjawab. Dulu saat orang tua kita menasihati anak-anaknya untuk tidak pulang terlambat, sebagai anak-anak kita pastinya merasa takut dan segera pulang sebelumnya. Tetapi sekarang kondisinya berbeda. Saat kita mengatakan jangan pulang terlambat, yang terjadi adalah anak-anak justru pulang pada jam dini hari.
Karenanya tidak heran saudara, jika anak-anak muda sekarang lebih suka memberontak, karena mereka kehilangan teladan dalam keluarga. mereka lebih suka memilih pergaulan bebas, karena lingkungan mereka menawarkan kebebasan yang mereka butuhkan.
Sex bebas, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, minum-minuman keras, perkelahian antar pelajar, pelecehan seksual, pencurian, geng motor dan lain sebagainya. Yang sangat memprihatinkan, kejadian ini bukan hanya menimpa anak-anak yang tidak mengenal Tuhan, tetapi juga sebagian lagi dilakukan oleh anak-anak dari keluarga Kristen.
Melihat kenyataan ini saudara, kita harus menyadari bahwa mendidik anak-anak di masa modern ini pastinya lebih sulit jika dibandingkan pada masa kita kecil. Dulu waktu kita kecil, ketika orang tua kita berkata: “nak dulu bapakmu ini diajar orangtua begini… begini… begini…, papamu harus nurut, papa harus taat makanya papa bisa menjadi seperti ini.” Tetapi saudara, pernyataan ini tidak bisa langsung diterapkan bagi anak-anak zaman sekarang. Mereka lebih kritis, dalam mencerna informasi. Jika informasi yang mereka dengar tidak sejalan dengan apa yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri, yang ada adalah sikap memberontak terhadap orang tua.
Masalahnya adalah kadang kita bersikap tegas tetapi tidak pada tempatnya. Alhasil bukan disiplin yang terbentuk melainkan pemberontakan. Apa artinya bersikap tegas kepada anak? Bersikap tegas adalah tidak menuruti kehendak atau permintaan anak.
Saudara, kita harus ingat, bahwa anak-anak memang selalu meminta sesuatu pada kita; Tugas kita adalah menentukan kapan menuruti keinginannya dan kapan tidak menuruti keinginannya.
Karena itu saudara, ini adalah tanggung jawab yang berat dalam menyelamatkan generasi anak-anak kita, peran orang tua harus lebih aktif dalam mengajar dan mendisiplinkan anak-anak. Artinya, anak-anak harus kita disiplin dengan jalan yang benar.
Sebagai orang tua, kita harus berani menyatakan bahwa ini salah kalau memang itu salah, dan itu benar kalau memang itu adalah kebenaran. Sambil terus-menerus memberikan teladan yang hidup dalam keluarga kita.
Kemudian, ketika orang tua dikatakan imam dalam keluarga, maka tugas fungsi keimaman dalam keluarga adalah membawa seisi rumah tangga mengalami kehadiran Tuhan, intim dengan Tuhan dan hidup didalam naungan kasih Tuhan. Hal itu dapat dilakukan melalui doa bersama, pujian penyembahan bersama atau membaca firman Tuhan dan merenungkannya bersama.
Jika seorang bapa telah tumpul secara rohani, bagaimana dengan anak-anaknya? Demikianlah yang terjadi dengan anak-anak Imam Eli. Kegagalan atau kesalahan seorang anak kita tidak dapat dilepaskan dari kegagalan kita sebagai orangtua. Kesalahan/ kegagalan Hofni dan Pinehas adalah kegagalan Eli sebagai seorang ayah.
Karena itu, baik dalam gereja maupun keluarga, kalau memang dibutuhkan, kita harus berani bertindak keras terhadap orang yang jelas-jelas berdosa dan tidak mau bertobat!
Apakah imam Eli adalah Imam yang jahat? Menurut saya tidak. Imam Eli adalah Imam yang cukup bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Tuhan juga mendengarkan ucapan imam Eli. Sehingga apa yang dikatakannya terjadi pada keluarga Elkana dan Hana. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa imam Eli sebenarnya tidak sembarangan dalam menjalankan tugasnya sebagai Imam. Dia memperhatikan umat, mau mendengar permasalahan umat. Lalu apa yang menyebabkan anak-anaknya menjadi dursila?
Kemungkinannya adalah imam Eli jarang sekali atau tidak pernah berdoa bagi anak-anaknya. Bandingkan dengan Samuel yang juga tinggal di tempat yang sama. Dia tidak seperti anak-anak imam Eli. Alkitab mencatat dalam 1 Samuel 2:26, bahwa Samuel semakin disukai baik oleh Tuhan dan oleh jemaat. Kenapa bisa begitu? Kita lihat perhatian dari orangtuanya sangat besar terhadap Samuel. Saya yakin setiap hari nama Samuel pasti disebut dalam doa orangtuanya. Dukungan doa yang tidak putus dari Elkana dan Hana membuat Samuel tetap berada di jalan yang benar walaupun berada di dekat anak-anak Eli.
Bagi kita yang sudah dikaruniai anak, marilah kita menyebut nama anak-anak kita satu-persatu di dalam doa pribadi kita setiap hari. Ingat bahwa di sekitar anak-anak kita lebih banyak pengaruh buruk dibandingkan pengaruh baik. Bagaimana kita membentengi anak kita dari pengaruh buruk? Jawabannya adalah dengan DOA.
