Selasa, 13 Oktober 2015

MEMBERI KEPADA YANG MEMBUTUHKAN

MEMBERI KEPADA YANG MEMBUTUHKAN
Matius 25:31-46


Sidang jemaat yang kekasih di dalam Tuhan,
Dalam minggu kedua ini, kita akan membahas poin kedua dari tema besar kita di bulan Oktober, yakni “Memberi Kepada Yang Membutuhkan,” yang kita kupas melalui Matius 25:31-46.
Saudara, untuk mengerti dengan tepat perikop yang kita baca ini, kita perlu melihat kembali pasal-pasal sebelumnya, dimana Matius mengelompokkan pasal 24-25 ke dalam satu bagian mengenai khotbah Tuhan Yesus tentang akhir zaman. Dan perikop yang kita baca ini merupakan khotbah terakhir Tuhan Yesus tentang akhir zaman.
Yang menarik untuk kita simak saudara, bahwa puncak dari semua peristiwa itu, berkaitan dengan tugas manusia sampai kedatanganNya yang kedua kali ialah tindakan dan perbuatan yang “sederhana”. Satu tindakan nyata bagaimana kita mengaplikasikan kehidupan yang telah ditebus oleh Allah sebagai suatu kehidupan yang nyata dan memberi pengaruh bagi sesama kita.
Lagi pula saudara, jika kita bandingkan dengan perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus sebelumnya, perikop yang kita baca ini, merupakan salah satu perumpamaan yang paling hidup yang pernah Tuhan Yesus katakan dan maknanya pun sungguh jelas untuk kita pahami, bahwa Allah akan menghakimi kita sesuai reaksi kita terhadap kebutuhan manusia.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Kalau kita membaca bagian ini, kita mendapatkan satu pemahaman bahwa penghakiman Tuhan tidak tergantung pada pengetahuan yang kita kumpulkan, juga bukan pada ilmu teologis tertentu yang kita bangun, atau pada kemasyuran yang telah kita raih, atau bahkan pada harta yang telah kita peroleh, melainkan penghakiman Tuhan itu sendiri ditentukan pada pertolongan yang kita berikan.
Sidang jemaat yang saya kasihi,
Mungkin kita bertanya, bukankah selama ini kita diajarkan oleh Firman Tuhan bahwa kita diselamatkan hanya oleh karena iman? Tetapi mengapa saat kita membaca perikop ini, seolah-olah kita diajarkan bahwa keselamatan itu diperoleh dari hasil perbuatan kita? Jadi kalau begitu, dengan apakah keselamatan kita ditentukan, dengan imankah atau oleh perbuatan kita?
Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Kita tidak perlu terkecoh dengan dua pertanyaan di atas. Saya percaya, bahwa keselamatan kita ditentukan oleh iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dan “kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Roma 5:1).
Akan tetapi, kita perlu memahami bahwa orang beriman harus mengasihi Allah yang tidak kelihatan itu dengan cara yang nyata terlihat melalui tindakan kasih yang berdampak terhadap masyarakat yang hidup dalam disekitar kita.
Dalam hal inilah, sangat tepat sekali jika Yakobus mengkaitkan antara iman yang telah kita peroleh dengan perbuatan kita sehari-hari, bahwa: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yakobus 2:17). Lebih lanjut Firman Tuhan berkata: “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.” (Yakobus 2:22).
Dari sini kita melihat saudara, bahwa tidak ada yang bertentangan dalam hal ini, justru perikop ini menegaskan bahwa perbuatan baik yang kita nyatakan kepada sesama kita, merupakan wujud dari iman kita kepada Tuhan.
Faktanya bapak/ ibu yang kekasih, Tuhan Yesus merupakan Allah yang sejati, Dia adalah Raja di atas segala raja, dan sekaligus sebagai hakim yang akan mengadili seluruh umat manusia secara universal (ayat 31-33).
Penghakiman-Nya ini akan menentukan nasib akhir (suatu final destiny) dari seluruh umat manusia dimuka bumi ini. Dan akhir dari semuanya ini hanya ada dua kondisi bagi seluruh manusia yakni masuk ke dalam hidup kekal atau berada di tempat penyiksaan yang kekal (ayat 46).
