Selasa, 06 September 2016

JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG SESAMAMU

JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG SESAMAMU
 (Keluaran 20:16)


Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Hari ini kita kembali membahas 10 hukum. Dan pada hari ini kita masuk dalam pembahasan hukum ke-9 yaitu yang berbicara tentang “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”. Saudara, berbicara tentang dusta, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kata “dusta” berarti “perkataan yang tidak benar”, sedangkan “berdusta” berarti  “mengatakan  hal yang tidak benar, berbohong”. Kedua-duanya memiliki pengertian yang hampir mirip.
Bapak/ ibu/ sdr yang kekasih,
Dalam kehidupan sehari-hari kita, sadar atau tidak sadar, seringkali kita pun sering melakukannya. Kita sering tergoda untuk mengatakan hal-hal yang tidak jujur dalam kehidupan kita dengan berbagai macam motif dan alasan. Baik kepada diri sendiri, kepada keluarga, pasangan kita atau pun rekan kerja. Jika kita merujuk pada hasil penelitian sebuah lembaga survei beberapa tahun yang lalu, tampaknya berdusta sudah menjadi cara hidup yang lazim yang dianut oleh kebanyakan orang. Beberapa tahun yang lalu sebuah penelitian membuktikan bahwa 91% orang telah biasa berdusta berkaitan dengan hal-hal yang dianggap sepele; 36% orang berdusta mengenai hal-hal yang penting; 86% mengaku sering berdusta kepada orangtua; 75% berdusta kepada teman-teman; 73% kepada saudara kandung; dan 69% kepada pasangannya.
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Firman Tuhan hari ini memerintahkan kita untuk senantiasa mengatakan kebenaran tanpa disertai embel-embel berbohong dengan alasan apapun juga dan dengan resiko apapun. Dalam hal inilah firman Tuhan dalam Amsal 13:5 pun berkata, “Orang benar membenci dusta, tetapi orang fasik memalukan dan memburukkan diri”. Serta dalam Kolose 3:9 dijelaskan bahwa, “Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya”. Dari sini kita melihat saudara, bahwa perintah larangan berbohong atau berdusta ini adalah sebuah perintah yang mutlak, tidak bisa ditawar. Itu sebabnya dalam hukum ke-9 mengatakan “Janganlah sekali-kali engkau mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.” Hal ini sama artinya bahwa orang yang mengaku beriman mesti belajar tahu apa yang menjadi kebenarannya, bahwa ia harus senantiasa menjaga hidupnya benar.
Jadi saudara, mengatakan kebenaran sudah seharusnya menjadi salah satu ciri utama dari seorang pengikut Kristus.
Dalam Kolose 3:9 tadi diungkapkan bahwa orang-orang percaya tidak boleh berdusta, karena ia telah "menanggalkan manusia lama serta kelakuannya." Artinya perbuatan dusta bukanlah ciri khas kehidupa anak Tuhan. Sebaliknya saat seseorang berdusta, itu berarti dia sedang mengikuti jejak Setan. Karena Setan adalah bapa segala dusta" (Yohanes 8:44).
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Sesungguhnya dusta lebih berkenaan dengan pemikiran-pemikiran yang salah, yang menyangkal sebuah fakta sehingga seseorang mengira dengan sikapnya ia dapat menyembunyikan kesalahan dan melindungi diri dari kebenaran.
Padahal kenyataannya tidaklah demikian! Orang yang kehidupannya selalu penuh dengan dusta justru hanya akan memperberat masalah. Di sisi yang lain, pengakuan yang jujur adalah cara tercepat untuk mendapatkan pengampunan dan membuat kita kembali pada pimpinan dan pemeliharaan Allah. Sekarang mari kita perhatikan apa yang diungkapkan firman Tuhan dalam 1 Yohanes 1:9, “Jika kita mengaku dosa kita maka Ia adalah setia dan adil sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan”. Firman Tuhan sangat jelas mengungkapkan bahwa kejujuran kita mengenai dosa yang telah kita lakukan, memberikan peluang akan pengampunan Allah berlaku atasnya.
Sebaliknya, jika seseorang berkelit dan pura-pura tidak berdosa, maka sesungguhnya ia membuat Allah menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalamnya. (1 Yohanes 1:10).
