Rabu, 26 Oktober 2016

MAKNA HIDUP SYUKUR

MAKNA HIDUP SYUKUR
1 Tesalonika 5:18


Kaum ibu yang saya kasihi dalam Tuhan,
Setiap orang pastinya memiliki situasi yang berbeda-beda satu sama yang lain. Dan setiap detail dari kehidupan kita masing-masing adalah sesuatu yang unik. Rasanya sudah menjadi rahasia umum jika orang seringkali sulit untuk mengucap syukur kepada Tuhan, terlebih ketika ia sedang diperhadapkan dengan banyaknya kesulitan, masalah, kesukaran atau pun kekurangan. Nyatanya, bukan perkara mudah memang untuk dapat mengucap syukur di tengah situasi yang tidak baik! Tidak jarang terkadang kita pun menjadi orang-orang Kristen selalu mengajukan syarat: Maksudnya, kalau sakit sudah disembuhkan, kalau ekonomi sudah dipulihkan, kalau sudah mendapatkan jodoh, kalau keadaan berjalan dengan baik dan diberkati barulah dari mulut kita keluar ucapan syukur dan puji-pujian bagi Tuhan.
Saudara, kalau mengucap syukur dalam keadaan yang baik-baik saja semua orang pasti bisa melakukannya. Sebaliknya mengucap syukur dalam segala hal, rasanya tidak semua orang mampu melakukannya. Yang terjadi adalah kita lebih mudah terjebak dalam situasi yang pesimis dan bersungut-sungut dari pada mengucap syukur bila keadaannya buruk.
Ibu-ibu yang kekasih,
Dunia pastinya akan menjadi heran saat seseorang yang tengah dibebani dengan kesedihan kok disuruh untuk mengucap syukur kepada Allah. Sehingga mereka berkata “Memangnya film India yang dalam segala keadaan hidup selalu diselingi nyanyian. Kehidupan film tidak seindah kenyataan yang kita hadapi tahu!
Betul ibu-ibu, kehidupan dalam film selalunya digambarkan sebagai sesuatu yang sempurna, yang indah dan muluk-muluk. Tetapi janji Tuhan tidak pernah muluk-muluk. Janji Tuhan selalunya tepat sasaran dan disertai berkat bagi mereka yang taat melakukan kehendak-Nya. Lagi pula janji Tuhan berbeda dengan tayangan televisi.
Masalahnya adalah, sadarkah kita bahwa hidup manusia itu ibarat sebuah roda yang senantiasa berputar, kadang kita berada pada posisi atas, dan kadang kita berada pada posisi yang bawah. Dengan kata lain, hidup itu penuh dengan berbagai perubahan. Ada kalanya kita mengalami kesuksesan besar, namun ada kalanya kita mengalami kegagalan besar. Ibaratnya, saat kita berhadapan dengan matahari, bayangan akan jatuh di belakang kita, tetapi jika kita membelakangi matahari, semua bayangan akan tampak di depan kita. Jadi manakah yang mau kita pilih?
Sebagai murid Kristus, kita diperintahkan untuk “selalu bersyukur kepada Tuhan Allah kita dalam segala hal,” Dalam 1 Tesalonika 5:18 tadi firman Tuhan berkata: "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu."
Kalimat “Mengucap syukurlah dalam segala hal” bukan hanya berbicara soal hal-hal yang baik-baik  saja, tetapi dalam hal-hal yang tidak baik pun Allah menuntut kita untuk selalu mengucap syukur. Sebab itulah yang dikehendaki Allah! Pertumbuhan rohani kita bukan hanya meliputi pemahaman akan firman Allah, akan tetapi kita juga harus bertumbuh dalam pengucapan syukur kepada Allah. Kita lihat saudara, mengucap syukur selalunya ditujukan kepada Allah dan tidak pernah kepada manusia. Sesama kita merupakan berkat dari Allah.
Mengapa Allah memerintahkan kita untuk selalu bersyukur? Karena semua perintah-Nya ini diberikan untuk menjadikan berkat-berkat tersedia bagi kita.
Masih ingatkah ibu-ibu dengan firman Allah dalam Roma 8:28 yang berkata: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Dari sini menegaskan satu hal kepada kita bahwa yang memegang kendali atas hidup kita bukan diri kita sendiri, tetapi otoritas ada pada Allah sendiri. Dan Allah selalunya mendatangkan kebaikan bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya. Jadi bukan pada rencana kita.
Orang Kristen yang sejati pastinya akan menyadari keberadaan dirinya di hadapan sang Penciptanya. Sadar akan ketidaklayakannya dan butuh pertolongan Tuhan, sadar bahwa hidupnya harus senantiasa diisi dengan ungkapan syukur. Karenanya ia akan selalu bersyukur saat kebahagiaan menghampiri hidupnya atau pun ketika permasalahan datang menerpa kehidupannya.
Ibu-ibu yang kekasih,
Alasan yang lain mengapa kita dituntut untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan adalah:
Karena Allah adalah sumber cinta dan berkat kekal. Saudara, Tuhan mengklaim diri-Nya sebagai sumber kasih dan berkat yang tidak pernah berkesudahan. Rahmat-Nya selalu baru tiap pagi dan itu disediakan bagi orang yang bersandar kepada-Nya sebagai bentuk kesetiaan Tuhan (Ratapan 3:22-23). Karenanya saudara, hanya orang-orang yang mampu bersyukurlah yang bisa melihat bagaimana Tuhan terus bekerja di dalam kehidupannya. Sebaliknya, orang yang hidupnya selalu pesimis, selalu mengeluh, ia selalunya melewatkan anugerah Tuhan yang terjadi dalam hidupnya.
Lagi pula, Tuhan Yesus berjanji tak akan pernah meninggalkan dan mengabaikan umat-Nya. Dalam Ibrani 13:5 Allah berfirman: Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” Maksudnya adalah dalam situasi apapun, baik susah atau pun senang, Allah yang adalah sumber kehidupan tak akan sekali-kali meninggalkan kita.
Perasaan kehilangan Allah yang seringkali dialami seseorang bukan membuktikan bahwa Allah tidak peduli dalam kehidupan kita. Sebaliknya,  yang mesti kita mengerti adalah, Allah terkadang memakai kesulitan-kesulitan hidup untuk menjadikan batu loncatan bagi iman kita, untuk kita dapat lebih bergantung kepada-Nya.
Saudara, benarkah Tuhan tidak mendengarkan doa kita? Mari kita cross check dengan firman Tuhan dalam Yakobus 4:2-4, “Kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu. Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.
Jelas sekali ibu-ibu, permasa-lahanya bukan karena Alah tidak mendengar setiap doa-doamu. “Mata Tuhan selalunya tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong (Mazmur 34:15). Terlebih lagi “Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya” (Mazmur 34:18). Jadi saudara, tidak ada doa yang tidak dengar oleh Tuhan. Semua doa di dengar oleh-Nya. Masalahnya adalah apakah doa-doa yang dinyatakan kepada-Nya sudah sejalan dengan rencana dan kehendak-Nya atau tidak? Jangan sampai kata firman Tuhan, doa kita hanya untuk memuaskan hawa nafsu kita.
Ibu-ibu yang kekasih dalam Tuhan
Kita harus ingat baik-baik bahwa penderitaan yang kita alami adalah sifatnya sementara. Lagi pula “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1 Korintus 10:13).
Dari sini kita mengerti bahwa Allah menjanjikan untuk memberikan kemampuan untuk dapat bertahan menghadapi serangan dari pencobaan. Dengan demikian, masalahnya bukan dilihat dari kemampuan yang kita kira kita miliki, tetapi pada ukuran yang Allah lihat dari pandangan-Nya.
Sebab Yesus telah terlebih dahulu menanggung penderitaan di kayu salib, sekalipun Ia tidak pernah berdosa (Ibrani 4:15). Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh-Nya datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi pengantara mereka (Ibrani 7:25). Jadi ibu-ibu yang kekasih, ketika kita mengetahui akan semua kebaikan Tuhan ini, masih sulitkah kita untuk bersyukur kepada Tuhan? Saya rasa tidak!  Justru dengan kita belajar untuk bersyukur, kita menempatkan diri siapakah kita di hadapan Tuhan. Syukur yang sejati yang lahir dari anak-anak Tuhan adalah responnya atas anugerah keselamatan yang telah diterimanya dari Tuhan. Syukur yang lahir dari mulut anak-anak Tuhan adalah responnya atas iman yang telah diterimanya dari Tuhan.
Karena itu bukan tanpa alasan Allah memerintahkan kita untuk senantiasa mengucapkan syukur dalam kehidupan kita. Sebab itulah yang dikehendaki Allah bagi anak-anak-Nya. Ketika kita bersyukur kepada Allah dalam keadaan apa pun juga, Allah menjanjikan untuk memberikan damai sejahtera untuk kita dapat melewatinya. Sehingga saat kita berdukacita sekalipun, kita masih dapat bergembira dengan memuji Allah. Saat merasakan sakit, kita dapat bersukacita karena Pendamaian Kristus. Saat mengalami kesedihan yang mendalam, kita dapat memiliki penghiburan dan kedamaian akan pengaruh ilahi. Jadi meski pun hari ini mungkin kita masih memiliki setumpuk persoalan yang menerpa kehidupan kita, ingatlah bahwa Tuhan tetap baik. Tuhan baik, karena memang Ia baik adanya.
Justru saat kita diijinkan Tuhan untuk menghadapi masalah dan pencobaan, itu karena Dia mempunyai rencana yang indah dan baik dalam hidup kita. Ia ingin melatih kita menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Karena itu jangan pernah mema-damkan karya Roh Kudus yang bekerja dalam diri kita melalui sikap-sikap yang pesimistis, sebaliknya marilah kita terus bersikap optimis sehingga karya Tuhan dapat memunculkan sesuatu yang baik dalam kehidupan kita.
Latihan mengucap syukur akan menghindarkan kita dari dosa iri hati. Pengucapan syukur membuat kita berkonsentrasi pada apa yang kita terima tanpa membandingkan dan menandingkan dengan apa yang orang lain terima.
Bersyukur berarti bahwa kita melibatkan Allah atas apa yang Allah berikan atau izinkan terjadi dalam kehidupan kita. Mengucap syukur akan membuat kita memandang kehidupan ini dari sisi yang positif. Oleh karena itu, bersyukurlah senantiasa.
Kaitannya dengan acara HUT Komisi Debora yang ke-31 ini, saya ingin mengajak kita untuk kembali merenungkan, berapa banyak perbuatan Tuhan sudah kita rasakan dalam kehidupan komisi kita? Mungkin perjalanan komisi kita serasa naik turun dan lambat pertumbuhannya, tetapi marilah kita tetap bersykur kepada Tuhan, sambil kita tetap focus terhadap apa yang Tuhan inginkan untuk kita kerjakan. Bagian kita adalah mari kita tetap setia dalam persekutuan yang telah Tuhan bentuk ditengah-tengah dan selebihnya itu adalah bagian Tuhan. Selamat ulang tahun. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.