Dengan demikian saudara, ingat-ingatlah apa yang akan kita perbuat. Jangan hanya lihat jangka pendeknya saja tapi juga pertimbangkanlah akibatnya untuk jangka panjang. Sebelum nasi menjadi bubur, marilah kita kembali mengingat apa yang Tuhan kehendaki bagi anak-anak kita.
Artinya kita tidak boleh meremehkan tugas mendidik anak-anak dan memperhatikan pertumbuhan kerohanian mereka. Tugas kita sebagai orang tua sangatlah penting dalam menentukan masa depan anak-anak kita. Kita mungkin dapat dikenal baik dan memiliki reputasi tinggi di masyarakat, tetapi apa jadinya jika anak-anak kita hidup tidak takut akan Tuhan. Karena Tuhan lebih memperhatikan apakah kita memimpin keluarga kita pada takut akan Tuhan, dibandingkan reputasi kita. Amin

Kamis, 04 Juni 2015

MEFIBOSET - KEHIDUPAN YANG DIPULIHKAN

MEFIBOSET - KEHIDUPAN YANG DIPULIHKAN
2 Samuel 4:4; 9:1-13


Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Setiap orang pastinya pernah mengalami yang namanya peristiwa-peristiwa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan di masa lalunya. Terkadang peristiwa yang tidak menyenangkan dalam hidup seseorang dimasa lalu, menjadi kenangan yang seringkali mengha-langinya untuk dapat maju ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, dibutuhkan satu pemulihan yang terjadi dalam kehidupannya.
Saudara, pemulihan sangatlah penting bagi setiap orang yang pernah mengalami luka-luka batin yang sulit terobati. Sebab dengan mengalami kehidupan yang dipulihkan oleh Tuhan, ini menjadi titik awal bagi dia untuk kembali bangkit dari keterpurukan hidupnya.
Saudara, dalam perikop yang kita baca kali ini, kita mendapati satu pribadi yang juga pernah mengalami satu pemulihan dalam hidupnya. Sebut saja namanya Mefiboset. Mefiboset berarti “malu/ aib.” Sebagaimana namanya Mefiboset, ia dikenal sebagai pribadi yang memiliki perasaan rendah diri yang berlebihan.
Siapakah Mefiboset saudara? Mefiboset adalah satu-satunya anak laki-laki Yonatan, cucu dari Saul, raja Israel yang pertama. Sebagai putera mahkota, cucu dari raja Saul, dapat dipastikan bahwa Mefiboset telah dipersiapkan untuk menjadi raja di masa mendatang.
Dalam kondisi yang demikian, pastinya kita bisa menebak bahwa masa kecil Mefiboset dihabiskannya dalam lingkungan istana: Kemewahan, kemegahan dan kemakmuran menjadi pemandangan sehari-hari baginya. Secara materi Mefiboset tidak mengalami kekurangan suatu apa pun, Seharusnya ia menjadi seorang anak yang beruntung dan bermasa depan cerah.
Silsilah keluarga yang sebenarnya dapat menjadi suatu kebanggaan, namun ternyata tidak demikian yang dialami oleh Mefiboset.
Serangkaian peristiwa dan keadaan membuatnya menjadi pribadi yang rendah diri. Suatu peristiwa telah membuyarkan semua masa depannya. Segala kemegahan dan kemuliaan yang biasa dinikmatinya sebagai keluarga istana dalam waktu sekejap menjadi lenyap. Mefiboset telah kehilangan orang-orang yang dicintainya: ayahnya (Yonatan), kakeknya (raja Saul) dan saudara-saudaranya yang lain. Mereka tewas di medan peperangan saat melawan orang Filistin di Padang Bukit Gilboa. Hal ini dapat kita lihat dari kesaksian firman Tuhan yang mengatahakan "Orang Filistin terus mengejar Saul dan anak-anaknya dan menewaskan Yonatan, Abinadab dan Malkisua, anak-anak Saul. Jadi Saul, ketiga anaknya dan pembawa senjatanya, dan seluruh tentaranya sama-sama mati pada hari itu." (2 Samuel 31:2, 6).
Saudara, saat berita kematian rombongan Saul itu sampai ke istana, dapat dipastikan membawa kekecauan dan kepanikan bagi seluruh orang-orang yang ada di istana.
Ditambah lagi pada masa itu, ada istilah “pemberantasan sampai ke akar-akarnya” – yang dikenal dengan sebutan genoside, yaitu pembunuhan kepada satu keturunan atau suku. Tujuannya tidak lain adalah supaya tidak ada kesempatan bagi “musuh” untuk membalas dendam dan memberontak di kemudian hari.
Bapak ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Daud memang tidak bermaksud untuk mengikuti kebiasaan ini. Namun, karena keluarga Saul tidak mengetahui sebelumnya niat Daud yang mulia itu. Karenanya saat berita kematian Yonatan dan Saul dari Yizreel, didengar oleh Ziba – pengasuh Mefiboset. Seketika itu juga Ziba bergegas membawa Mefiboset lari dalam gendongannya. Ia berpikir bahwa Mefiboset merupakan putra tunggal pewaris tahta Saul. Jika seorang raja yang baru berkehendak untuk membinasakan seluruh keluarga Saul, pastinya Mefiboset adalah orang yang pertama yang dicarinya.