Dr. Joseph Stowell seorang pimpinan Moody Bible Institute berpendapat: “Berterus terang mengatakan kebenaran adalah hal yang tidak mudah dilakukan. Budaya kita sekarang ini telah beralih kepada etika kepuasan diri sendiri, yang mana banyak kesalahan-kesalahan yang tidak hanya ditoleransi tetapi juga dianjurkan sebagai hal yang benar. Sebagai akibatnya, banyak dari kita yang merasa nyaman jika kita berbohong atau tidak berterus terang kepada orang lain.”
Bapak, ibu, sdr.i yang terkasih
Kebenaran memiliki banyak nilai-nilai penting. Kebenaran adalah dasar untuk sebuah kepercayaan, integritas, iman, keamanan dan stabilitas. Pada waktu kebenaran diganti dengan kebohongan, maka nilai-nilai tersebut akan menjadi hancur dan menghilang dari kehidupan orang tersebut. Di sisi lain, kebohongan adalah teman baik dari ketidak-percayaan, kecurigaan, keraguan, kekacauan, pertikaian, dendam, kebencian dan kemarahan.
Jadi kapanpun kebohongan menggantikan kebenaran, maka kebohongan akan menyingkirkan kebenaran. Dari sini sebenarnya kita mesti mengetahui kebenarannya bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang adil. Tuhan kita mau setiap kesaksian diberikan untuk pengadilan memberikan keputusan yang tepat untuk orang yang bersalah.
Itu sebabnya saksi menempati posisi yang sangat penting bagi hakim dalam menimbang suatu perkara dalam pengadilan. Seorang saksi harus memberitakan apa yang dia lihat, apa yang dia tahu, apa yang dia amati, supaya pengadilan dapat memutuskan perkara dengan tepat.
Saudara, di dalam Alkitab banyak sekali contoh-contoh dapat kita temukan tentang bagaimana dosa bersaksi dusta, seringkali membawa dampak buruk baik terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain. Salah satu contoh dapat kita lihat dari Perjanjian Lama yaitu tentang peristiwa kematian Nabot sebagai dampak dari niat jahat isteri Ahab yang menyuruh seseorang untuk mengemukakan kesaksian palsu tentang Nabot (1 Raja 21:1-29).
Saat itu, ketika Raja Ahab tergiur dengan kebun anggur milik Nabot orang Yizreel, Raja Ahab berniat untuk membelinya, padahal dia sendiri memiliki kebun anggur yang sangat subur. Ahab berkata: Berikanlah kepadaku kebun anggurmu dengan bayaran uang atau jika engkau lebih suka, aku akan memberikan kebun anggur kepadamu sebagai gantinya” (1 Raja 21:6). Namun saat niatnya untuk membeli kebun anggur Nabot, Nabot malah mengatakan bahwa ini adalah tanah warisan, sebagaimana yang diperintahkan Tuhan. Dan tanah warisan tidak boleh diperjualbelikan kepada siapa pun.” Mendengar pernyataan dari Nabot, akhirnya Ahab menjadi marah, dia pulang ke istananya, ia masuk ke dalam kamar, mengunci diri dan tidak mau makan.
Melihat kejadian ini, Izebel isteri dari Ahab, bertindak untuk membela suaminya dengan satu rencana jahat di mata Tuhan. Serta menjanjikan bahwa keinginan suami pasti akan terkabul. Sehingga dengan diam-diam dia mengumpulkan orang-orang jahat dan dan merencanakan sebuah pembunuhan dengan alibi tuduhan palsu. Ia menulis sebuah surat atas nama Ahab. Dalam surat itu ditulisnya demikian: “Maklumkanlah puasa dan suruhlah Nabot duduk paling depan di antara rakyat. Suruh jugalah dua orang dursila duduk menghadapinya, dan mereka harus naik saksi terhadap dia dengan mengatakan: Engkau telah mengutuk Allah dan raja. Sesudah itu bawalah dia keluar dan lemparilah dia dengan batu sampai mati” (1 Raja 21:9-10).
