Senin, 22 Agustus 2016

KEBEBASAN YANG BERTANGGUNG JAWAB

KEBEBASAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
1 Korintus 10:23-33


Kaum muda yang saya kasihi dalam Tuhan,
Hari rabu yang lalu kita memperingati hari Kemerdekaan Negara kita yang ke-71. Artinya 71 tahun yang lalu bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya kepada seluruh dunia sebagai sebuah bangsa yang bebas dari segala bentuk penjajahan. Itu juga berarti bahwa sudah 71 tahun bangsa Indonesia hidup di dalam kemerdekaan yang dianugerahkan Tuhan bagi kita.
Namun pertanyaan bagi kita, apakah arti kemerdekaan yang sesungguhnya? Saudara, banyak orang mengira bahwa kemerdekaan berarti bebas berbuat apa saja, sesuka hati tanpa lagi perlu mempertimbangkan apa-apa. Kemerdekaan seringkali dimengerti sebagai sebuah kebebasan yang seluas-luasanya tanpa lagi mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma. Benarkah arti kemerdekaan yang demikian? Ternyata tidak saudara!
Kemerdekaan yang sesungguhnya bukanlah demikian, ketika kita menyuarakan sebuah aspirasi tentunya bukanlah sebuah hal yang salah. Akan tetapi menjadi salah apabila aspirasi yang kita sampaikan kita sampaikan dengan cara yang tidak benar. Sebuah kemerdekaan tanpa adanya rambu-rambu yang jelas justru akan membahayakan kelangsungan hidup bahkan bisa menghancurkan, bukan saja diri kita sendiri tetapi juga orang banyak atau bahkan negara.
Begitu pula ketika kita menjalankan sebuah kepentingan. Kemerdekaan yang dijalankan atas kepentingan pribadi atau golongan dan tidak lagi memperhatikan kepentingan orang banyak hanya akan menimbulkan banyak masalah. Bayangkan saudara, jika setiap orang merasa dirinya adalah yang paling benar dan paling berhak menghancurkan yang tidak sepaham dengan mereka, apa jadinya dunia ini? Padahal, dunia ini adalah sebuah anugerah Tuhan yang dititipkan kepada manusia. Kita yang tinggal di dalamnya diijinkan untuk menikmatinya. Karena itu kita harus ingat bahwa ada tugas penting bagi kita untuk mengelola bumi dengan segala isinya dengan sebaik-baiknya, dan itu sudah digariskan Tuhan sejak pada awal penciptaan. (Kejadian 1:26, 28). Karena itu, tanda kedewasaan adalah apabila kita mengimbangi kebebasan kita dengan tanggung jawab; kalau tidak, maka kebebasan itu bukan lagi kebebasan melainkan kekacauan, pelanggaran hukum.
Kaum muda yang saya kasihi,
Kebebasan bukanlah berarti kita bisa melakukan apapun dengan seenaknya. Sebuah kebebasan seharusnya bisa dipertanggungjawabkan dan dipakai untuk tujuan-tujuan yang positif. Sebuah kebebasan seharusnya membuat kehidupan di muka bumi ini semakin damai dan sejahtera, bukannya semakin hancur tidak karu-karuan. Seperti apa bentuknya? Tampaknya, masalah salah kaprah dalam menyikapi kebebasan dan kemerdekaan bukan saja menjadi isu bagi manusia di jaman sekarang ini, akan tetapi masalah ini sudah berlangsung sejak dahulu kala.
Saudara, sebagai seorang yang baru lahir baru, mungkin kita akan diperhadapkan dengan situasi yang dapat membuat kita bingung untuk memilih. Kita menjadi ragu kekristenan yang sedang kita jalani memperbolehkan kita melakukan hal-hal itu atau tidak. Kalau jelas-jelas kita tahu bahwa hal itu adalah dosa, maka sudah pasti jawabannya tidak boleh dilakukan. Tetapi bagaimana kalau masalah itu belum jelas, atau kurang jelas, karena hal itu belum diajarkan. Apakah kita boleh atau tidak, melakukan hal-hal itu? Bagaimana seharusnya sikap kita? 
Kaum muda yang kekasih dalam Tuhan,
Jemaat di Korintus pada abad pertama juga pernah mengalami kebingungan yang serupa. Sebagai orang-orang Kristen yang lahir baru, mereka menjadi bingung dengan kebiasaan yang terjadi disekitar mereka tinggal, secara khusus berkenaan dengan makanan. Di kota Korintus, daging-daging yang diperjual-belikan di pasar-pasar kebanyakan berasal dari korban persembahan di kuil-kuil berhala yang mereka lakukan. Sehingga kenyataan ini menimbulkan pertanyaan dari sebagian jemaat yang sudah percaya. Di samping itu, terkadang mereka pun diundang makan oleh sanak-keluarga atau teman-teman yang masih mengadakan penyembahan kepada berhala. Dalam kondisi ini, mereka jadi bertanya-tanya: “Apakah orang Kristen boleh beli daging di pasar?” Kalau “tidak”, apa yang harus dilakukan? Dan kalau “ya” bagaimana harus menjelaskan kepada orang-orang Kristen yang lain. Belum lagi masalah, “Kalau diundang makan, apakah boleh makan semua hidangan atau harus mengadakan pemeriksaan dulu?”