Karena itu ia bergegas lari guna menyelamatkan diri. Namun, karena larinya yang terburu-buru, menyebabkan Mefiboset kecil terjatuh dan mengalami cacat. Kakinya pincang seumur hidupnya. Saudara, hal ini terjadi saat Mefiboset masih berumur 5 tahun (2 Samuel 4:4).
Akibatnya dari cacat yang permanen ini saudara, bisa dipastikan bahwa Mefiboset tidak dapat lagi menikmati masa kecil dan remaja sebagaimana layaknya anak-anak normal lainnya. Mefiboset tumbuh sebagai orang yang cacat dan terluka batinnya, apalagi ia harus keluar dari istana dalam situasi sebagai seorang pelarian.
Tidak ada lagi figur seorang ayah yang bisa dibanggakan dan memberinya perlindungan. Tidak ada lagi kegagahan dan kepahlawanan yang dulu pernah dilihatnya dari Yonatan, ayahnya.
Begitu juga berita tentang keberadaan kakeknya (raja Saul), yang tidak lebih dari seorang raja Israel yang gagal dan tidak berkenan kepada Tuhan. Saudara sepertinya lengkaplah sudah penderitaan batin yang harus dialami Mefiboset. Perasaan malu dan tidak berharga terus menghantui pikirannya dari tahun ke tahun, hingga ia berumah tangga.
Saudara, 17 tahun lebih Mefiboset hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Ditambah lagi keberadaannya yang pincang menyebabkan Mefiboset menjadi seorang yang minder. Masa lalu yang kelam kini menghalangi langkahnya untuk menatap hari esok. Sepertinya masa depan dan harapannya pun sudah sirna.
Bapak ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kita tahu bahwa antara Daud dengan Saul sangatlah tidak akur. Sebenarnya bukan Daud yang bermasalah, melainkan Saul yang berniat untuk membunuh Daud. Sekarang, ketika Daud memerintah sebagai Raja Israel menggantikan Saul. Saat itu usia Daud mencapai 47 tahun dan Mefiboset sendiri sudah menginjak usia 22,5 tahun.
Dijelaskan bahwa Daud berniat untuk menyatakan kasihnya kepadanya (ayat 1). Ia berkata kepada pengikutnya: Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akna menunjukkan kasihku kepadanya oleh Yonatan.”
Saudara,
Apakah Daud melupakan perseteruan Saul dengannya? Tidak saudara! Daud tahu Saul membencinya. Tetapi Daud tidak pernah menyimpan dendam sedikit pun terhadap keluarga Saul. Karenanya Daud mengingat akan Mefiboset.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Apa yang melatar belakangi pemikiran Daud sehingga ia tidak memiliki niat untuk melenyapkan Mefiboset? Dalam 1 Samuel 20:7 kita melihat bagaimana persahabatan antara Daud dengan Yonatan, seperti belahan jiwanya. Dikatakan “Yonatan mengasihi Daud seperti mengasihi dirinya sendiri” (1 Samuel 20:17).
Saudara, persahabatan mereka yang legendaris menghadapi ujian puncak ketika Daud mengetahui bahwa Saul berusaha untuk membunuhnya. Namun karena Yonatan bersumpah akan menyelamatkan Daud dan ia meminta sahabatnya memberikan satu janji sebagai imbalannya: Dikatakan: “…janganlah engkau memutuskan kasih setiamu terhadap keturunanku sampai selamanya. Dan apabila Tuhan melenyapkan setiap orang dari musuh Daud dari muka bumi, janganlah nama Yonatan terhapus dari keturunan Daud… Dan Yonatan menyuruh Daud sekali lagi bersumpah demi kasihnya kepadanya” (1 Samuel 20:5-7).
Saudara, kenangan akan sumpahnya kepada Yonatan inilah yang mendorong Daud untuk bertanya kepada pelayannya: “Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan” (2 Samuel 9:1).
Bertahun-tahun sebelumnya Daud telah membuat perjanjian dengan Yonatan untuk menunjukkan kasih setia Tuhan kepada keluarga Yonatan. Dan sekarang saat ia memegang tongkat pemerintahan Israel, Daud mengingat kembali akan apa yang sudah dijanjikannya.
Jadi saudara, Daud memikirkan keluarga Saul yang sekiranya masih ada yang hidup, bukanlah untuk membantai mereka hingga tuntas, tetapi justru untuk menyatakan kasih yang pernah dijanjikannya. Sebuah kasih yang hidup di dalam dirinya ini pastinya berasal dari Allah.
Daud juga tidak sedang mencari muka dengan melakukan tindakan baik agar dipuji oleh rakyatnya. Ia juga tidak sedang berusaha melakukan sesuatu agar orang lain melakukan sesuatu untuknya. Melainkan ia lebih terdorong oleh suatu kenangan bahwa ia pun pernah menjadi seorang yang lemah. Dan dalam kelemahannya Daud terbantu oleh karena Yonatan. Sekarang ia pun ingin melakukan hal yang sama terhadap Mefiboset.
Saudara, Daud memilih untuk mengingat keluarga Saul yang pastinya hancur karena ditinggalkan orang-orang terkasihnya. Ia tidak mau Mefiboset terus hidup dalam kepahitan. Karenanya Daud menyuruh beberapa orang untuk mengambil Mefiboset di rumah Makhir bin Amiel, dari Lodebar (Ayat 5).