Minggu, 23 Oktober 2016

KETIDAKBERDOSAAN KRISTUS

KETIDAKBERDOSAAN KRISTUS
(2 Korintus 5:21; Ibrani 4:15)


          Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih.
Masih ingatkah dengan khotbah Ev. Renita minggu lalu yang menguraikan tentang Kemanusiaan Kristus. Bahwa kemanusiaan Yesus bukanlah sebuah karangan manusia. Sebab kemanusiaan-Nya semata-mata merupakan penggenapan nubuatan PL, tepat seperti yang disampaikan oleh nabi-nabi. Ada beberapa bukti dari kemanusiaan Yesus itu bahwa:
1.    Yesus lahir dari seorang manusia (Matius 1; Lukas 2:6-7).
2.  Mengalami pertumbuhan layaknya manusia pada umumnya (Lukas 2:40; 2:52).
3.  Yesus adalah seorang dari kota Nazaret (Kisah 2:22)
4.  Yesus sendiri menyatakan diri-Nya sebagai Anak Manusia (Matius 8:20,9:6; Markus 2:10; Lukas 19:10, 22; Yohanes 3:13)
5.  Yesus merasakan kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia: Ia lapar (Matius 4:2), Ia Haus (Yohanes 19:28), Ia butuh Istirahat (Matius 8:24), dll.
6.  Orang-orang sejaman dengan Yesus menyebut Yesus dengan gelar Manusia (Markus 9:5; Yohanes 1:38)