Saudara, mari kita melihat bagaimana Firman Tuhan mengajarkan hal ini kepada kita. Dalam 1 Korintus 8:4-7, Rasul Paulus menuliskan bahwa berhala bukan Allah. Karena itu apa yang sudah dipersembahkan kepadanya tidak dapat merubah makanan untuk mendatangkan keuntungan ataupun kerugian bagi kita (1 Korintus 8:8). Dalam hal ini, orang percaya dapat menikmati di rumahnya sendiri daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Sekalipun daging yang dibeli di pasar sebenarnya berasal dari kuil berhala (karena sering terjadi demikian), namun tidak akan membahayakan dia.
Demikian pula dengan orang Kristen yang diundang sebagai tamu di rumah orang yang belum percaya. Jika orang kristen itu merasa ingin pergi (Paulus menganggap keputusan ini bukan suatu hal yang penting sekali), maka ia harus memakan apa saja yang dihidangkan kepadanya tanpa bertanya apa-apa. (1 Korintus 10:25-27). Tetapi jika secara sengaja mereka memberitahukan kepada kita sebagai orang Kristen bahwa daging itu adalah bagian dari sebuah kurban, dan kita ragu untuk memakannya, maka tidak boleh memakannya.
Kita harus ingat akan firman Tuhan yang dituliskan dalam 1 Timotius 4:4-5, “Semua yang diciptakan Allah itu baik dan tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa.” Walaupun demikian, Paulus menasehati umat agar menggunakan kebebasan untuk makan makanan itu dengan penuh tanggung jawab. Bila makanan itu menjadi batu sandungan bagi orang lain, maka janganlah memakannya (1 Korintus 10:28). Dari sini kita pahami bahwa Paulus menuntut agar seorang Kristen dari Korintus harus menjadi contoh yang baik bagi orang-orang Yahudi. Bahkan bagi musuh-musuhnya, seseorang harus menjadi contoh dalam hal-hal yang baik.
Saudara, kita bisa belajar dari apa yang dikatakan Paulus dalam surat 1 Korintus pasal 10. Dalam perikop ini, kembali dijelaskan bagaimana melaksanakan kebebasan Kristen dengan penuh tanggung jawab.
Ada prinsip-prinsip kebenaran yang jelaskan Paulus dalam bagian ini, yang dapat kita jadikan patokan untuk mengukur sebuah kebebasan:
Pertama, Kebebasan bukan berarti kesewenang-wenangan. Dikatakan: “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna; “segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Korintus 10:23). Perhatikan frasa “segala sesuatu diperbolehkan.” Frasa ini diulang Paulus sebanyak dua kali, yang menyatakan sebuah slogan dunia tentang sebuah kebebasan. Akan tetapi masalahnya, kebebasan yang sesungguhnya bukan berarti sebuah kesewenang-wenangan. Kekristenan tidak pernah mengajarkan bentuk kebebasan yang seperti ini. Penilaian Kristiani terhadap nilai-nilai kebebasan itu sendiri adalah “bukan segala sesuatu berguna.” Dari sini kita pahami bahwa sorotan utamanya tentang sebuah kebebasan adalah apakah segala sesuatu itu berguna bagi kelangsungan tubuh Kristus atau tidak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi ujian atas semua yang dilakukan atau dikatakan orang percaya. Bahwa kebebasan seseorang di dalam Kristus tidak boleh menyakiti orang yang lain untuk siapa Kristus telah mati (Roma 14:15).
Dengan kata lain, yang bisa kita jadikan sebuah dasar pertimbangan dalam menyikapi kebebasan, yaitu: apakah kebebasan itu bermanfaat bagi kita dan sesama atau tidak? Lalu berikutnya, apakah kebebasan yang kita peroleh itu membangun kehidupan kita atau tidak? Apakah itu memberkati kota dimana kita tinggal atau justru malah membuatnya semakin kacau? Ini penting saudara untuk kita sikapi dalam alam kebebasan. Sebab apalah gunanya kita melakukan segala sesuatu jika hal itu malah membuat kita semakin menjauh dari Tuhan, semakin menghancurkan hidup kita atau menyengsarakan orang lain? Apakah kita harus tega menghancurkan hidup orang lain hanya demi memuaskan hasrat yang ada dalam diri kita? Itu bukanlah gambaran sikap yang diinginkan Tuhan dalam memberikan kemerdekaan atau kebebasan bagi umatNya. Dengan demikian, kita mempunyai tanggung jawab terhadap sesama kita orang kristen di dalam jemaat (1 Korintus 10:23-30). Kita bertanggung jawab untuk membangun orang lain dalam iman dan memperhatikan kepentingan mereka. Kita dapat melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Allah hanya ketika kita mengingat kewajiban yang harus kita tunaikan terhadap sesama kita; dan kita dapat melakukan hal itu hanya ketika kita mengingat bahwa kebebasan kita sebagai orang Kristen diberikan kepada kita bukan untuk kepentingan diri kita sendiri melainkan untuk kepentingan orang-orang lain.