Itulah yang membuat Daud mau memikirkan nasib keluarga yang ditinggalkan dengan tewasnya Saul dan Yonatan dalam peperangan. Itulah sebuah kasih yang berbeda dengan kasih yang pada umumnya kita jumpai di dunia. Sebuah kasih Allah yang "unconditional", yang berlaku bahkan kepada orang yang sudah berlaku begitu jahat sekalipun. Tuhan sendiri menunjukkan belas kasihNya yang luar biasa kepada kita justru ketika kita masih berdosa. Ketika seharusnya kebinasaan yang layak kita terima, Tuhan menggantikannya dengan keselamatan.
Saudara, tindakan Daud atas Mefiboset ini, mengingatkan saya akan kasih Allah dan tindakan-Nya pada umat manusia. Tuhan Yesus datang ke dunia mencari manusia untuk diselamatkan; Daud juga berinisiatif untuk mencari tahu keberadaan Mefiboset. Keadaan Mefiboset yang timpang pada kedua kakinya (ayat 13) yang juga menunjukkan kondisi manusia yang timpang karena dosa-dosanya.
Namun walaupun begitu, Daud mengasihi Mefiboset dengan sungguh-sungguh dan ingin mengembalikan segala milik Saul dan seluruh keluarganya kepada Mefiboset (ayat 9). Inilah cerminan karya Tuhan dalam memulihkan hidup kita yang tercemar akan dosa.
Saudara, seorang penulis bernama Alfred Plummer pernah menulis: Membalas kebaikan dengan kejahatan itu merupakan sikap iblis, membalas kebaikan dengan kebaikan itu adalah hal yang manusiawi, tetapi membalas kejahatan dengan kasih merupakan sebuah sikap moral yang sempurna seperti sifat Ilahi.
Jika kita yang penuh dosa saja mau Tuhan ampuni dan kasihi, mengapa kita tidak bisa melakukannya kepada orang-orang yang bersalah kepada kita? Seharusnya kita bisa!
Karena firman Tuhan berkata "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yohanes 4:19). Terlebih lagi Tuhan Yesus sudah memberi contoh langsung bagaimana seharusnya bentuk kasih itu diaplikasikan dalam kehidupan. Kita melihat bagaimana Tuhan Yesus mengalami ketidakadilan, penyiksaan hingga Ia tergantung di atas kayu salib, Namun bukan kutuk yang Tuhan Yesus ucapkan, sebaliknya Tuhan Yesus memanjatkan doa meminta pengampunan atas orang-orang yang telah menganiaya Dia (Lukas 23:34).
Bapak ibu yang kekasih,
Kembali kepada nats kita, saat Mefiboset tiba di dalam istana. Perasaan takut menyelimuti hatinya, ia langsung bersujud dan menyembah kepada Daud serta berkata: “Inilah hamba, tuanku” (2 Samuel 9:6). Saudara, kita pastinya mengerti ketakutan yang dialami oleh Mefiboset. Sekalipun mungkin ia telah diberitahu bahwa Daud adalah orang yang baik, tetapi apa jaminannya? Sekalipun mungkin para utusan sudah menyampaikan bahwa Daud tidak ingin menyakitinya, namun nyatanya ia masih saja ketakutan. Saudara, bukankah kita juga demikian? Kita bertanya kepada Tuhan, betulkah saya mendapatkan keselamatan itu? Kita khawatir jangan-jangan kita mendapatkan keselamatan yang palsu. Kekhawatiran yang kita tunjukkan di dalam wajah yang menghadap lantai.
Mefiboset yang merasa tidak layak untuk datang menghadap raja Daud, apalagi menerima kasih kemurahannya, sehingga ia manyamakan dirinya seperti anjing mati yang tidak berguna; ia sudah kehilangan jati dirinya karena sekian lama telah terbuang, karena perasaan takut.
Mefiboset memang telah dipanggil, ia telah diselamatkan, tetapi ia masih membutuhkan sebuah jaminan. Bukankah kita juga demikian? Bukankah kita, seperti para tamu yang gemetar, memerlukan jaminan sehingga kita membungkuk di hadapan raja yang pemurah?
Saudara perhatikan apa yang dikatakan Daud kepada Mefiboset? Kata-kata Daud yang pertama adalah “Jangan takut, sebab aku akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan” (Ayat 7).
Demikian pula dengan Allah kita saudara, saat kita sebagai orang yang berdosa berhadapan dengan Tuhan Yesus yang Agung, bukankah Tuhan juga berkata hal yang sama yang mengatakan kepada kita: “Jangan takut.”
Saudara, Paulus menyatakan bahwa kita memiliki kepastian itu. Dalam Roma 5:8 firman Tuhan berkata: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”
Apa yang dilakukan Daud terhadap Mefiboset seperti mimpi yang menjadi kenyataan, laksana hujan yang menghapus kegersangan hati. Citra diri Mefiboset yang negatif seketika berubah karena uluran tangan kasih Daud.
Saudara, perhatian Daud memberikan pengharapan baru, semangat hidupnya kembali timbul karena ia merasa kembali dihargai; Daud telah membuatnya merasa diterima dan memberinya rasa aman yang selama ini ia rindukan.