Dan hari ini Bapak/ Ibu yang kekasih,
Kita akan membahas tentang Natur Yesus Kristus sebagai manusia yang tidak berdosa. Saudara, mengapa Natur yang satu ini penting untuk kita mengerti? Ketidakberdosaan yang bagaimana yang dijelaskan Alkitab tentang Yesus?
Sebelum  saya membahas pada bagian ini, saya ingin kembali mengingatkan apa yang pernah dijelaskan dalam Injil Yohanes ketika Rasul Yohanes mengatakan bahwa “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita…” (Yohanes 1:14). Maksudnya adalah Yesus dalam kemanusiaannya benar-benar telah memiliki wujud daging. Firman yang sudah ada sebelum segala sesuatu ada itu telah menjadi manusia yang sejati. Namun demikian, kemanusiaan-Nya itu tidak dapat mengaburkan kesan yang sama kuatnya dengan kenyataan bahwa Yesus sebagai manusia yang unik. Mengapa unik saudara? Karena Yesus adalah satu-satunya Anak Tunggal Allah yang dilahirkan secara kekal dari Bapa, untuk menyelesaikan masalah utama manusia. Karena itu dalam keunikannya, Yesus memiliki dua natur yaitu di satu sisi Yesus adalah Allah yang sejati dan di sisi yang lain Ia juga adalah manusia yang sejati.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Sejarah gereja membuktikan bahwa penyelidikan terhadap bukti kemanusiaan Yesus telah memperlihatkan dengan jelas bahwa walaupun orang-orang Kristen mula-mula berpegang pada keagungan Tuhan Yesus, namun mereka tidak meragukan bahwa Ia juga adalah benar-benar manusia yang sejati. Kemanusiaan bukan hanya membuktikan kepada kita bahwa Ia yang kekal, pernah masuk ke dalam sejarah. Akan tetapi sekali pun Ia disamakan dengan manusia, namun yang membedakan kita dengan-Nya adalah Ia tidak berdosa.
Saudara, memang tidak ada catatan yang khusus dalam Injil Sinoptik mengenai pernyataan Yesus sendiri bahwa Ia tidak berdosa, kecuali yang dikemukakan Injil Yohanes. Dalam Yohanes 8:37-47 dijelaskan kisah perdebatan Tuhan Yesus dengan orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus menantang mereka tentang ketidak-berdosaan-Nya. Dikatakan: “Siapakah diantara kamu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa?” (Yohanes 8:46a). Mendengar ucapan Yesus ini, maka semuanya menjadi diam dan selama itu mata Yesus melihat sekeliling kepada orang banyak, sambil menantikan seorang yang berani menerima tantangan yang luar biasa itu. Namun rupanya saudara, tidak ada seorang pun yang berani mengatakan bahwa Yesus pernah berbuat dosa, semuanya diam dalam kebisuan sehingga Ia kembali mengatakan: “Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?” (Yohanes 8:46b). Pada pertanyaan ini pun semua orang Yahudi kembali bungkam.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Ada tanda-tanda yang dapat kita lihat dalam kehidupan-Nya di dunia yang mendukung ketidakberdosaan Yesus itu. Sekalipun Kitab Injil tidak menceritakan semua bentuk kehidupan Yesus, tetapi semua tindakan-Nya selama di dunia, telah dirumuskan oleh para saksi mata sebagai tindakan yang tanpa dosa. Dialah satu-satu-Nya manusia yang sempurna. Dialah satu-satu-Nya pribadi yang mampu mencapai tujuan atau sasaran Allah dalam kehidupan-Nya. Hanya Dia saja, yang mampu memuliakan Allah dari setiap detik waktu yang dihabiskan-Nya, dan dari setiap tindakan yang dilakukan-Nya. Terlebih lagi Yesus tidak pernah membuat pengakuan dosa.
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Ketidakberdosaan Tuhan kita berarti bahwa Ia tidak pernah melakukan apa pun yang tidak menyenangkan Allah atau melanggar Hukum Taurat yang harus ditaati semasa hidup-Nya di bumi atau gagal menampakkan kemuliaan Allah dalam masa hidup-Nya (Yohanes 8:29). Hal ini juga termasuk keterbatasan-Nya dalam kehidupan-Nya sebagai manusiaan, saat Ia merasa letih (Yohanes 4:6); Ia merasa lapar (Matius 4:2; 21:8); Ia merasa haus (Yohanes 19:28); Ia tidur (Matius 8:24), tidak ada satu indikasi pun yang menyatakan bahwa tindakan-Nya adalah tindakan yang lahir dari dosa. Dengan kata lain, Yesus adalah seorang yang mutlak suci dan tanpa dosa.
Dari sini kita mengerti bahwa Kristus yang menjelma menjadi manusia sejatinya tidak mengenal dosa. Karena hanya atas dasar itulah maka Ia berhak dan berkuasa mengadakan penebusan karena dosa, yaitu pendamaian itu. Pendamaian itu dikerjakan oleh seorang manusia karena manusia. Korban yang diberikan Kristus untuk pendamaian itu adalah korban yang sangat mahal, sebab melibatkan pengorbanan diri.
Dalam 2 Korintus 5:21 tadi dinyatakan kepada kita bahwa:  Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” Kalimat Yunani aslinya berbunyi sebagai berikut: Dia yang tidak mengenal dosa dijadikan dosa untuk kita, supaya kita menjadi orang yang dibenarkan oleh Allah di dalam Dia.
Bapak/ Ibu yang kekasih,
Allah menjadikan Yesus menjadi “dosa” sebagai ganti kita, hal itu berarti Allah Bapa menjatuhkan murka-Nya ke atas Anak-Nya yang tidak berdosa sebagai ganti kita.
Namun di bagian lain, hal itu diceritakan dengan cara yang jauh lebih menggentarkan, dimana Tuhan menimpakan ribuan bahkan jutaan dosa-dosa kita kepada-Nya, sampai akhirnya Dia ditutupi oleh dosa di depan mata Allah sehingga tidak ada yang tampak kecuali dosa. Dia di pandang Bapa-Nya sebagai orang yang penuh dosa. Dia diperlakukan oleh Allah sebagai orang berdosa dari ujung kaki sampai ujung kepala-Nya. Dalam Yesaya 53:6 dikatakan: “Tuhan telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.
Pendamaian berdasarkan pada perhitungan: karena tuntutan hukum Allah yang kudus sudah dipenuhi di kayu salib, maka Allah dapat di damaikan dengan orang-orang berdosa. Jadi yang benar adalah Kristus telah mengambil dosa kita atas diri-nya sendiri. Hasil dari itu ialah dosa dunia dihukum dan jalan untuk mengampuni manusia terbuka. Pekerjaan Kristus itu menjamin keselamatan kita dan orang berdosa mendapat perlindungan di dalam Kristus. Dalam hal inilah firman Tuhan tepat mengatakan dalam 1 Yohanes 3:5, “Dan kamu tahu, bahwa Ia telah menyatakan diri-Nya, supaya Ia menghapus segala dosa, dan di dalam Dia tidak ada dosa.”
Saudara, bila orang percaya kepada Kristus Yesus sebagai Juruselamatnya, dosa-dosanya tidak akan diper-hitungkan lagi kepadanya (Roma 4:1-8; Mazmur 32:1-2). Hasil dari kematian Kristus sebagai ganti kita, tidak lain daripada kita yang tidak benar dijadikan benar oleh Allah di dalam Dia (1 Petrus 3:18).
Seandainya Kristus yang menebus dosa seluruh umat manusia bukanlah domba yang tidak bercacat cela, maka bukan saja Ia tidak dapat menjamin keselamatan seluruh umat manusia melainkan Ia sendiri pun membutuhkan Juruselamat karena ia memiliki cela. Padahal tuntutan Allah adalah kekudusan yang sempurna untuk pembenaran. Namun karena Kristus maka dosa yang begitu banyak dan besar itu ditanggungkan kepada Yesus Kristus di atas kayu salib. Inilah pengorbanan yang sempurna. Pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak berdosa. Dan karena Kristus memang tidak berdosa maka Ia memang adalah juruselamat manusia yang sejati yang telah menebus dosa umat manusia.