Kedua, Jangan mengambil keuntungan dari kebebasan yang kita peroleh untuk kepentingan diri sendiri. Dikatakan: "Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain" (ay 24). Setiap yang disebut manusia selalu terdiri dari dua kepentingan, yaitu kepentingan individu yang termasuk kepentingan keluarga, kelompok atau golongan dan kepentingan masyarakat yang termasuk kepentingan rakyat. Dalam diri manusia, kedua kepentingan itu satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu kepentingan tersebut hilang dari diri manusia, maka dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan. Jika kepentingan individu yang hilang, maka ia akan lupa akan tugasnya terhadap keluarga. Tetapi jika kepentingan masyarakat yang banyak itu hilang, yang timbul adalah keserakahan. Dalam hal ini sepertinya manusia selalu diperhadapkan dengan sebuah dilema keputusan. Kalau begitu mana yang harus didahulukan?
Dalam kekristenan sangat jelas ditekankan bahwa sebuah kebebasan yang kita miliki seharusnya tidak dipakai untuk kepentingan diri sendiri, tetapi melihat apa yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Orang Kristen dewasa menempatkan kesejahteraan orang lain di garis terdepan, baru kemudian kesejahteraan diri sendiri. Dengan demikian, marilah kita pikirkan bersama segala sesuatu yang kita lakukan sehari-hari: Apakah itu memberkati orang lain atau malah mengganggu? Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang kita anggap baik bagi diri kita tetapi itu mengganggu kepentingan orang lain atau bahkan merugikan mereka. Hal ini sejalan dengan firman Tuhan yang dinyatakan dalam Filipi 2:4 yang mengatakan: “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Ketiga, Kebebasan yang sejati seharusnya dapat memuliakan nama Tuhan. Dikatakan: "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah" (1 Korintus 10:31). Ini adalah prinsip universal yang berlaku di setiap area kehidupan orang percaya. Perhatikanlah bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk memuliakan Allah, Sang Pencipta kita dalam segala sesuatu yang kita lakukan. Memaksakan kehendak dengan cara-cara yang tidak baik, memusuhi orang lain, menghakimi, memupuk dendam, berusaha membalas kejahatan dengan kejahatan dan lain-lain akan membuat kita justru menjadi batu sandungan yang malah akan mempermalukan Allah.
Kita tidak dapat memuliakan Allah dengan membuat orang Kristen yang lain tersandung. Tentu saja, hati nurani ita sendiri mungkin cukup kuat untuk mengambil bagian dalam suatu kegiatan tanpa membahayakan diri kita. Tetapi kita janganlah berani memakai kebebasan kita di dalam Kristus dengan cara apa saja yang dapat melukai teman kita sesama Kristen.
Sebaliknya ada tanggung jawab ketiga yang berhubungan dengan kedua tanggung jawab yang pertama: yaitu kita bertanggung jawab untuk berusaha memenangkan orang-orang yang tersesat (ayat 32-33). Kita tidak boleh mempersulit orang Yahudi atau pun orang bukan Yahudi untuk percaya kepada Tuhan, atau mempersulit anggota jemaat yang lain dapat bersaksi bagi Tuhan.  
Sebuah kesimpulan yang manis dalam menyikapi kebebasan bisa kita baca dalam surat Galatia. "Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih." (Galatia 5:13). Jangan pergunakan kemerdekaan atau kebebasan seenaknya sehingga kita merasa wajar untuk hidup dalam dosa, tetapi hendaklah itu kita pergunakan untuk melayani atas dasar kasih. Alangkah pentingnya memiliki kasih sejati dalam hidup kita, yang akan mampu membuat pola pikir kita berbeda dari pola pikir dunia terhadap arti sebuah kebebasan. Demikian pula yang dikatakan oleh Rasul Petrus: "Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah." (1 Petrus 2:16). Sebuah kehidupan yang merdeka seharusnya dipakai untuk menjadi hamba Allah, yang akan memuliakanNya lebih lagi, dan bukan untuk berbuat berbagai kejahatan yang akan menghancurkan diri kita sendiri, keluarga kita dan orang lain. Dalam Kristus kita sudah menjadi ciptaan baru, dengan pola pikir yang seharusnya baru pula yang akan memampukan kita untuk menyikapi kebebasan dengan rasa penuh tanggung jawab. Kebebasan diberikan kepada kita bukan untuk membuat segalanya semakin buruk, tetapi justru agar kehidupan manusia bisa semakin baik. Meski mungkin dunia masih berpikir berbeda, janganlah kita malah ikut-ikutan.
Mari nyatakan bagaimana bentuk kebebasan yang semestinya seperti apa yang dikatakan firman Tuhan. Inilah saatnya untuk menunjukkan bagaimana cara menyikapi kemerdekaan yang sebenarnya dengan penuh tanggungjawab seperti yang dikehendaki Tuhan. Kemerdekaan harus melayani kepentingan orang lain dalam melayani Injil. Dalam pengertian tersebut, Paulus sendiri adalah model, teladan dari orang Kristen yang benar-benar merdeka: “jadilah pengikutku, sama seperti aku menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1).
Dari sini kita melihat, bahwa cara kita memakai kebebasan kita dan berhubungan dengan orang lain menunjukkan apakah kita sudah dewasa di dalam Kristus. Orang-orang Kristen yang kuat dan yang lemah imannya perlu bekerjasama dalam kasih untuk saling membangun dan memuliakan Yesus Kristus. Amin.