Namun Daud menegaskan semuanya itu bukan karena kehebatan dan kebaikannya sendiri, melainkan karena tuntunan Tuhan semata. Ia telah terlebih dahulu mengalami pertolongan dan kebaikan Tuhan yang begitu melimpah supaya ia pun dapat menyalurkan kasih itu kepada Mefiboset.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Tindakan Daud mengingatkan saya akan kasih Allah dan tindakan-Nya pada umat manusia. Tuhan Yesus datang ke dunia mencari manusia untuk diselamatkan; Daud juga berinisiatif mencari Mefiboset. Keadaan Mefiboset yang timpang kedua kakinya (ayat 13), menunjukkan keadaan manusia yang timpang karena dosa. Pengakuan Mefiboset tentang kehinaan dirinya (ayat 8) melukiskan betapa hina manusia yang ternoda dosa di hadapan Allah.
Tetapi, Daud mengasihinya dan mengembalikan segala milik Saul dan seluruh keluarganya kepada Mefiboset (ayat 9). Itu mencerminkan bagaimana Tuhan memulihkan hidup kita yang tercemar dosa.
Bila saat ini situasi kita sulit seperti Mefiboset, jangan pernah merasa hidup kita tidak berharga. Ingat, ada satu Pribadi yang sangat memperhatikan dan mengasihi kita. Seperti Daud yang telah menyelamatkan hidup Mefiboset dan memberi dia tempat terhormat di istana demi Yonatan, dan menentukan Ziba, salah seorang hamba Saul, untuk melayaninya. Demikianlah kehidupan kita di tangan Tuhan Yesus, di dalam tanganNya kita diberikan pemulihan, masa depan, pengharapan pasti. Tinggal bagaimana respon kita untuk mempergunakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada kita? Amin.

Rabu, 03 Juni 2015

AKU DAN MASALAHKU

AKU DAN MASALAHKU
Mazmur 42:1-6


Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Hidup tidak selalu menyenangkan. Kadang-kadang tekanan kehidupan yang kita hadapi begitu berat, sehingga tidak jarang orang merasa tidak tahan menghadapi menyataan hidup dan mereka membutuhkan pertolongan.
Kenyataan memang betul saudara, setiap orang pastinya tidak pernah lepas dari yang namanya masalah. Artinya beragam masalah bisa menimpa siapa saja. Baik anak kecil sampai kepada orang dewasa. Entah itu orang kaya atau orang miskin, yang namanya masalah akan terus-menerus kita hadapi selama kita masih hidup di dunia ini.
Namun masalahnya saudara, disaat-saat kita membutuhkan pertolongan Tuhan, kita merasa semuanya seperti membisu. Kita merasa sendirian tanpa ada pegangan. Kita merasa Allah begitu jauh saat kita membutuhkan bimbingan dan pertolonganNya. Kenyataan seperti ini saudara, pastinya bisa membuat kita menjadi frustasi. Kita menjadi putus asa dan kehilangan pengharapan oleh karena apa yang kita hadapi sepertinya bertambah berat dan bertambah berat.
Apa yang kebanyakan orang hadapi ternyata juga pernah dialami pemazmur ini. Masalah dan tekanan hidup yang sulit pernah menghimpitnya hingga membuat jiwanya menjadi gelisah dan tertekan.
Saudara, kemungkinan besar apa yang dialami pemazmur dan orang-orang Israel zaman itu adalah pengalaman masa pahit saat mereka berada dalam pembuangan di Babel. Dalam keadaan sebagai bangsa tawanan Kerajaan Babel, mereka hanya bisa menikmati perlakuan hidup yang tidak manusiawi, kerja paksa, makian, dan cemoohan menjadi bagian hidup mereka sehari-hari.
Hal inilah yang menyebabkan pemazmur sangat menderita dan mengalami tekanan yang luar biasa. Sehingga dalam keadaan seperti itu pemazmur merindukan untuk bertemu dengan Tuhan.
Begitupun beratnya masalah yang di hadapi oleh pemazmur memaksa dia untuk meratapi pergumulannya. Karena itu mazmur 42 ini juga dikenal sebagai mazmur ratapan.
Saudara, sebagai bangsa yang besar, umat kepunyaan Allah, rupanya ini hanya menjadi kenangan masa lalu mereka. Bertahun-tahun mereka hidup menderita. Berulang-ulang mereka berseru kepada Allah, memohon kemurahanNya, tetapi Allah tak menjawab, yang seolah-olah Allah tidak lagi hadir dalam kehidupan umatNya.
Kita lihat saudara, bagaimana kerinduan pemazmur ini untuk bertemu dengan Allah. Ia mengungkapkan: Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (ayat 2).
Perhatikan bentuk penggambaran yang diambil oleh pemazmur, keadaan dirinya yang membutuhkan hadirat Tuhan diumpakaman seperti seekor rusa yang merindukan air.
Saat merenungkan bagian ini saya menjadi bertanya, mengapa pemazmur mengambil penggambaran seekor rusa untuk menceritakan keadaan dirinya? Mengapa pemazmur tidak menggam-barkan dirinya dengan seekor domba?
Saudara, Ternyata ada perbedaan yang nyata antara rusa dan domba. Domba terkenal sebagai binatang yang lemah, takut air dan tidak bisa berenang, karena bentuk tubuhnya yang tertutup oleh bulu. Hal ini berbeda dengan keadaan seekor rusa. Rusa memiliki bentuk tubuh yang cukup besar dan bau badan yang khas. Kalau sedang lari ia dikejar binatang yang memburunya, ia hampir dipastikan akan mudah ditangkap karena baunya yang khas. Lalu bagaimana ia dapat terhindar dari kejaran musuh-musuhnya? Tidak ada cara lain selain ia harus menghilangkan bau badannya. Dan hanya ada satu tempat dimana rusa ini mendapatkan tempat perlindungan dan menghilangkan jejak dari bau badannya. Ia harus mencari sebuah sungai. Sungai yang berair baginya bukan saja untuk menghilangkan rasa haus, tetapi tempat yang tepat untuk berlindung. Saat menemukan sungai, ia akan langsung masuk dan meneggelamkan dirinya sehingga tidak lagi tercium bau badannya oleh musuh. Pada saat itulah musuhnya tidak bisa mengejar rusa itu lagi.