Setelah didengarnya bahwa Nabot telah mati terbunuh, maka datanglah Izebel menghampiri Ahab sambil berkata: “Bangunlah ambillah kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu, menjadi milikmu, karena Nabot yang menolak memberikannya kepadamu dengan bayaran uang, sudah tidak hidup lagi, ia sudah mati” (1 Raja 21:15).
Kita melihat saudara bagaimana kekuatan dusta, mengakibatkan hilangnya nyawa seorang yang baik. Dosa yang ditimbulkan dalam hati, ketika sudah meracuni pikiran pada akhirnya hanya akan menghasilkan sebuah tindakan dosa. Sehingga dosa selalunya membuahkan dosa yang baru, jika hal itu tidak diselesaikan di hadapan Tuhan.
Begitu pula respon Tuhan saat melihat dosa yang ditimbulkan oleh Izebel, Tuhan marah sekali dengan tindakan Ahab yang tidak berprikemanusiaan, sehingga Ia memerintahkan Nabi Elia untuk pergi menghadap Ahab sambil menyampaikan nubuat tentang penghukuman baginya. Elia berkata: “Beginilah firman Tuhan: Di tempat anjing menjilat darah Nabot, disitu jugalah anjing akan menjilat darahmu” (1 Raja 21: 19). Semua ini saudara, dibuat Tuhan karena sakit hati-Nya atas dosa yang ditimbulkan Ahab di tengah-tengah orang Israel. Tuhan juga menulahi Izebel dengan sebuah kutukan bahwa “anjing akan memakan izebel di luar tembok Yizreel” (1 Raja 21:23). Dari sini kita melihat bapak/ ibu, bahwa dosa karena dusta bukanlah sebuah perkara sepele di hadapan Tuhan.
Terlebih jika dusta itu berkenaan dengan penghinaan nama Tuhan. Inilah yang dimaksudkan dengan bersaksi dusta dan karena itu Tuhan sangat membenci akan dosa ini.
Bapak/ ibu/ sdr yang kekasih,
Jika kita percaya bahwa Tuhan berdaulat atas kehidupan kita serta memercayai tindakan-Nya untuk mengasihi dan memelihara kita dalam segala hal, maka seharusnya kita tidak boleh berbohong untuk mencoba memanipulasi keadaan hidup kita. Kebohongan tentang keadaan hidup kita di hadapan sesama, sama artinya sebuah penyangkalan bahwa Tuhan berdaulat atas kehidupan kita. Karena itu marilah kita belajar mengendalikan diri kita dan belajar untuk bersikap jujur dengan segala keadaan yang kita rasakan.
Saudara, hukum ke-9 ini juga dapat berhubungan dengan lidah sebagaimana yang disebutkan oleh Yakobus 3:1-12. Prasangka buruk dan manipulasi yang timbul dalam pikiran kemudian dilanjutkan dengan sebuah kata-kata juga akan melahirkan dusta. Ketika seseorang berdusta dalam hatinya, maka dosa itu hanya dapat diketahui oleh Tuhan, karena Tuhan mengenal hati manusia. Akan tetapi dusta yang timbul dari sebuah perkataan baru dimengerti oleh sesamanya. Masalahnya saudara, seringkali orang berpikir bahwa berdusta adalah dosa yang kecil jika dibandingkan dengan berjinah, mencuri atau membunuh. Mengapa saudara, karena manusia berdosa sudah kehilangan standar moral sehingga tidak bisa lagi dapat menilai esensi sebuah dosa. 
Akibatnya timbul pertimbangan dosa kecil dan dosa besar. Dan dosa dusta dipahami sebagai dosa kecil. Faktanya tidaklah demikian! Semua bentuk dosa di mata Tuhan esensinya sama. Tidak ada dosa kecil dan dosa besar, tidak ada dusta demi kebaikan. Semua yang namanya dosa adalah kekejian di mata Tuhan. Dan upah dosa adalah maut.
Dalam hal ini, maka sebagai orang Kristen biarlah kita selalu berkata yang benar, penuh hikmat dan pertimbangan sehingga kita mampu menguasai lidah kita.