Dari sini kita melihat saudara bahwa ketidakberdosaan Kristus bukan hanya menjadi sebuah teladan bagi umat manusia, tetapi merupakan suatu hal yang fundamental dan keharusan bagi keselamatan kita. Mengapa Dia dijadikan dosa? Supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah. Sebagaimana Kristus ditutupi oleh dosa-dosa kita yang begitu banyak sehingga dalam pandangan Allah, Dia yang kudus tampak sebagai orang yang penuh dosa, demikian juga orang paling berdosa dan najis yang menyerahkan dirinya kepada Kristus akan ditutupi oleh kebenaran-Nya yang mulia, sehingga di mata Allah orang itu menampakkan kebenaran Ilahi. Orang berdosa lenyap dan ditelan di dalam kebenaran Kristus.
Sekarang mari kita lihat apa yang dinyatakan dalam kitab Ibrani 4:15, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.
Bapak/ ibu/ sdr yang kekasih,
Dikatakan Yesus Kristus, adalah Imam Besar Agung kita, yang saat ini berada di sorga dan Ia sedang bertahta di sana. Maksud dari Imam Besar yang tidak berdosa adalah bahwa Ia sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Ia dicobai oleh Iblis, tetapi Ia berhasil lolos tanpa berbuat dosa.
Saat kita ditimpa pencobaan, pencobaan terkadang mengguncang iman kita. Kita cenderung ingin mundur sekalipun kita tidak menyerah. Pencobaan yang kita alami, adakalanya mendorong kita untuk jatuh di dalam dosa. Sebab godaan yang dilakukan oleh setan adalah untuk menghancurkan kita. Godaan dan dakwaan tak harus berjalan bersama-sama, hanya godaan yang sukses dan berhasil yang dapat menghasilkan suatu dakwaan terhadap kita.
Namun tidak demikian halnya dengan Imam Besar Agung kita. Ketika Yesus dicobai, Ia dapat lolos dengan sempurna di dalam pertarungan-Nya dengan setan. Bahkan Setan tidak dapat menemukan satu titik dosa pun di dalam diri Yesus.
Semua godaan yang dihadapi Tuhan kita dalam Matius 4 sangatlah menggiurkan bagi seorang manusia. Yesus memang mempunyai keinginan-keinginan, tetapi Dia tidak mempunyai keinginan untuk berdosa. Setan mencoba untuk membujuk Yesus supaya makan pada waktu Ia sedang berpuasa. Pada waktu itu Yesus benar-benar merasa lapar secara fisik dan oleh sebab itu Dia memiliki keinginan untuk makan sesuatu, dan bukan merupakan suatu dosa untuk menginginkan makanan.
Apabila Kristus dicobai sebagaimana halnya dengan kita, bagaimana Dia dapat tetap tidak berdosa? Masalahnya menjadi lebih besar pada waktu kita membaca Yakobus 1:14-15, Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.
Kita lihat bahwa Yakobus menjelaskan tentang adanya keinginan untuk berdosa yang ada di dalam diri manusia. Keinginan-keinginan ini sendiri sudah merupakan dosa. Apabila Yesus dicobai sama seperti kita, maka itu seakan-akan berarti bahwa Yesus memiliki keinginan untuk berdosa. Kristus tidak berbuat dosa bahkan Ia tidak memiliki tabiat dosa. Maka, pencobaan apapun yang datang kepada-Nya, adalah berasal dari luar bukan dari dalam. Ini sebenarnya yang dimaksudkan oleh kitab Ibrani pada waktu Yesus dinyatakan “tidak berdosa.
Dalam pergumulanNya dalam Taman Getsemani adalah adalah sebuah pergumulan yang nyata dan sukar. Dapat dikatakan bahwa Ia mengalami godaan terburuk yang pernah dialami oleh manusia, karena biasanya kita sudah menyerah kalah sebelum bertanding. Namun Tuhan Yesus berdiri teguh menghadapi semua cobaan dan godaan Iblis yang paling berat. Sebab misi-Nya bukan untuk mati di taman Getsemani, sebaliknya misi-Nya adalah mati di atas kayu Salib.
Saudara, sepanjang perjalanan salib, Yesus mengalami cobaan yang sangat berat dari Bapa. Tuhan berkehendak untuk meremukkan Dia, sebuah tuntutan yang seharusnya ditujukan bagi manusia, tetapi Yesus yang harus menanggungnya. Namun sekalipun begitu Ia tidak berbuat dosa. Baik di dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ia kudus, tidak berbahaya dan tidak bercela. Seperti itulah Imam Besar seharusnya bagi kita. dan semua tuntutan ini hanya ditemukan di dalam Kristus.
Kristus dicobai, tetapi Ia tidak berdosa, dan Ia dapat menolong kita apabila kita dicobai. Dalam hal inilah Firman Tuhan berkata: “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai” (Ibrani 2:18). Jika kita tidak berpegang teguh pada pengakuan percaya kita, itu tidak membuktikan bahwa Yesus Kristus sudah gagal. Sebaliknya kitalah yang telah gagal untuk menerima kasih karunia dan belas kasihan-Nya.
Luar biasa, imam besar kita. Dia sangat mengerti penderitaan manusia, bukan hanya teorinya, tetapi kenyataan, dan Dia sudah mengerti mengenai godaan kita, tetapi Dia tidak pernah jatuh! Dalam pencobaan ini, Yesus bertekad untuk menaati kehendak Bapa-Nya. Dia tidak mempunyai keinginan untuk berdosa. Inilah imam Besar yang kita perlukan. Kemanusiaan Yesus membuat Ia dapat mengerti keadaan, penderitaan, dan kelemahan kita; Ia terlebih dahulu menerima penghinaan dan mengalami penderitaan yang jauh melampaui apa yang kita alami; sehingga ketika Ia berperan sebagai Imam, peran-Nya menjadi sempurna. Yesuslah satu-satunya yang mencapai kesempurnaan, oleh karena itu ialah pokok keselamatan yang abadi bagi kita yang taat kepada-Nya.
Pendamaian telah berhasil dilakukan Kristus bagi kita di hadapan Allah. Sekarang, Ia mendampingi kita dalam menghadapi segala persoalan hidup ini. Hal ini merupakan jaminan keselamatan kita, penghiburan, serta kekuatan bagi kita untuk setia sampai akhir kepada-Nya.
Bapak/ ibu/ sdr yang kekasih,
Pentingnya ketidakberdosaan Yesus terletak pada hubungannya dengan inkarnasi. Jika Yesus menjadi manusia dalam bentuk yang bersih dan bebas dari semua kecenderungan untuk berbuat dosa, dapatkah Dia dikatakan menjadi manusia seperti manusia-manusia lain? Jawabannya sebagian terletak dalam pengertian akan karya penyelamatan Kristus. Dalam Perjanjian Baru tidak dinyatakan bahwa Kristus harus menjadi sama persis dengan manusia dalam kejatuhannya. Setiap kali Ia disamakan dengan manusia berdosa selalu ditambahkan bahwa Ia tanpa dosa. Pandangan Perjanjian Baru ialah bahwa Yesus harus menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia, tetapi itu tidak berarti bahwa Ia harus terlibat dalam dosa manusia.
Sebagai kesimpulan, kita dapat mencatat satu hal bahwa tidak ada satu pun catatan Alkitab yang mempermasalahkan apakah ketidakberdosaan Yesus berarti bahwa Ia tidak dapat berdosa atau bahwa Ia dapat tidak berdosa. Pertanyaan itu bersifat spekulatif. Ketidakberdosaan itu lebih tepat dikatakan bahwa kehendak Allah yang sempurna begitu sama dengan kehendak Yesus yang sempurna sehingga perbuatan atau bahkan keinginan yang tidak cocok dengan kehendak sempurna itu tak terpikirkan oleh Yesus. 
Karena Ia dekat dengan kita, maka Yesus benar-benar dapat menolong kita. Dia telah mengalami kesusahan kita; Dia telah mengalami pencobaan seperti kita. Maka dari itu Dia mengetahui benar-benar apa yang kita perlukan; dan Dia dapat memberinya. Amin.