Saudara, dikatakan, bahwa seluruh umat manusia akan dikumpulkan bersama dihadapan Tuhan Yesus. Kemudian Ia akan memisahkan mereka sebagian ke sebelah kanan dan sebagian lagi disebelah kiriNya. Dan pemisahan ini digambarkan seumpama seorang gembala yang akan memisahkan domba dari kambing (ayat 32).
Dalam khotbah ini, saya tidak akan menafsirkan apakah itu domba dan apakah itu kambing yang dimaksudkan dalam ayat-ayat dalam perikop ini.
Akan tetapi saya ingin mengajak kita sekalian untuk lebih fokus untuk melihat apa yang menjadi kriteria Tuhan Yesus dalam memutuskan bahwa seseorang itu layak menikmati hidup kekal di sorga atau pantas mengalami penghukuman kekal di neraka? Apakah dasar yang dipakai Tuhan untuk menghakimi?
Sidang jemaat yang kekasih,
Berdasarkan inti berita yang diproklamasikan Kristus, maka syarat seseorang untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah percaya kepada Tuhan Yesus sendiri melalui penerimaan terhadap berita Injil yang Ia kabarkan.
Saudara, di dalam Yohanes 3:36, Tuhan Yesus sendiri menegaskan bahwa: “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.
Dengan demikian, Injil adalah masterpeace Allah yang terfokus pada karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui peristiwa kematian dan kebangkitan-Nya. Itu sebabnya hanya Injillah yang menjadi “…kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya… Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman...” (Roma 1:16-17).
Karena itu untuk lebih mengerti hal ini, kita perlu melihat pokok masalah yang diungkapkan Tuhan Yesus dalam ayatnya yang ke-40. Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Pertanyaannya bagi kita siapakah yang dimaksud dengan “saudara-Ku yang paling hina” (ayat 40). Benarkah ungkapan ini menunjuk pada orang-orang yang miskin? Apakah dalam ayat ini, Tuhan Yesus menghubungkan diri-Nya dengan kaum yang kekurangan?
Saudara, untuk mengerti istilah ini dengan benar, sekali lagi, kita harus kembali kepada konteks Matius 25:31-46, yang berbicara tentang penghakiman Tuhan Yesus terhadap seluruh umat manusia berdasarkan respon mereka terhadap diri-Nya, yang dalam hal ini diwakili oleh “saudara yang paling hina.” Hubungan Tuhan Yesus dengan mereka yang disebut sebagai “saudara-Nya” ini tentu sangat erat sekali, hingga nasib akhir segenap manusia tergantung pada penerimaan dan pelayanan terhadap mereka.
Jadi siapakah yang dimaksudkan dengan “saudara-Ku yang paling hina” ini? Yang jelas mereka bukanlah orang-orang miskin. Tuhan Yesus tidak mengidentikan diriNya dengan orang miskin, tetapi yang dimaksudkan disini adalah murid-murid Kristus.
Saudara memang tidak bisa kita pungkiri banyak pengkhotbah-pengkhotbah menafsirkan ayat-ayat ini sebagai bagian dari panggilan kita terhadap kaum miskin di sekitar kita. Sehingga bagian ini, lebih menarik untuk mengajak orang percaya untuk bersikap peduli dan memiliki rasa solidaritas terhadap sesama kita secara umum.
Saya sendiri setuju bahwa kita perlu menanamkan rasa peduli dan solidaritas yang tinggi terhadap orang-orang yang papa disekitar kita. Tetapi konteks bacaan kita, ayat-ayat ini tidak berbicara secara luas seperti itu.
Saudara, kita percaya bahwa Alkitab memiliki kemampuan untuk menjelaskan dirinya sendiri. Artinya, ada banyak bagian-bagian dari Alkitab yang maknanya dapat diterangi oleh bagian lainnya dalam Alkitab. Dan prinsip ini juga harus diterapkan dalam usaha kita untuk memahami istilah “saudara-Ku yang paling hina.”
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kalau kita membaca keseluruhan Injil Matius, pemakaian istilah “saudara-Ku” ini selalu dihubungkan dengan para murid-murid Tuhan Yesus.
Pada suatu kesempatan, Tuhan Yesus bertanya kepada orang banyak: “Siapakah ibuKu? Dan siapakah saudara-saudaraKu?” Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: “Inilah ibuKu dan saudara-saudara-Ku.” (Matius 12:48-49).