Bapak, ibu, sdr yang kekasih
Mengatakan yang benar mengenai orang lain dan mengatakan kebenaran setiap saat adalah sikap yang berarti bagi Allah. Allah menyukai kebenaran, sebagaimana diri-Nya adalah Kebenaran. Karena itu Dia hanya mengatakan apa yang benar. Tuhan Yesus, Anak Allah, juga menyebut diri-Nya sebagai “Jalan, kebenaran dan Hidup”. Hal inilah yang memper-lihatkan kepada kita bahwa sesungguhnya Tuhan tidak suka dengan yang namanya dusta atau bohong. Karena Dia adalah kebenaran yang sejati. Oleh karena itu Dia pun menghendaki dan merindukan agar kita sebagai anak-anak-Nya dapat hidup di dalam kebenaran itu. Dengan demikian, ketika hukum Allah melarang suatu hal, hukum itu juga memerintahkan yang sebaliknya. Kita tidak boleh memiliki keinginan untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang lain mengenai keburukan orang lain.
Kita mungkin tidak akan pernah berkata bahwa kita menginginkan orang berbuat jahat, tetapi dengan bersemangat mendengarkan kabar yang jahat mengenai orang lain pun sudah membuat kita terlihat bersukacita di dalam kejahatan. Kita harus bergemar di dalam mendengarkan hal-hal yang baik mengenai orang lain, bukannya cerita mengenai perbuatan jahat. Jika kita selalu berhati-hati untuk melakukan yang benar dan menghindari berbuat salah, kita akan memiliki hati nurani yang bersih.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Manusia suka memikirkan kasih Allah. Tetapi kita tidak pernah memikirkan apa yang dibenci Allah, oleh karena itu kita juga harus mempertimbangkan hal ini agar kita dapat menghindari apa yang dilarang-Nya.
Oleh karena itu apa yang kita katakan mengenai orang lain sangatlah serius. Allah menghendaki agar kita berhati-hati dalam membicarakan orang lain.
Kata-kata kita yang diucapkan secara sembrono dapat sangat melukai orang lain. Kita perlu untuk berhati-hati terutama untuk tidak mengatakan hal-hal yang tidak benar mengenai orang lain. Karena ini menyangkut reputasi kita. Kadang kala reputasi dibuat berdasarkan fakta. Kadang reputasi di buat berdasarkan apa yang dikatakan orang yang mungkin tidak benar. Reputasi atau penilaian diri itu sangat penting. Jika kita memiliki reputasi yang baik, orang lain akan menghormati kita dan akan memuliakan Allah, karena kita berkata bahwa kita adalah milik-Nya. Perintah ini memanggil kita untuk berbuat semampu kita untuk melindungi reputasi kita sendiri dan reputasi orang lain. Kita merusak reputasi orang lain ketika kita menyebarkan hal-hal yang buruk yang kita dengar mengenai orang itu.
Bapak,ibu,sdr yang terkasih
Oleh karena itu kesaksian yang jujur dan benar sangat di butuhkan, terutama karena si tertuduh bertanggung jawab membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Orang yang mengucapkan saksi dusta akan merugikan dia dan menyebabkan dia menderita hukuman yang tidak patut. Pastilah dia merugikan orang banyak karena masyarakat menjadi tidak aman dan damai. Orang yang berdusta untuk keuntungan sendiri biasanya merugikan orang lain dan sudah jelas melanggar firman Tuhan. Karena itulah, biarlah melalui kebenaran firman Tuhan ini, kita dapat belajar untuk senantiasa berkata jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap orang lain terlebih lagi jujur terhadap Allah. Dengan demikian, kehidupan kita akan senantiasa dipelihara oleh Tuhan. Amin.