Senin, 17 Oktober 2016

PERCAYALAH KEPADAKU

PERCAYALAH KEPADAKU
Yohanes 14:1, 11


Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Malam ini kita akan merenungkan satu bagian penting yang berbicara tentang iman dan percaya. Kata "iman" yang dipakai dalam Perjanjian Baru me­ru­pakan terjemahan dari kata Yunani πίστις (pistis), sedangkan kata kerja­nya "percaya" adalah terjemahan dari kata πιστεύω (pisteuo). Perjanjian Baru memberi tempat yang utama kepada iman, atau kepada tindakan percaya. Dalam Injil Sinoptik, kata iman muncul sebanyak 20 kali. Iman seringkali dihubungkan dengan penyembuhan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Akan tetapi yang terlebih penting dari semua ini adalah tuntutan Tuhan Yesus akan iman yang tertuju kepada diri-Nya. Tuntutan khas kekristenan bahwa orang harus beriman kepada Tuhan Yesus secara gamblang didasarkan pada tuntutan-Nya sendiri. Saudara, iman sering dianggap sebagai soal hubungan, bukan semata soal pengakuan. Buktinya adalah fakta bahwa, dibandingkan dengan bagian-bagian lain dalam Perjanjian Baru. Dalam Injil Yohanes pemakaian kata kerja ini jauh lebih sering diikuti dengan kata depan “eis yang berarti “mempercayakan diri kepada.” Dari sini kita melihat bahwa dalam Injil Yohanes, iman menduduki tempat yang sangat mencolok, hal ini terlihat dari munculnya kata kerja “pisteuo  sampai 98 kali. Jadi hal yang terpenting adalah hubungan orang percaya dengan Kristus. Justru Yohanes berulang-ulang berbicara tentang percaya kepada-Nya atau percaya dalam nama Kristus (Yohanes 3:18).
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Apakah artinya percaya kepada-Nya? Mengapa Tuhan Yesus menuntut supaya setiap orang percaya kepada-Nya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita memulai dengan satu fakta bahwa sesungguhnya semua manusia sedang berada pada kondisi yang menyedihkan. Mengapa? Karena, “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Dosa selalunya menyeret manusia kepada maut, tetapi kasih karunia Allah memungkinkan manusia yang berdosa dapat mengenal Allah (Roma 6:23). Fakta bahwa tidak ada seorang pun dapat membenarkan dirinya di hadapan Tuhan. “Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (Roma 3:20). Yang berikutnya fakta bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memperoleh keselamatannya sendiri (Efesus 2:28). Fakta bahwa hanya ada satu cara yang paling ampuh untuk manusia memperoleh pembenaran Allah dan keselamatan-Nya, yaitu kita harus menerimanya dengan cara yang ditentukan sendiri oleh Allah. Fakta bahwa cara Allah untuk menyelamatkan manusia adalah dengan mengirim putra tunggal-Nya sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Fakta bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan manusia yang sementara hidup dalam dosa (Kisah 10:43). Justru ketika manusia masih menjadi seteru Allah, Tuhan Yesus memperdamaikan kita dengan Allah, melalui kematian-Nya (Roma 5:10).
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kembali kepada topik kita tentang iman, kita tahu bahwa definisi iman sendiri sudah dijelaskan oleh Alkitab dalam Ibrani 11:1 yang berkata, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
Dari definisi itu, kita pelajari beberapa karakter iman. yaitu bahwa orang beriman mendapatkan jaminan atau kepercayaan diri. Iman berbeda dengan pengharapan, karena iman adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan.” Pengharapan selalu memberi peluang kepada keraguan.
Masalahnya, kadang-kadang iman hanya dikaitkan soal mempercayai bahwa apa yang dikatakan seseorang adalah benar, atau mempercayai seseorang sebagai yang layak dipercayai. Sehingga iman berkaitan dengan percaya dihubungkan dengan pengakuan bahwa suatu fakta historis tertentu adalah benar.
Kita melihat saudara, ketika Tuhan Yesus bangkit dari kematian, Ia menampakkan diri kepada murid-murid-Nya. Dan ketika salah seorang murid Tuhan Yesus yang bernama Tomas meragukan kehadiran Tuhan Yesus, Tuhan Yesus datang kepadanya dan berkata: Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkan tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah” (Yohanes 20:27). Perkataan Tuhan Yesus ini dapat kita terjemahkan secara harfiah, “Berhentilah dari ketidakpercayaan dan jadilah orang percaya.”
Saudara, percaya bukanlah sebuah iman yang buta yang mengajarkan kepada kita untuk melompat dalam kegelapan. Percaya mempunyai dasar dan isi. Percaya mempunyai dasar atas apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam sejarah. Sebagai orang percaya, iman kita dibangun di atas fondasi keberadaaan Allah, dan perlakuan-Nya terhadap orang yang mencari-Nya berbeda dengan perlakuan-Nya terhadap orang yang tidak mencariNya. Sehingga setelah benar-benar mempercayai kedua hal itu, kita mulai menyenangkan Allah, karena kita segera mencariNya.
Bagi orang zaman itu, nama mengungkapkan seluruh keberadaan seseorang. Keberadaan orang itu seutuhnya. Maka percaya dalam nama Yesus berarti mutlak percaya kepada diri Yesus seutuhnya. Yohanes 3:18 berkata: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah”. Ajaran khas Yohanes ialah, bahwa perihal kekekalan ditentukan oleh kekinian dan disini. Iman tidak melulu menjamin hidup yang kekal pada suatu masa depan yang tidak diterangkan, tetapi juga memberi hidup yang kekal sekarang ini. Barangsiapa percaya kepada Anak, sekarang ini ia telah beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:36).
Karena itu saudara, percaya kepada Yesus seharusnya lebih dari sekedar mengetahui hal yang benar tentang Yesus. Kekristenan tidak hanya mengajarkan tentang pengakuan siapa Yesus dan apa yang dilakukakan-Nya dalam dunia sebatas ilmu pengetahuan. Ketika seseorang berkata: "Saya percaya Yesus adalah pengajar yang benar, seorang nabi yang agung, dan seorang yang baik. Tetapi untuk menjadikan Yesus sebagai Tuhan saya, tunggu dulu.Pertanyaan saya, betulkan orang itu sungguh-sungguh percaya? Percaya dalam hal apa?