Namun rupanya, penggambaran pemazmur mengenai seekor rusa pun tidak seperti kebanyakan orang yang menggambarkan sisi keindahannya. Yang pemazmur gambarkan adalah seekor rusa yang mengembara di bukit-bukit yang rumputnya terbakar matahari musim kemarau sungai-sungai yang sudah kehabisan air dengan merindukan sungai yang masih berair yakni sungai yang airnya hanya mengalir pada musimnya,agar ia dapat minum dan menyambung hidupnya. Sama halnya Rusa yang haus akan air demikianlah pemazmur yang haus kepada Allah.
Dalam kondisi yang demikian, saudara, tidak ada kebutuhan lain, selain mendapatkan sungai yang berair. Ia sadar, tanpa air hidupnya akan berakhir. Itulah pelukisan jiwa yang dilanda kerinduan untuk bertemu dengan Allah. Pemazmur ingin menggambarkan bagaimana perasa-annya yang betul-betul rindu akan hadirat Tuhan.
Ratapan kerinduannya akan Allah diungkapkan lebih lanjut dengan berkata jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup, bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (ayat 3). Kita melihat saudara, sekarang ia melukiskan kerinduannya dengan satu pengontrasan yang menggugah. Jiwa pemazmur yang haus dibandingkan dengan “Allah yang hidup.
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Perkataan Allah yang hidupmelukiskan bahwa Allah adalah Pribadi yang hidup yang berbeda dengan ilah-ilah lain yang mati, yang juga menawarkan diri sebagai sumber kehidupan dari segala sesuatu. Namun pemazmur sadar, tanpa Allah yang hidup, dirinya pastinya akan binasa. Dari sini kita melihat bahwa Allah adalah sumber kehidupan dari segala sesuatu dimana jiwa pemazmur sendiri bergantung kepada Allah.
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Ditengah-tengah keadaan yang seperti itu ia bertanya, Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (ayat 3)   Ini merupakan suatu pertanyaan yang lahir karena kebutuhan yang sangat mendesak, yang selama ini terpendam karena kerinduan, kini ia berharap untuk bertemu walaupun hanya sejenak.
Pemazmur akan puas bila ia diperbolehkan datang melihat Allah atau dengan kata lain datang menghadap di hadirat Tuhan…di Bait suci dimana Tuhan hadir di tengah-tengah umatNya.
Dari sini kita mengerti saudara, pemazmur dan bangsa Israel baru bisa menghargai apa artinya bersekutu dengan Tuhan. Baru bisa mengerti begitu indahnya kalau hidup bersama dengan Tuhan. Dulu memang mereka pernah mengabaikan Allah, mereka tidak menaruh perhatian pada kehadiranNya, firmanNya, teguranNya, dan kasih sayangNya. Sekarang keadaannya sepertinya sedang terbalik, dimana persekutuan dengan Allah adalah sebuah anugerah yang ingin dia dapatkan. Karenanya tidak ada hak apa pun untuk dapat memaksakan kehendak Allah untuk merespon kerinduanya, selain belas kasihan Allah yang terulur menemui pemazmur.
Karena itu di ayat ke empat dia berkata: Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?” (ayat 4)
Saudara, dalam masa pembuangan di Babel yang berarti hidup dalam masa penjajahan sudah pastinya menjadi pemandangan yang lazim jika keseharian mereka dipenuhi dengan tangisan dan ratapan. Dalam hal inilah pemazmur mengungkapkan air mataku menjadi makananku siang dan malam.” Pemazmur terasing dari Allah dan manusia, ia tinggal menangis siang dan malam sehingga makanannya pun dibasahi dengan air matanya. Belum lagi cemoohan kasar orang-orang yang tidak mengenal Allah, yang sekarang memperdaya pemazmur dan orang Israel dengan perkataan: “Di mana Allahmu? Pertanyaan ini selalu diajukan orang yang tidak mengenal Allah seakan-akan mereka ingin berkata mana buktinya kalau Allah yang kepadaNya kamu percayai itu ada dan hidup kalau toh Ia tidak bisa meloloskan kamu dari tangan kami.
Kalau boleh saya gambarkan keadaan ini seperti ingin mengatakan sakitnya tuh disini” ketika mendengar orang-orang yang ada disekitar kita mengatakan “makanya, mengapa kamu memilih menjadi Kristen? Apa yang kamu dapatkan dari kekristenan? Lihat saja di gereja, orang-orang Kristen saling gigit? Itukah yang kamu bilang menyembah Allah yang benar?” Saudara kalau mendengar kalimat-kalimat ini pastinya kita akan merasakan sakit hati yang dalam bukan? Itu juga yang dialami pemazmur saat orang-orang disekitarnya mencemooh dia.
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Begitupun dengan Raja Daud juga pernah merasakan kehilangan Allah dalam hidupnya, sampai-sampai ia meratap kepada Allah, Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepadaMu, tubuhku rindu kepadaMu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair” (Mazmur 63:2).