Di tempat lain, Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Matius 23:8).
Setelah mengalami kebangkitan dari kematian, Tuhan Yesus menjumpai para wanita yang mencari-Nya di kuburan dan berkata kepada mereka demikian, “…Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku” (Matius 28:10). Siapakah yang pergi ke Galilea? Saudara jawabannya ada dalam Matius 28:16, “Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka.
Dengan demikian bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Berdasarkan realita yang dituliskan oleh rasul Matius, maka kesimpulan yang tepat untuk menjelaskan makna ini hanya satu yaitu yang dimaksud dengan “SaudaraKu” pastinya mengacu kepada murid-muridNya. Dengan kata lain, saat Tuhan Yesus berkata “saudaraKu” sebenarnya Tuhan Yesus sedang mengidentikkan diri-Nya bukan dengan orang miskin secara umum tetapi dengan para murid.
Karena itu bapak/ ibu yang kekasih, pengidentikkan ini ada hubungannya dengan tugas memberitakan Injil. Dalam melaksanakan misi pekabaran Injil, murid-murid menyandang status sebagai wakil Kristus, selaku utusan dan duta Injil-Nya. Beridentitas seperti ini, maka kehadiran murid-murid Tuhan Yesus adalah suatu kehadiran yang disertai dengan berita Injil yang menyelamatkan. Demikianlah firman Tuhan berkata: “…Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik” (Roma 10:15).
Dengan kata lain saudara, setiap orang berdosa yang hatinya terbuka dan menerima berita keselamatan yang diwartakan oleh para murid adalah sama dengan menyambut Tuhan Yesus sendiri yang hadir melalui pemberitaan mereka.
Kita memahami bahwa Tuhan kita memang tidak lagi menjadi sosok yang hadir secara jasmaniah seperti saat Ia berinkarnasi 2000-an tahun yang lalu. Namun Allah yang kita sembah bukanlah Allah yang “absen, sebab kehadiran-Nya terwakili melalui keberadaan para murid-Nya. Dan sistem perwakilan ini ditegaskan sendiri oleh Kristus ketika Ia berkata “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku…” (Matius 10:40).
Karena itu, bapak/ ibu yang kekasih,
Tidaklah mengherankan apabila nasib akhir umat manusia sangat ditentukan oleh sambutan mereka terhadap para murid Kristus yang datang dengan Injil keselamatan-Nya. Bahwa bagi yang menerima berita ini, hidup kekal telah tersedia untuk mereka. Sedangkan bagi mereka yang menolak, hukuman kekal tidak akan luput dari mereka.
Dengan demikian, hanya pemahaman yang menempatkan murid-murid Kristus sebagai saudara-Nya yang paling hina inilah yang konsisten dengan konteks dari Matius 25:31-46, di mana temanya adalah tentang penghakiman Allah atas setiap insan yang pernah hidup di dunia.
Dari perspektif pengidentikkan ini, kita pun dapat memahami secara benar arti dari tindakan memberi makan, minum, tumpangan, pakaian; melawat ketika sakit dan mengunjungi dalam penjara (Matius 25:35-36). Perbuatan-perbuatan ini adalah bukti kasih dan kepedulian dari orang-orang yang sudah menerima berita Injil terhadap para pemberitanya. Murid-murid Kristus adalah orang-orang yang hidup berdasarkan panggilan Ilahi untuk melaksanakan tugas pemberitaan Injil.
Seringkali tugas sebagai duta Kristus membuat hidup para murid akrab dengan kekurangan dan penderitaan. Rasul Paulus sendiri adalah contoh yang sangat riil untuk memahami konteks ini. Di dalam 2 Korintus 6:4-10, dan dalam pasal 11:23-29 kita mendapatkan satu gambaran bagaimana penganiayaan dan kekurangan yang dialami Paulus sebagai seorang utusan Injil Kristus. Kondisi kehidupan yang serba minim secara lahiriah dan berbagai penindasan juga seringkali dialami oleh hamba-hamba Tuhan di setiap zaman dan di seluruh penjuru dunia.
Sehingga sangatlah wajar jika ia berkata: “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan” Filipi 4:12.