Saudara, saya mengajak kita untuk menelaah lebih dalam tentang kasus ini. Rasanya, sangat tidak masuk di akal kalau seseorang percaya bahwa Yesus adalah pengajar yang benar, tapi menolak ajaran-Nya. Tuhan Yesus sangat jelas mengajarkan bahwa Ia adalah satu-satunya Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yohanes 14:6).  Jadi jika saudara percaya bahwa Yesus adalah seorang pengajar yang benar tetapi saudara tidak mengakui ajaran-Nya, itu artinya saudara adalah orang yang gegabah.
Saudara juga tidak bisa mengatakan bahwa saya percaya bahwa Yesus adalah nabi agung, tapi menolak nubuat-Nya yang berkata Ia akan mati dan dibangkitkan dalam tiga hari (Lukas 18:31-33). Berarti saudara seorang yang mabuk.
Saudara juga tidak bisa mengatakan bahwa saudara mengakui bahwa Yesus adalah orang yang baik, tapi tidak mempercayai klaim-Nya sebagai Anak Allah (Lukas 22:70; Yohanes 5:18-47). Itu artinya saudara adalah orang gila.
Jadi saudara, kekristenan secara garis besar adalah: pengakuan tentang Yesus yang telah mengusung dosa Saudara ke kayu salib dan memberikan keselamatan yang kekal oleh karena nama-Nya. Dalam hal ini Yohanes 3:36 berkata: "Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya."
Karena itu percaya bukan hanya sekedar mengakui bahwa sesuatu adalah benar. Tetapi juga mengandalkan, menyerahkan diri kepada-Nya, setia kepada-Nya dan taat pada apa yang diajarkan atau diperintahkan-Nya. Percaya berarti percaya kepada-Nya sebagai pribadi yang hidup sebagaimana sesungguhnya Yesus itu. Itulah sebabnya Tuhan Yesus menuntut kita supaya kita dapat percaya kepada-Nya. “Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku” (Yohanes 14:1; band Matius 18:6). Saudara, dalam ayat ini Tuhan Yesus ingin menegaskan satu hal bahwa Ia sejajar dengan Allah. Kesejajaran ini adalah sesuatu yang wajar, karena keilahian Yesus Kristus sudah dinyatakan berulang-ulang dalam Injil Yohanes. Jadi dengan kata lain, Tuhan Yesus ingin berkata: “jika kamu percaya kepada Allah, kamu pun harus percaya kepada Yesus.” Dalam hal ini saudara, obyek iman mereka adalah Allah dan Tuhan Yesus. Jika Tuhan Yesus memang mewakili Allah Bapa, seperti apa yang dikatakan dalam pasal 5:19, Dia layak dipercayai sama seperti Allah sendiri. Tidak cukup bahwa mereka percaya kepada Allah yang diceritakan dalam Perjanjian Lama, tetapi mereka menolak pribadi yang didalamNya sedang menggenapi firmanNya. Sebaliknya mereka juga harus percaya kepada Tuhan Yesus yang sebentar lagi akan dikhianati, dihukum dan disalibkan.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Perintah ini bukanlah kata-kata yang hampa. Sebab sebentar lagi para murid akan menghadapi suatu krisis iman yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dia yang mereka kagumi dan kasihi akan disalibkan sebagai penjahat yang dihukum. Mereka perlu mengem-bangkan iman mereka supaya mereka tidak hancur. Tuhan Yesus mau menolong mereka supaya mereka dapat bertahan sampai Dia bangkit kembali. Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus memang sudah dinubuatkan dan digambarkan dalam Perjanjian Lama, tetapi sampai saat itu manusia belum pernah mengalami atau menyaksikan sesuatu yang begitu dasyat dan mulia. Tanpa iman, mereka akan hancur dan tidak mungkin menjadi rasul-Nya.
Percaya kepada Yesus lebih dari percaya tentang Yesus. Kita tidak dituntut untuk beriman untuk memenuhi logika kita, sebab iman sesungguhnya melampui logika manusia. Kita mesti percaya kepada pribadi Yesus dan bersandar kepada-Nya karena Ia hidup dalam kehidupan kita. Melalui Kristus, kita dibawa masuk ke dalam kovenan dengan Allah, dan mendapat bagian dalam berkat dan janji-Nya. Tanpa Dia, orang-orang berdosa seperti kita ini pastilah sudah kehilangan segala harapan untuk mengalami semuanya ini. Namun, dengan percaya kepada Kristus sebagai Pengantara antara Allah dan manusia, kepercayaan kita kepada Allah akan mendatangkan penghiburan bagi kita. sebab orang-orang yang percaya kepada Allah dengan benar, akan percaya kepada Yesus Kristus, yang telah diperkenalkan-Nya kepada mereka. Sehingga bagi Yesus, iman harus mempengaruhi perbuatannya.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Berbicara tentang tuntutan Tuhan Yesus untuk kita dapat percaya kepada-Nya, harus dilihat dengan latar belakang karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Sehingga yang menjadi inti Perjanjian Baru ialah gagasan Allah mengutus Anak-Nya menjadi Juruselamat dunia. Yesus Kristus melakukan karya penyelamatan manusia dengan melalui kematian yang mendamaikan manusia dengan Allah di salib-Nya. “… sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu” (Yohanes 8:24). Jadi, keselamatan pasti merupakan buah dari iman. Yohanes berkata dalam pendahuluan kitabnya, “Tetapi semua orang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yohanes 1:12). Jadi iman adalah sarana yang olehnya orang diterima ke dalam suatu persekutuan baru, yang terlihat sebagai satu keluarga, yang hanya dimungkinkan melalui Tuhan Yesus. Hanya melalui Tuhan Yesuslah manusia benar-benar dapat menjadi anak-anak Allah.
Sebagai Allah, Tuhan Yesus lebih tahu apa yang kita butuhkan lebih daripada diri kita sendiri. Bahwa kita perlu penyelamatan dari murka Allah, dan kita perlu relasi yang memuaskan jiwa dengan Allah. Untuk itulah Yesus datang ke dalam dunia. Jadi agar iman kita mengarah menuju keselamatan, itu harus berpusat kepada Tuhan Yesus Kristus. Imanlah yang menjamin kehidupan kekal (Yohanes 3:16) dan ketiadaan imanlah yang membawa seseorang pada penghukuman (Yohanes 3:18). Untuk memiliki iman kepada Yesus Kristus berarti kita harus memercayai-Nya dan mematuhi perintah-perintah-Nya. Sehingga iman lebih dari sekadar kepercayaan yang pasif. Sebaliknya kita mengungkapkan iman kita melalui tindakan-tindakan aktif dalam kehidupan kita. Penolakkan menerima hidup menurut syarat-syarat yang Ia tentukan jelas merupakan penolakan atas seluruh misi-Nya.
Jadi jika kita menerima Dia, menaati Dia, melihat Dia, mengenal Dia, maka tanggapan kita bersifat positif. Jika kita tidak menyambut Dia dengan cara-cara ini, maka kita tidak mempunyai iman yang sungguh-sungguh kepada-Nya. Kiranya perenungan ini dapat membawa kita untuk lebih menyadari tentang makna iman dan percaya dalam kehidupan kekristenan kita, sehingga kita dapat semakin mengasihi Tuhan Yesus dengan lebih sungguh. Amin.