Kamis, 01 September 2016

IMAN HARUS NYATA DALAM PERBUATAN

IMAN HARUS NYATA DALAM PERBUATAN
Yakobus 2:14-26


Sidang jemaat yang kekasih,
Kesalahan terbesar yang seringkali dilakukan orang Kristen adalah tentang memahami iman. Bahwa iman adalah sesuatu yang terpisah dari pengalaman. Padahal saudara, pengalaman iman seharusnya mengikuti kedalaman pemahaman orang tentang imannya. Sebab jika terjadi pemisahan yang demikian, maka akibat buruknya adalah orang tersebut cenderung menjadi pandai bersilat lidah tentang imannya. Sebaliknya jika seseorang lebih menonjolkan diri dengan berupaya menjadi lebih baik melalui perbuatannya untuk suatu tujuan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah akan menimbulkan dampak pada pemujaan manusia karena perbuatan baiknya. Lagi pula, pemisahan iman dan perbuatan bisa mengakibatkan pada kesesatan.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Mungkin diantara kita ada yang berkata, bukankah keselamatan kita hanya ditentukan oleh iman dan bukan karena perbuatan? Mengenai pertanyaan ini saya sendiri sependapat bahwa keselamatan kita bukanlah ditentukan oleh amal perbuatan kita. Sebaliknya keselamatan kita semata-mata ditentukan oleh iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dalam Roma 3:23-28 sendiri, Paulus mengajarkan dengan sangat jelas kepada para pembacanya bahwa keselamatan seseorang hanya di dasarkan pada iman kepada Yesus Kristus. Lalu mengapa sekarang di dalam Yakobus kita melihat seolah-olah, Yakobus memberikan pengajaran baru bahwa iman yang sejati harus disertai dengan perbuatan? Bahkan dia sendiri mengatakan, “jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yakobus 2:17).
Jadi tidak cukupkah keselamatan kita, hanya ditentukan oleh iman kepada Yesus? Atau haruskah ada iman plus, yaitu iman yang ditambahkan dengan perbuatan baik, sehingga melalui keduanya kita diselamatkan?
Saudara, jika kita tidak berhati-hati dalam meneliti kebenaran firman Tuhan ini, maka kita akan terjebak diantara dualisme pengajaran yang demikian. Kelihatannya ada sebuah pertentangan antara teologia yang dibangun oleh Paulus dengan teologianya Yakobus.
Sekarang kita harus menyelaraskan pandangan kita lebih dahulu, bahwa kita percaya Alkitab adalah firman Allah. Karena Alkitab adalah firman Allah maka Alkitab tidak mungkin salah. Kita juga percaya bahwa Alkitab sanggup membuktikan kekonsistennya melalui kebenaran firman Tuhan yang lain. Dan karenanya seharusnya tidak ada yang kontradiksi dalam setiap pengajaran Firman Tuhan. Karena semuanya diilhamkan oleh Allah. Lalu mengapa ketika kita membaca Firman Tuhan ini, di beberapa bagian sepertinya terdapat dualisme pengajaran, seperti halnya pada point yang kita bahas ini. Jawabannya adalah, karena kita salah dalam menafsir Firman Tuhan! Ketika kita salah menafsir firman Tuhan, maka teologi yang dibangun sudah pasti berbenturan. Jadi kita harus berhati-hati.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kalau kita melihat konteks dari kedua teks yang dimaksud, yaitu dalam Roma 3 dan Yakobus 2, sebenarnya tidak ada pertentangan yang berarti. Mengapa saudara? Karena penekanan Paulus dalam Roma 3, sangatlah berbeda dengan apa yang diuraikan oleh Yakobus dalam Yakobus 2.
Pembahasan Paulus dalam Roma 3, adalah lebih mengajarkan mengenai tidak ada yang dapat diandalkan manusia untuk dibenarkan di hadapan Allah, kecuali karena iman. Dan iman itu sendiri adalah pemberian Allah. Lagi pula, Yakobus tidak menolak keutamaan iman untuk keselamatan. Yang ia sedang tolak adalah iman yang sebatas pengetahuan, dan tanpa ungkapan nyata di dalam perbuatan sehari-hari. Jadi Yakobus melihat dari sisi yang lain bahwa jika seseorang memperoleh iman yang dianugerahkan Tuhan bagi dirinya, seharusnya iman itu dapat menghasilkan perbuatan-perbuatan, sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu menyebabkan iman termanifestasikan.
Sebenarnya saudara, yang dibicarakan Yakobus bukan mengenai sebab seorang dibenarkan, atau cara seseorang beroleh kebenaran, melainkan perbuatan baik selalu berhubungan dengan iman. Bagi Yakobus perbuatan membuktikan seseorang dibenarkan. Dengan demikian, Yakobus bukan berbicara mengenai dasar keselamatan. Sebab kata “dibenarkan” mempunyai dua arti. Paulus memakai kata ini dengan arti pemberian status benar secara cuma-cuma di depan pengadilan Allah. Sedangkan Yakobus memakai kata ini dengan arti kebenaran yang dinyatakan melalui sikap hidup di depan manusia. Sehingga Yakobus menekankan pentingnya perbuatan baik yang dihasilkan dari iman yang sejati. Maka Yakobus menekankan ”iman tanpa perbuatan adalah mati” (ayat 17, 26).