Hal yang sama juga dialami Ayub dalam dukacitanya karena keadaan yang membuat dia terpuruk: Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak ada disana; atau ke barat, aku tidak melihat Dia” (Ayub 23:8-9). Bahkan yang lebih dasyat saudara, Tuhan Yesus pun pernah mengalami keadaan ditinggal Allah sehingga Ia menjerit, Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46).
Bapak/ ibu yang kekasih,
Kita bisa memiliki pengalaman yang sama seperti mereka, yaitu perasaan ditinggalkan oleh Allah. Sebagian dari kita mungkin diam-diam menyimpan kepahitan terhadap Allah. Hanya kita merasa tidak pantas untuk mengungkapkannya secara terbuka dalam doa-doa kita, ataupun menceritakannya kepada orang-orang dekat kita. Namun, hal itu pelan-pelan membuat kita semakin menjauh daripada Allah.
Rasa-rasanya saudara,
Memang wajar dan sangat manusiawi jika kita pernah merasa kecewa kepada Allah. Kita merasa ditinggalkan oleh Alah. Juga wajar jika kita mengeluh dan meratap, serta mengekpresikan keluhan-keluhan seperti pemazmur. Saya percaya Allah pastinya dapat memahami sepenuhnya kekecewaan, kesakitan, kesedihan, ataupun ketakutan yang kita rasakan. Dia bukan Allah yang mudah tersinggung dan pemarah. Karenanya dalam kasihNya yang besar Allah pernah bertanya kepada nabi Yunus dua kali: layakkah engkau marah?” (Yunus 4:4, 9).
Kenyataannya saudara, tidak ada satu orang pun yang layak untuk marah terhadap penciptanya. Siapakah manusia sehingga ia berhak marah terhadap Allah? Siapakah manusia sehingga ia layak menjadi tersinggung dan meninggalkan Allah!
Karenannya saudara jangan pernah berhenti pada kondisi hidup yang meratap dengan keadaan, sebab pada akhirnya hanya akan membawa iman kita menjadi lebih terpuruk. Tetapi majulah terus sambil mengingat janji Firman Tuhan yang berkata: berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan!” (1 Korintus 15:58). Inilah yang dilakukan oleh pemazmur saudara sehingga ia tidak berhenti hanya dengan meratapi nasibnya, tetapi ia bangkit kembali, ia mengarahkan imannya kepada Allah.
Karena itu ia berkata: Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan” (ayat 5).
Saudara apa maksud dari perkataan pemazmur ini? Rupanya saudara, pemazmur ingin kembali mengingat persekutuan yang dialaminya dahulu di tengah umat yang secara meriah memanjatkan upacara syukur pada hari raya. Bisa jadi yang dimaksudkan adalah hari raya pondok daun, yang pestanya paling meriah karena diadakan sesudah panen. Dan mereka datang berduyun-duyun dalam rombongan orang-orang untuk bersembahyang. Dan disana Allah telah menanti kehadiran mereka, seperti seorang bapak yang menantikan kedatangan anak-anaknya. Pastinya saudara, kehadiran dan penerimaan Allah mendatangkan sukacita besar bagi umatNya. Allah bukanlah Allah yang dingin, yang acuh tak acuh terhadap apa yang dialami umatNya. PerhatianNya senantiasa tertuju kepada mereka yang berharap akan kasihNya. Inilah saat-saat manis bersama dengan Allah.
Kenyataannya saudara, mengenang saat–saat manis sangat penting bagi pemazmur dan juga bagi kita. Bagi suami-isteri yang merasakan adanya kerenggangan dalam hubungan, cobalah kembali mengenang saat-saat manis, ketika kalian merasakan jatuh cinta. Kenangan itu, akan memancarkan kembali harapan untuk semakin lebih mempererat hubungan. Demikian pula dengan kerohanian kita.
Justru disaat keadaan kita terpuruk, justru saat keadaan kita menjadi lemah, kita harus memaksa diri untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Saudara saya teringat dengan slogan doa yang terpampang di Asrama Putri ketika saya masih di I-3 Batu, Ada slogan yang mengatakan: Disaat kamu jenuh untuk berdoa, semakin giatlah berdoaKalimat ini sederhana. Tetapi karena kalimat itu terpampang jelas di depan pintu masuk Asrama, sehari ke sehari mengajar kami untuk lebih giat berdoa.
Nyatanya saudara, tantangan yang seringkali hebat dihadapi anak-anak Tuhan bukanlah pada saat gejolak kerinduan kita akan Tuhan tinggi. Tantangan yang paling hebat menggoda anak-anak Tuhan adalah saat kerinduan akan Allah itu menjadi pudar.
Karena itu saudaraku, mengenang saat-saat manis bersama Tuhan itu penting. Kenangan ini mengajak kita untuk kembali mengingat kasih sayang Tuhan yang besar, saat-saat dimana kita merasa kagum kepada pribadiNya, kasihNya, kebaikanNya. Kenangan inilah yang menjadi titik balik kita untuk dapat bangkit dari keterpurukan rohani.
Mengapa banyak anak-anak Tuhan yang kecewa justru semakin jauh dari Tuhan? Karena pada waktu persoalan hidup yang berat dan beruntun datang dalam hidupnya, kebanyakan dari mereka cenderung terpaku pada persoalan-persoalan tersebut. Dan ketika tidak mendapatkan solusinya, mereka cenderung menyalahkan Tuhan. Kita kecewa kepadaNya, meragukan kasihNya, mereka lupa bahwa sebenarnya setiap hari Allah selalu mengasihinya.