Jika orang berdosa sudah menerima keselamatan melalui iman kepada berita Injil yang disampaikan murid-murid Kristus, maka sudah sepantasnyalah rasa syukur mereka atas keselamatan tersebut diwujudnyatakan melalui tindakan kasih yang peduli terhadap kebutuhan para muridNya.
Dengan demikian bapak/ ibu yang kekasih,
Sambutan dan perhatian untuk murid-murid Tuhan adalah sama dengan perbuatan yang dilakukan terhadap Kristus. Sebab, Tuhan berkata “…sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40).
Saudara, mungkin kita bertanya apakah istilah “saudaraKu” ini secara eksklusif hanya menunjuk kepada murid-murid pertama Kristus (kesebelas murid ditambah rasul Paulus)? Jawabannya tidak saudara!
Sebab dalam Matius 12:50, kita akan mendapatkan satu pengajaran Tuhan Yesus yang mengatakan, “…siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu.” Dari keterangan yang dibuat Tuhan Yesus ini, kita memahami bahwa ungkapan “saudaraKu” ini tidak terbatas hanya untuk murid-murid pertama melainkan juga meliputi siapa saja yang merealisasikan kehendak Allah Bapa. Artinya semua pengikut Kristus yang menjalankan tugas mempro-klamasikan berita keselamatan bagi dunia yang berdosa adalah murid Kristus, saudara-Nya.
Bapak ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Selain Injil Matius 12:50, petunjuk lain mengenai luasnya cakupan “saudaraKu” juga bisa dilihat dari Kisah Saulus saat dalam perjalanannya menuju kota Damsyik. Saulus (sesudah bertobat bernama Paulus) yang hatinya dipenuhi kebencian terhadap orang kristen, akhirnya berjumpa secara pribadi dengan Kristus. Di tengah perjumpaan itu, Tuhan Yesus melontarkan satu pertanyaan yang membuatnya tersentak, “Saulus, Saulus mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kisah 9:4).
Kita percaya bahwa Kristus tidak dianiaya oleh Saulus dalam pengertian harafiah. Tetapi jemaat atau murid-murid Tuhan yang tersebar di berbagai tempatlah yang menjadi objek kemarahan Saulus (Kisah 8:3, 9:1-2). Tetapi, hal yang luar biasa ialah Tuhan Yesus mengatakan bahwa Saulus telah menganiaya diri-Nya (Kisah 9:5). Hal ini menandakan kepada kita adanya persatuan organis antara orang beriman sebagai tubuh dengan Kristus selaku kepala gereja, sehingga apa yang dialami para pengikut-Nya, secara realita juga dialami oleh Kristus sendiri.
Dari Kisah Para Rasul ini saudara, kita dapat melihat bagaimana solidaritas Tuhan Yesus dengan para pengikut-Nya sama sekali tidak terbatas hanya untuk murid-murid awal-Nya tetapi juga mencakup semua orang yang percaya pada-Nya.
Kehadiran Kristus telah diwakili di dalam dan melalui eksistensi seluruh pengikut-Nya di semua tempat dan segala waktu. Iman kepada Tuhan Yesuslah yang menjadi sarana satu-satunya yang memungkinkan setiap orang diangkat menjadi saudara-Nya. Dan dalam hal ini, Tuhan menyatakan keberpihakkan terhadap murid-murid-Nya, sehingga merekalah yang menjadi saudara bagi Kristus.
Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Saya percaya sebagai seorang pengikut Kristus yang sejati pastilah memiliki kerinduan jiwa yang kuat untuk berusaha secara maksimal melakukan hal-hal yang terbaik dalam menyenangkan hati-Nya. Yaitu dengan cara menunjukkan perhatian kepada saudara-saudara seiman yang dengan tekun memberitakan Injil bagi Tuhan.
Tetapi saudara, masalahnya tidak berhenti disini. Di dalam ayat 41-45 Tuhan Yesus sepertinya mengkontraskan dengan apa yang telah dijelaskan diawal. Dan apa yang Tuhan sampaikan itu pastinya juga akan membuat kita terkejut.