Senin, 10 Oktober 2016

KETAATAN KRISTUS

KETAATAN KRISTUS
Filipi 2:1-11


Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Minggu yang lalu kita belajar tentang Keilahian Kristus. Salah satu doktrin yang sangat penting dalam kekristenan, yaitu tentang pengakuan Yesus adalah Tuhan. Saudara, Yesus adalah Allah yang sejati dan hakikat Yesus Kristus sebagai Allah, menunjukkan kesetaraan-Nya dengan Bapa baik sebelum, selama dan sesudah masa hidup-Nya di bumi (Yohanes 1:1; 8:58; 17:24; Kolose 1:15-17). Di dalam kekekalan-Nya Yesus Kristus adalah Allah. Oleh karena Yesus Kristus adalah Allah, maka Kristus mempunyai hak atas semua sifat-sifat Allah.
Nah, pada minggu ini, kita akan belajar sisi lain dari Kristologi, yaitu tentang Ketaatan Kristus. Saudara, berbicara tentang ketaatan Kristus, timbul beberapa pertanyaan yang mesti kita jawab untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat: Apa yang dimaksud dengan ketaatan? Ketaatan yang seperti apa yang dilakukan dan diajarkan Tuhan Yesus? Dan seberapa pentingkah ketaatan Kristus ini berlaku dalam kehidupan kekristenan kita?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, saya mengajak kita untuk melihat terlebih dahulu terminologi sebuah ketaatan, bahwa ketaatan berasal dari kata taat. Dalam KBBI kata “Taat” artinya “senantiasa tunduk, patuh, tidak berlaku curang, setia, saleh dan kuat beribadah.” Sedangkan “ketaatan” lebih diartikan sebagai “kepatuhan, kesetiaan, kesalehan.” Dalam dunia hukum, ketaatan lebih diartikan sebagai fungsi untuk tidak membahayakan atau mengganggu kedamaian atau keadilan.
Dalam kekristenan sendiri, ketaatan tidak dapat dilepaskan dari iman. Ketaatan adalah bagian atau bukti dari iman. Dalam kehidupan keseharian seseorang, dapat saja ketaatan lahir dari motivasi-motivasi tertentu, tetapi tidak ada cara lain untuk mewujudkan imannya kecuali dengan menunjukkan ketaatannya dalam menghidupi apa yang diimaninya. Jadi dari sini kita pahami saudara bahwa orang yang hidup dalam ketaatan merupakan perwujudan dari iman mereka kepada Allah.
Sekarang kita melihat, apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus berkaitan dengan ketaataan-Nya? Mari kita simak ayat 6 dari Filipi pasal 2 ini: yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,” (Filipi 2:6).
Dalam ayat ini ada frasa “dalam rupa Allah”. Dalam bahasa Yunani, ada dua kata yang menggambarkan kata rupa, yaitu kata “Morfe dan Skhema.” Kedua kata ini memiliki kesamaan dalam hal terjemahaan, yakni sama-sama merujuk kepada kata “rupa”. Namun secara makna, kata “Morfe” berbeda dengan kata “Skhema.” “Morfe” adalah rupa hakiki yang tidak pernah berubah; seperti “kemanusiaan, keilahian.” sedangkan “Skhema” adalah rupa lahiriah yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Ketika Paulus menjelaskan tentang Yesus dalam kalimat ini, Paulus menuliskannya dengan menggunakan kata “Morfe.” Jadi kalimat “dalam rupa Allah” lebih tepat diterjemahkan sebagai “keberadaan-Nya yang tidak dapat berubah atau bersifat Ilahi.” Yang sekalipun “Skhema” luar-Nya berubah karena sekarang menjelma menjadi Yesus namun dalam hakikat Ia adalah Ilahi.
Sudah tentu sebagai Allah, Yesus Kristus tidak memerlukan apa pun! Ia telah memiliki semua kemuliaan dan pujian dari surga. Bersama-sama dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, Ia memerintah seluruh alam semesta ini. Tetapi ayat 6 mengemukakan suatu fakta yang mengejutkan: bahwa Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai “milik yang harus dipertahankan.”
Dengan demikian, yang ingin dijelaskan Paulus dalam kalimat ini adalah sekalipun Yesus adalah Allah, namun Ia tidak mempertahankan hak-Nya, tetapi menanggalkan kedudukan itu demi kepentingan manusia. Kristus tetap adalah Allah, dan keilahianNya tidak berkurang, tetapi demi kepentingan manusia maka hakikat keilahian itu disembunyikan. Dari sini kita melihat bahwa Yesus tidak memikirkan diri-Nya sendiri; Ia memikirkan orang lain. Pandangan-nya/ sikap-Nya ialah memperhatikan orang lain tanpa mementingkan diri sendiri. Saudara inilah bentuk kerendahan hati yang mutlak yang lahir dari kasih-Nya yang besar. Inilah ketaatan Yesus yang berperan sebagai Anak Tunggal Allah.
Perhatikan ayat 7 “melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:7).
Kata “rupa” tetap menggunakan kata “Morfe” yang menunjukkan kesungguhan dari kedudukan-Nya sebagai hamba dan menjadi sama dengan manusia. Kekeristenan percaya bahwa Yesus Kristus adalah manusia yang sejati. Ia seratus persen manusia seutuhnya. Ia bukan manusia jadi-jadian. Ia juga bukan manusia setengah dewa. Tetapi Ia sungguh-sungguh menusia seutuhnya. Namun ada sesuatu yang lebih di sini, yaitu Kristus “menjadi sama dengan manusia.” Maksudnya adalah dalam Keilahian-Nya, Kristus kini mengambil rupa manusia, menjadi sama dengan manusia dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia sungguh dan sepenuhnya manusia. Mendapat bagian dalam darah dan daging kita. Tampil dalam kodrat dan kebiasaan manusia dan Dia mengambil kodrat manusia dengan sukarela. Itu merupakan tindakan-Nya sendiri dan dilakukan dengan persetujuan-Nya sendiri.
Saudara, Kita tidak dapat berkata demikian mengenai bagian kita dalam kodrat manusia. Di sini Ia mengosongkan diri-Nya sendiri, melepaskan diri dari kehormatan dan kemuliaan dunia atas serta dari keadaan-Nya yang sebelumnya untuk mengenakan pada diri-Nya sendiri kain kotor berupa kodrat manusia.
Jadi saudara, walaupun Ia tetap benar-benar Ilahi, namun sekarang Kristus mengambil sifat manusia dengan segala pencobaan, kehinaan dan kelemahannya, hanya bedanya adalah Ia tanpa dosa. Berbeda dengan Adam pertama, yang melakukan tindakan sia-sia untuk mencapai kesetaraan dengan Allah (Kejadian 3:5), Yesus sebagai Adam yang terakhir (1 Korintus 15:47), Ia merendahkan diri-Nya dan di dalam ketaatan-Nya Ia menerima peran sebagai hamba yang Menderita. Sehingga Ia mempersembahkan ketaatan yang tak bercacat dan sempurna kepada Bapa di pihak orang-orang yang terkait dengan-Nya oleh iman.
Kita melihat saudara, Adam gagal dalam ketaatannya, tetapi Kristus berhasil secara sempurna. Adam adalah adalah sumber dosa dan kematian, tetapi Kristus adalah sumber ketaatan dan kehidupan. Sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).
Namun demikian, kemanusia Yesus tidaklah permanen; kemanusiaan itu memang sungguh-sungguh nyata namun itu sudah berlalu, sebab sejak kenaikan-Nya ke surga, Ia telah kembali ke dalam tubuh-Nya yang baru.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
 Pada ayat 8 dijelaskan: Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:8).
Dalam hal ini Paulus berbicara tentang Yesus yang telah merendahkan diri-Nya sendiri dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Dari sini kita melihat bahwa ciri khas utama hidup Yesus adalah kerendahan hati, ketaatan dan pengangkalan diri. Ia tidak ingin menguasai manusia, tetapi hanya melayani mereka; Ia tidak menginginkan kehendak-Nya sendiri, tetapi kehendak Allah; Ia tidak ingin meninggikan diri, tetapi menyangkal seluruh kemuliaan-Nya demi manusia. Apabila kerendahan hati, ketaatan dan penyangkalan diri merupakan ciri khas paling agung bagi hidup Yesus, maka itu juga harus merupakan ciri dari setiap orang Kristen yang mengaku sebagai anak-anak-Nya.
Kita melihat saudara, Yesus sendiri rela melepaskan identitas dengan segala hak-Nya walaupun Ia adalah Allah. Inilah yang disebutkan sebagai mengosongkan diri-Nya. Maksudnya adalah Ia rela mengosongkan diri-Nya, menyembunyikan keutamaan-Nya supaya orang berdosa dapat diselamatkan. “Pengosongan diri-Nya ini tidak sekedar berarti secara sukarela menahan diri untuk menggunakan kemampuan dan hak istimewa ilahi-Nya, tetapi juga menerima penderitaan, kesalahpahaman, perlakuan buruk, kebencian, dan kematian yang terkutuk di salib. Yesus mengabaikan kemuliaan diri-Nya dengan membiarkan diri dihina, direndahkan, disiksa, bahkan dibunuh. Jadi Kristus tidak hanya menjadi manusia sejati, tetapi seorang manusia “sama dengan yang lain” yang mengambil bagian dalam seluruh kelemahan manusia kecuali dalam dosa.
Kalau kita bercermin dari apa yang dilakukan Yesus, merendahkan diri memang bukan perkara mudah, sebab kita perlu melatih diri untuk bersikap demikian dalam relasi kita dengan sesama, khususnya di antara orang percaya. Itu bisa ditunjukkan dengan kesediaan mengalah saat berbeda pendapat untuk hal-hal yang tidak prinsipil. Dalam kehidupan berjemaat pun kiranya kita belajar untuk tidak menonjolkan diri sendiri saja, tetapi juga memberi kesempatan kepada orang lain untuk maju.