Saudara, mari lihat kembali bagaimana kenangan kita pertama kali percaya kepada Allah, bagaimana semangat kita melayani pertama kali muncul, masihkah kita menganggap bahwa Allah itu jahat?
Perhatikan apa yang kemudian dilakukan pemazmur saudara. Diayat 6 ia berkata: “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku dan gelisah di dalam diriku” Mengapa engkau memikirkan hal-hal yang begitu sulit dan rumit sehingga engkau hidup dalam ketakutan karena melihat ancaman dan bahaya dimana-mana? Padahal hanya dengan cukup “Berharaplah kepada Allah saja, maka masalah apapun itu, akan sanggup kita hadapi bersama Tuhan.” Karena Allah adalah sumber pengharapan dan penolong kita. Hanya di dalam Tuhan sajalah kita memiliki pengharapan.
Masalah bisa saja datang menghampiri hidup kita namun janganlah kita takut karena ketenangan itu akan kita dapatkan ketika kita dekat dengan Tuhan karena, jalan keluar itu kita akan dapatkan ketika kita berserah penuh kepadaNya dan percaya kepadaNya. Karena Dia satu-satunya gunung batu dan keselamatan kita kota benteng kita oleh sebab itu kita jangan pernah goyah.   
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa sekarang pengenalannya akan Allah mulai kembali mendominasi perasaan pesimisnya. Ia berusaha bangkit dari perasaan mengasihi diri sendiri dan kembali percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya.
Walaupun doanya belum terjawab, walaupun permohonannya belum terpenuhi, dan keadaannya belumlah berubah, tetapi pemazmur sekarang memiliki iman bahwa Allah hadir sama ketika ia masih di Yerusalem dulu. Karena itulah ia berkata di ayat kemudian: Sebab aku akan bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku” (ayat 6b).
Pemazmur percaya akan pertolongan Tuhan sehingga hal inilah yang menyebabkan dia bersukaria dan bersyukur karena Allah telah bertindak untuk melepaskannya, menjawabnya dan menyelamatkannya. Bersyukur berarti mengaku percaya dan mewartakan kasih setia Allah kepada orang lain agar merekapun turut bersukacita dan percaya kepada Tuhan.  
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Lihat saudara, mengingat kembali kenangan yang manis pada akhirnya memampukan pemazmur untuk bangkit dari keterpurukannya. Bahkan sekarang ia mampu untuk bersyukur terhadap Allah yang menjadi penolongnya. Luar biasa bukan? Bagaimana dengan kita saudara?
Maukah kita melihat kehidupan kita kembali dalam kenangan yang manis bersama Tuhan. Jika iya, raihlah itu, sebab hal itu akan membuat kita semakin yakin, bahwa Allah ada dipihak kita.
Memang saudara, berharap kepada Allah disaat-saat sulit, apalagi setelah Allah nampaknya diam terhadap hidup kita dalam pergumulan yang panjang, bukanlah hal yang mudah. Namun, menjalani masa-masa sulit tanpa harapan, ibarat sebuah sampan yang terkatung-katung ditengah-tengah lautan. Entah mau kemana! Tetapi harapan kepada Allah, adalah keyakinan bahwa apa yang Allah firmankan atau janjikan akan terjadi dalam hidup kita. Harapan terkait dengan iman. Ketika kita percaya kepada Allah dengan segala perkataanNya, kita mempunyai harapan.
Namun saudara, berharap kepada Allah tidak berarti kesulitan-kesulitan hidup selesai. Tetapi dengan kita berharap kepada Allah berarti kita sedang berjalan kearah yang pasti, karena Allah yang menjadi pusat perhatian kita.
Sama halnya, ketika masalah menerpa kehidupan kita dan mungkin masalah itu terlalu berat sehingga membuat kita merasa putus asa seakan tidak ada lagi jalan keluar yang kita temui maka kitapun mungkin sama seperti keadaan pemazmur yang sungguh mengharapkan pertolongan atau ada yang bisa menolong untuk keluar dari masalah kehidupan yang menerpa kehidupan kita.
Ingatlah bahwa sebenarnya Tuhan tidak pernah kemana-mana. Mengapa terkadang kita merasa bahwa Tuhan tidak hadir dalam setiap pergumulan kita? Karena kepekaan kita akan kebergantungan kepada Tuhan sejujurnya telah hilang oleh karena masalah yang kita hadapi. Kita terlalu focus dengan masalah dan pergumulan kita sehingga kita kehilangan kendali dan kita merasa Allah begitu jauh. Padahal saudara, kitalah yang sebenarnya telah melangkah jauh dari padaNya.
Melalui mazmur 42 ini, biarlah kita kembali mengingat akan kebesaran tangan Tuhan yang selalu siap menolong dan menuntun kita. Akan kasihNya yang selalu mengalir dalam kehidupan kita. Akan kuasaNya yang senantiasa melimpah dalam kehidupan kita.
Sebab firman Tuhan berkata dalam Yesaya 59:1 “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar;Ketika kita memper-cayakan diri untuk hidup sungguh-sungguh di dalam firman Tuhan maka Allah sumber perlindungan itu akan memberikan kemenangan dan sukacita bagi kita. Berlindunglah dan berharap-lah hanya kepada Allah sumber pengharapan kita. Amin