Jangankan bagi orang-orang yang berada di kelompok domba saja yang heran dan bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, kapankah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Kapankah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Kapankah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?” (ay 37-39). Mereka sendiri juga merasa tidak pernah secara langsung memberi makan atau minum kepada Tuhan. Tetapi jawaban Tuhan dengan tegas dinyatakan dalam ayat 40 yaitu “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang berada di kelompok kambing, mereka juga mempertanyakan, “Kapan kami melihat Engkau lapar dan haus Tuhan? Kalau kami melihat Tuhan sedang lapar ya pastilah kami akan memberi Tuhan makanan kan?” (ay. 44). Dan jawaban Tuhan sama persis dengan jawaban di ayat 40 tadi, yaitu “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (ay. 45).
Yang menarik dari kisah ini adalah: yang benar merasa tidak benar (ayat 37-39), sebaliknya yang tidak benar merasa benar (ayat 44). Ini adalah masalah arogansi rohani. Kenyataannya saudara, ada begitu banyak orang yang merasa diri rohani, tetapi di mata Tuhan mereka adalah orang yang jahat. Orang yang demikian tidak lain adalah orang yang munafik, yang mencari pengakuan publik akan apa yang diperbuatnya. Sebaliknya ada banyak juga orang yang merasa diri tidak benar, tetapi sebenarnya di mata Tuhan mereka mengerjakan hal-hal yang benar.
Saudara, Tuhan kita memang Tuhan yang luar biasa, Ia tidak pernah berat sebelah dalam menimbang satu perkara, termasuk dalam hal penghakiman yang terakhir.
Karena itu diayat-ayat yang terakhir ini, Tuhan juga ingin menunjukkan bahwa orang yang tidak melakukan apa-apa terhadap orang yang paling hina ini, maka itu sama dengan tidak melakukannya untuk Dia (Band. Ayat 45).
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kita percaya memang keselamatan ada di dalam Tuhan Yesus, tetapi keselamatan itu pun bukan untuk kita simpan sendirian, sebaliknya keselamatan yang kita terima seharusnya memberi buah dalam kehidupan kita.
Dengan demikian, orang yang telah diselamatkan dan menerima kasih Tuhan seharusnya mampu hidup menjadi saluran kasih dan saluran berkat bagi sesamanya.
Dalam hal inilah Firman Tuhan berkata, “Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih" (Lukas 7:47). Dalam ayat lain juga dikatakan bahwa “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi Tuhan, yang akan membalas perbuatannya itu” (Amsal 19:17).
Dalam hal ini, saya tidak akan menghakimi kita, tetapi saya rindu kita masing-masing menginstropeksi diri kita sendiri. Apakah selama ini kita sudah berbuat baik kepada sesama? Apakah perbuatan kita sudah memuliakan Tuhan? Apakah kita sudah mengasihi orang-orang lain, yang mungkin berkekurangan, sakit, terhadap orang-orang yang dengan gigih berjuang dalam iman? Jika kita sama sekali belum memiliki kasih seperti itu, patut kita renungkan, jangan-jangan sebenarnya kita sendiri belum merasakan kasih Tuhan dan belum menerima keselamatan dari Tuhan.
Karena itu bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Marilah mulai hari ini kita berusaha untuk menjadi saluran kasih Tuhan bagi orang lain, sebab tanpa melakukan hal ini, itu sama artinya kita sedang melawan Tuhan. Hanya orang yang yang pernah dilayani Tuhan pada saat dirinya masih hina dan berdosa, bisa melayani siapa saja tanpa pandang bulu.
Dengan demikian, kalau Yesus saja mau mengidentifikasikan diriNya dengan mereka yang dianggap hina, siapakah kita yang merasa tidak level untuk melayani mereka? Faktanya saudara, Tuhan Yesus sudah memberikan yang terbaik bagi saudara dan saya, pertanyaannya apa yang dapat kita hadiahkan bagi Dia?
Tentu yang menjadi persoalan di sini bukanlah siapa dan mengapa Tuhan mengidentikkan diri dengan orang-orang yang tidak dipandang itu. Yang mau ditunjukkan oleh Tuhan melalui pernyataan itu adalah bagaimana kecintaan dan kesetiaan kepada Tuhan seharusnya terwujud melalui cinta dan kepedulian kepada sesama kita.
Sebagai kesimpulan dari khotbah saya hari ini, saya mengajak kita untuk kembali melihat judul kita hari ini, dalam bentuk sebuah pertanyaan. Jadi kepada siapakah kita wajib menyalurkan perhatian kita? Pada tahap ini, kita menemukan jawabannya dalam Galatia 6:10 Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.Amin.