Begitu pula kata “perbuatan,” dasar Paulus memakai kata ini adalah untuk menunjuk kepada hal-hal yang berkaitan dengan hukum ritual, yaitu “sesuatu yang digunakan untuk menyelamatkan diri kita”. Dalam hal ini ia berkata bahwa perbuatan baik tidak diperlukan, karena yang menyebabkan kita diselamatkan Allah adalah hanya oleh iman!.
Sedangkan bagi Yakobus, iman yang menyelamatkan tidak boleh berhenti dengan sekedar mengaku Kristus sebagai Juruselamat, tetapi juga mendorong ketaatan kepada Dia sebagai Tuhan. Karena itu kata ini menunjuk kepada hal-hal yang berkaitan dengan kasih dan belas kasihan (Yakobus 2:7, 13). Dengan demikian istilah ini, mengacu kepada “akibat/ hasil dari keselamatan”. Karena itu ia mengatakan bahwa perbuatan baik harus ada dalam diri orang Kisten. Kasih dan belas kasihanlah yang memotivasi orang Kristen untuk memberikan bantuan kepada mereka yang berkekurangan. Jadi perbuatan di sini lebih menunjuk kepada bantuan yang nyata kepada saudara seiman yang miskin.
Saudara, Yakobus memberikan sebuah ilustrasi yang sangat sederhana. Yaitu ada seorang yang miskin masuk ke dalam sebuah persekutuan, ia datang tanpa pakaian yang pantas dan dalam keadaan yang lapar. Kemudian orang yang imannya mati itu memperhatikan pengunjung tersebut dan mengetahui kebutuhannya, tetapi ia tidak melakukan apa-apa untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut. Sebaliknya ia menghampiri orang itu sambil mengucapkan beberapa kata seperti seorang yang saleh: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang” (Yakobus 2:16). Sehingga seketika itu, pengunjung itu pergi dalam keadaan yang tetap lapar dan telanjang sebagaimana ia masuk.
Saudara, sebagai orang percaya kita berkewajiban untuk menolong orang-orang yang berkekurangan, tidak peduli siapa pun mereka. “Karena itu selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Galatia 6:10). Pada bagian yang lain, Tuhan Yesus pun berkata: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).
Pertanyaan dalam ayat 14 seharusnya berbunyi, “Dapatkah iman semacam ini menyelamatkan dia?” Iman yang seperti apa? Yaitu iman yang tidak pernah terlihat dalam perbuatan nyata seseorang. Jawabannya sudah pasti adalah, Tidak! Karena setiap pernyataan iman yang tidak menghasilkan perubahan hidup dan perbuatan baik ialah pernyataan iman yang palsu. Dan iman semacam itu adalah iman yang mati. Karena itu Yakobus berkata: “demikian juga halnya dengan iman: jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati (Yakobus 2:17).
Bapak/ ibu yang kekasih,
Mother Teresa seorang Biarawati Katolik Roma, yang lahir di Skopje, Albania pada tanggal 26 Agustus 1910. Ia merupakan anak bungsu dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu. Di usianya yang masih belia ia terpanggil melayani sebagai seorang Biarawati di India. Pada tahun 1946 ia merasakan panggilan lain, yakni ia terpanggil untuk tinggal di antara kaum termiskin dari orang-orang miskin yang ada di Kalkuta – India. Saudara, di sana ia memberikan pelayanan secara cuma-cuma kepada orang-orang disekitar Kalkuta. Ia mendirikan rumah Misionari Cinta Kasih untuk mereka yang sekarat dan yatim piatu, tempat perawatan bagi penderita kusta, pusat medis dan rumah perlindungan bagi tunawisma. Semuanya ini ia lakukan karena pemahamannya bahwa iman yang telah dianugerahkan Tuhan Yesus kepadanya haruslah diaplikasikan langsung dalam kehidupan bersama, dalam kasih terhadap sesama.