Saudara, Ketaatan Yesus pada kehendak Allah Bapa adalah ketaatan yang mutlak, karena ketaatan-Nya berorientasi pada kehendak Bapa. Ketaatan-Nya bukan hanya taat dalam melaksanakan tugas-Nya tetapi kesempurnaan dalam menyerahkan diri sesuai dengan kehendak Bapa, yakni Dia harus mati demi penebusan orang yang berdosa. Ketaatan Yesus untuk mati di kayu salib menjadi jembatan yang mengatasi jarak antara manusia berdosa dengan Allah yang suci. Yesus Kristus telah memberitahukan kepada kita bahwa perjalanan-Nya dari sorga untuk mencari orang berdosa, telah sampai pada titik paling bawah, paling hina, dan paling dalam yang tidak akan bisa dilakukan oleh siapapun juga. Karenanya tidak heran saudara, jika ketaatan Kristus adalah ketaatan yang mutlak.
Dalam hal ini, maka ketaatan yang berorientasi pada Allah sejatinya akan menghasilkan ketaatan mutlak, sebaliknya ketaatan yang hanya untuk menyenangkan hati manusia akan menimbulkan ketidaktaatan yang tersembunyi. Karena itu, ketaatan Tuhan Yesus kepada kehendak Allah Bapa, ditunjukkan-Nya pada penyerahan diri-Nya sampai mati, merupakan sebuah teladan bagi kita.
Seringkali berbagai pergumulan hidup di dunia membuat kita merasa terdesak dan sulit untuk taat kepada Allah. Kita diingatkan bahwa walaupun sulit dan menuntut pengorbanan, kita harus belajar taat kepada kehendak Allah. Siapakah kita, yang jauh lebih rendah daripada Dia, tetapi memberontak kepada Bapa di surga? Kita hanyalah ciptaan yang lemah dan kecil ini berani melawan Allah. Tetapi Yesus taat sampai mati di atas kayu salib. Hanya dengan ketaatan kepada Allah, barulah rencana Allah yang sempurna dan baik dapat terlaksana. Demi kebaikan hidup kita semua, mari belajar menaati Allah secara mutlak. Saudara, kunci agar kita bisa terus terarah kepada ketaatan seperti Kristus adalah selalu berdoa. Sama seperti Yesus taat kepada kehendak Allah, kita pun harus belajar taat kepada kehendak Allah dalam kehidupan kita. Doa akan menolong kita agar kita tetap terarah untuk taat kepada Allah.
Kita lanjut ke ayat 9-10 “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,” (Filipi 2:9-10).
Saudara inilah bagian yang paling agung dimana Yesus menerima pemuliaan dari Bapa. Cepat atau lambat, setiap makhluk hidup di seluruh jagat raya, di surga, di bumi dan bahkan di neraka, akan menyembah-Nya. Dalam tatapan Yesus yang telah meninggalkan kemuliaan-Nya demi manusia dan mengasihi manusia sampai mati di atas salib, hati manusia menjadi luluh dan penolakkan mereka hancur. Ketika orang menyembah Yesus Kristus, mereka jatuh pada kaki-Nya dalam kasih yang ajaib. Kita melihat saudara, sebagai bagian dari konsekuensi dari kasih yang penuh pengurbanan, Allah memberikan Yesus nama di atas segala nama. Ini merupakan gagasan yang umum di pakai dalam Alkitab yaitu memberi suatu nama baru untuk menandai suatu tahapan baru dalam hidup manusia. Abram menjadi Abraham ketika menerima janji Allah (Kejadian 17:5). Yakub menjadi Israel ketika Allah masuk ke dalam hubungan baru dengannya (Kejadian 32:28).
Lalu nama baru apa yang disandangkan kepada Kristus. Tidak lain jawabannya adalah “nama di atas segala nama” inilah gelar yang merujuk pada “Tuhan.” Mula-mula gelar ini berarti tuan atau pemilik. Lalu istilah ini menjadi gelar resmi kaisar-kaisar Romawi. Istilah ini juga dipakai sebagai gelar dewa-dewa kafir. Saat penerjemahan Alkitab menerjemahkan kata Yehovah dalam Alkitab PL versi bahasa Yunani, mereka menerjemahkan kata “Yehovah” menjadi “Kurios” yang berarti “Tuhan.” “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi.” Pembagian jagat raya atas tiga wilayah itu mau menekankan keseluruhan jagat raya itu. Maka pemahaman kita adalah Dialah Tuan dan pemilik segala kehidupan. Dialah Raja dari segala raja; Dialah Tuhan yang tidak dapat disamakan oleh dewa-dewa kafir dan patung-patung bisu.
Tujuan ini nampak jelas dalam ayat 11 “dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:11).
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan, pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan adalah pengakuan yang sangat penting dalam dalam kekristenan. Menjadi orang Kristen berarti mengaku Yesus sebagai Tuhan (Roma 10:9). Pengakuan ini amat sederhana, namun mencakup keseluruhan. Mungkin kita akan mengerti lebih baik tentang arti sebuah kekristenan jika kita kembali kepada pengakuan ini, yakni bahwa kita harus menaklukan diri dan taat kepada-Nya, sujud menyembah kepada-Nya, mengakui dan menghormati-Nya sebagai Tuhan yang empunya kuasa dan kemuliaan. Sebab merupakan kehendak-Nyalah supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa (Yohanes 5:23).
Sekalipun demikian, seluruh tujuan Yesus bukan kemuliaan diri-Nya sendiri, tetapi kemuliaan Allah. Dari sini kita melihat bahwa keyakinan Paulus sangat jelas bahwa Allah adalah satu-satunya yang paling agung. Tuhan adalah “nama di atas segala nama” yang dikaruniakan kepada Yesus. Dia Raja dan Pemerintah yang diangkat oleh Allah untuk memegang kekuasaan atas segala sesuatu. Jadi penghormatan apa pun yang diberikan kepada Kristus tertuju juga kepada Bapa. Dalam hal inilah Matius 10:40 berkata: “Barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.
Kita perlu tahu saudara, bahwa Sebetulnya, gereja Filipi adalah gereja yang bagus/ baik. Ini terlihat dari banyaknya pujian yang Paulus berikan kepada mereka (Filipi 1:5 4:10, 14-18). Tetapi, bagaimanapun juga, ini bukan gereja yang sempurna. Dalam gereja Filipi ada orang-orang yang bertujuan mengarahkan perhatian orang pada diri mereka sendiri, dan tujuan Yesus adalah mengarahkan pandangan manusia kepada Allah. Jadi, pengikut Kristus harus selalu berpikir bukan mengenai dirinya, melainkan orang lain, bukan demi kemuliaannya sendiri, melainkan kemuliaan Allah. Dari sini maka kita akan dapat memahami bagian dari ayat 1-4 seperti yang dikatakan oleh Paulus.
Bahwa tujuan utama hidup kekristenan adalah menjadi seperti Kristus. Demikianlah Rasul Yohanes berkata "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup" (1 Yohanes 2:6). Setiap orang Kristen harus meneladani Kristus dalam hidupnya dan mengikuti jejak hidup-Nya sehingga kita menjadi serupa dengan Dia. 
Banyak orang Kristen bertanya, "Mana mungkin sama seperti Kristus?" Memang, dalam keilahian-Nya tentu kita tidak akan pernah bisa dan tidak akan mungkin dapat menjadi seperti Kristus. Tetapi dalam aspek kemanusiaan-Nya tentu kita bisa seperti Dia, karena ada Roh Kudus di dalam kita; Roh itulah yang akan memampukan kita untuk hidup sama seperti Kristus. Hidup sesuai dengan kehendak Kristus.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Yesus Kristus adalah pribadi yang rendah hati.  Dia datang ke dunia bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Ketika Saudara membaca keempat Injil, pernahkan Saudara memperhatikan bahwa Yesuslah yang melayani orang lain, bukan orang lain yang melayani Yesus? Ia selalu siap sedia menolong siapa saja, kaum nelayan, pelacur, pemungut cukai, orang-orang sakit, orang-orang yang menderita dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan-Nya dengan penuh kasih. Kita pun seharusnya demikian, kita dapat mulai menanamkan rasa peduli kita terhadap orang lain. Orang yang rendah hati adalah orang yang tidak semata-mata memikirkan dirinya sendiri atau mencari pujian bagi diri sendiri, tetapi "...menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;" (Filipi 2:3b). Orang yang rendah hati adalah orang yang rela melayani karena menyadari bahwa dirinya adalah hamba. Orang yang memiliki kerendahan hati dan hidup bagi orang lain, dari dirinya dituntut pengorbanan dan pelayanan, tetapi pada akhirnya hal itu mendatangkan kemuliaan. Inilah pernyataan Paulus, "Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah." (1 Korintus 4:1).
Jadi sukacita dari kerendahan hati bukan hanya diperoleh dengan menolong orang lain dan ikut serta dalam persekutuan dalam penderitaan Kristus (Filipi 3:10), tetapi terutama dari pengetahuan bahwa kita sedang memuliakan Allah.
Banyak orang Kristen tidak menyadari akan hal ini. Karena kaya, kita menjadi tinggi hati dan menganggap rendah orang lain yang di bawah kita; ketika pelayanannya sudah berhasil dan menjadi hamba Tuhan 'besar', tidak sedikit yang menjadi lupa diri.  Sikap kita pun mulai berubah, pilih-pilih ladang pelayanan, mau melayani asal fasilitasnya memadai dan lain-lain. Siapa kita ini? Kristus saja rela membasuh kaki murid-murid-Nya (baca Yohanes 13:1-20) dengan tujuan supaya kita meneladani Dia. Karena itu biarlah ketaatan yang telah diteladankan Kristus bagi kita, mendorong kita untuk mau mengikuti teladannya dalam hal taat kepada Allah, melakukan setiap firman-Nya dan hidup menyenangkan hati Allah. Kitanya Tuhan memberkati kita sekalian. Amin.