Kembali kepada pembahasan kita saudara, di sini Yakobus ingin mengejutkan para pembacanya yang hidup berpuas diri akan keselamatan yang telah diperolehnya. Ia memakai setan-setan dalam ilustrasinya, dikatakan: “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar” (Yakobus 2:19). Saudara, orang yang memiliki iman yang mati hanya tersentuh pada aspek intelektualnya; di sini dijelaskan bahwa setan-setan juga tersentuh secara emosinya, sehingga mereka percaya dan gemetar. Namun percaya dan gemetar bukanlah pengalaman yang menyelamatkan. Seseorang dapat saja diterangi pikirannya dan bahkan digerakkan hatinya, tetapi ia bisa tetap terhilang selamanya, karena sebenarnya ia tidak memperoleh iman yang sejati. Karena itu saudara, jangan terlalu berpuas diri ketika dalam sebuah KKR kita melihat ada begitu banyak orang yang mengangkat tangan dan maju ke depan untuk di doakan. Karena pada tahap itu, intelektual dan emosi mereka sedang bergejolak. Sedangkan iman yang benar dan menyelamatkan pastinya melibatkan sesuatu yang lebih dari itu, yaitu sesuatu yang dapat dilihat dan dikenali: suatu kehidupan yang berubah. Dalam hal inilah Yakobus berkata: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku" (Yakobus 2:18).
Saudara, yang mau dikatakan di sini adalah bahwa iman dan perbuatan sama-sama sebagai hal yang baik. Bukan salah satunya, karena perbuatan baik yang tidak lahir dari iman tidak akan ada artinya apa-apa, demikian pula dengan iman tanpa disertai dengan perbuatan juga adalah sia-sia. Jadi kedua-duanya harus berjalan secara dinamis.
Dalam ayat 20-26 kita melihat bagaimana iman Abraham dan tindakannya dalam mengorbankan Ishak atas permintaan Tuhan. Kejadian 22 adalah latar belakang yang menceritakan kisah tentang iman Abraham ini. Pertanyaan kita adalah, mengapa iman Abraham yang dikutip Yakobus? Saudara, kita harus mengingat, bahwa Abraham adalah bapa orang beriman, dan orang Yahudi sangat bangga dengan Abraham dan mereka selalu mengatakan bahwa mereka adalah anak Abraham. Di sini Yakobus mengambil tokoh yang mereka kagumi dan menantang mereka untuk membuktikan iman seperti iman Abraham. Lagi pula kebenaran Abraham tidak bersumber dari “melakukan hukum Taurat” seperti yang dituntut dalam (Roma 3:28), tetapi oleh iman dan perbuatan yang bekerja sama di dalam kasih. Kesediaannya untuk mengorbankan Ishak – anak satu-satunya yang sudah lama dinantikan, kini Tuhan menuntutnya untuk dikorbankan, tetapi Abraham melangkah dengan iman (Kejadian 22). Dengan kata lain, Yakobus memakai contoh Abraham adalah untuk menghancurkan kepercayaan orang Yahudi bahwa iman dapat berada tanpa komitmen dan kasih kepada Allah. Rasanya mustahil jika seseorang memiliki iman, namun tidak bisa menunjukkan kasihnya kepada Allah dan sesama. Sebaliknya Abraham mampu menunjukkan kedua-duanya sehingga Yakobus mengutipnya sebagai sahabat Allah” (Yakobus 2:23 band. 2 Tawarikh 20:7).
Kemudian teladan yang kedua yang dipakai Yakobus dari Alkitab adalah Rahab. Latar belakang kehidupannya terdapat di dalam Yosua 2 dan 6. Bangsa Israel waktu itu sedang bersiap-siap untuk menyerbu Tanah Perjanjian dan merebut kota Yeriko. Yosua mengirimkan mata-mata ke kota itu untuk mengamat-amati keadaan negeri itu. Di sana mereka bertemu dengan Rahab. Rahab adalah seorang perempuan, bukan bangsa Yahudi, dan seorang pelacur. Ia adalah orang yang paling najis karena dia adalah pelacur - satu dosa yang paling tidak disukai orang Yahudi. Namun saudara, tindakan Rahab yang menyelamatkan mata-mata Israel adalah sebuah perbuatan yang muncul sebagai buah dari iman.
Cerita ini menarik, namun merupakan salah satu contoh besar dalam Alkitab dari iman yang menyelamatkan (Ibrani 11:31). Rahab mendengar firman dan mengetahui bahwa kotanya akan dikutuk. Kebenaran ini mempengaruhi dia dan teman-teman sebangsanya sehingga tawarlah hati mereka (Yosua 2:11). Rahab menanggapi masalah ini dengan pikiran dan emosinya; tetapi ia juga menanggapi dengan kehendaknya: Ia melakukan sesuatu. Ia mempertaruhkan nyawanya sendiri dengan melindungi pengintai-pengintai Yahudi, dan selanjutnya ia mempertaruhkan nyawanya sendiri dengan memberitakan kabar baik tentang pembebasan itu kepada anggota keluarganya.
Di sini kita melihat saudara, dua tokoh yang bertolak belakang digabungkan Yakobus dalam pasal yang sama. Apa pesan yang ingin disampaikan? Abraham mewakili sosok yang dikagumi banyak orang, imannya ditunjukkan dan dibuktikan dengan tindakan. Demikian juga Rahab, ia mewakili sosok dari orang yang paling dibenci, tetapi ia juga menunjukkan iman dalam bentuk tindakan. Dengan kata lain saudara, Yakobus mau menjelaskan bahwa iman yang sejati adalah iman yang melahirkan perbuatan-perbuatan benar di mata Allah. Ayat-ayat ini juga mau mengatakan kepada kita bahwa siapapun kita yang mengaku beriman kepada Tuhan Yesus Kristus, marilah kita buktikan dengan perbuatan kita.
Kalau iman yang sungguh-sungguh mampu menggerakkan Abraham dan Rahab untuk bertindak benar di mata Tuhan. Rasa-rasanya tidak ada jalan lain, selain kita pun melakukan hal yang sama di hadapan Tuhan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Dalam ay 26 kita melihat ada sesuatu yang ditarik Yakobus, “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” Dari sini kita pahami bahwa Iman tanpa perbuatan adalah sama seperti tubuh tanpa roh. Hidup adalah perpaduan keduanya, pada saat kedua hal itu dipisahkan, maka hasilnya adalah kematian. Apa artinya ada tubuh tetapi tidak ada roh, itu sama artinya dengan tidak ada kehidupan, tidak ada pertumbuhan dan tidak ada aktifitas apa-apa. Orang tersebut sudah mati, dan tubuh yang telah mati hanya menunggu waktu untuk menuju kepada pembusukan dan kehancuran. Begitu pula halnya dengan iman, iman yang palsu pada hakikatnya adalah mayat rohani. Dan mayat-mayat rohani hanya akan menuju kepada kebinasaan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Iman sejati yang menyelamatkan begitu penting sehingga mau tidak mau harus menyatakan diri di dalam tindakan saleh dan pengabdian kepada Yesus Kristus. Orang Kristen yang dewasa seharusnya mampu mempraktekkan kebenaran. Ia tidak saja berpegang pada ajaran-ajaran lama, tetapi ia mempraktekkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga iman yang diperolehnya tidak hanya tinggal diam dan tidak menghasilkan apa-apa, sebaliknya imannya mendorong dia untuk mengalami pembaharuan dalam hidup, seperti Abraham dan Rahab, yaitu iman yang mengubah suatu kehidupan dan bekerja untuk Allah.
Saudara, sebagai orang yang telah meneriman penebusan dari Tuhan, sudahkah kita memiliki perbuatan yang lahir dari bukti iman kita? Iman yang sejati bukan hanya terwujud dari kesetiaan kita bergereja, berdoa, bersekutu atau membaca Alkitab. Melainkan iman itu juga harus terwujud dalam sikap kita sehari-hari, bagaimana kita bisa berbagi pengalaman, berbagi rasa, berbuat baik dan mengasihi semua orang. Semunya itu bukan supaya kita diselamatkan, tetapi sebagai sebuah tindakan yang benar bahwa kita telah menerima keselamatan dari Tuhan kita Yesus Kristus. Sekaligus sebagai bukti bahwa kita memiliki iman yang sejati. Kiranya Tuhan memberkati. Amin.