Minggu, 14 Agustus 2016

HUKUM PERZINAHAN & PERNIKAHAN KUDUS

HUKUM PERZINAHAN & PERNIKAHAN KUDUS
Matius 5:27-32


Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Hari ini kita masih membahas hukum ke tujuh yang berkata: “Jangan Berzinah” (Keluaran 20:14). Disini saya tidak akan menguraikannya pembahasan ini dalam sudut pandang Perjanjian Lama. Akan tetapi pembahasan kali ini, saya ingin mengajak kita untuk lebih fokus melihat hukum ini dari sudut pandang Perjanjian Baru, bagaimana pengajaran Tuhan Yesus tentang hukum perzinahan dan Pernikahan yang harus kita pahami. Saudara, pada saat Tuhan Yesus menyampaikan suatu khotbah di bukit, Tuhan mengkaitkan khotbahnya dengan hukum Taurat yang dikenal oleh masyarakat Yahudi pada saat itu.
Dalam pendahuluannya Tuhan Yesus berkata: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Matius 5:17). Saudara, apa yang dinyatakan Tuhan Yesus disini bukanlah suatu hal yang tanpa dasar. Sebab Tuhan Yesus tahu, kehidupan agama mereka bukanlah kehidupan rohani yang sejati. Tuhan Yesus tahu bahwa para ahli Taurat dan orang-orang Farisi bukanlah pelaku-pelaku firman Tuhan yang hidup (Ayat 20).  Oleh sebab itu, Tuhan Yesus ingin menasehatkan para murid-Nya untuk tidak memiliki hidup keagamaan seperti yang dimiliki ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebaliknya Tuhan Yesus menghendaki agar setiap murid-murid-Nya dapat memberlakukan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, yang dimulai dari dalam hati bukan hanya sekedar tingkah laku lahiriah.
Demikian pula halnya dengan hukum ke tujuh, mengenai hukum ini, Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Ayat 27-28). Saudara dalam pernyataan ini, Tuhan Yesus tidak mengubah esensi dari hukum Taurat. Sebaliknya Ia sedang berusaha mengembalikan esensi yang sesungguhnya itu. Sebab di mata Tuhan hukum ini pun telah dipelintir oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Hanya demi alasan kepraktisan, maka para ahli Taurat telah menyederhanakan larangan tersebut menjadi “janganlah engkau kedapatan berzinah.” Dari sini kita pahami saudara, bahwa bagi ahli Taurat yang terpenting tidak kedapatan berzinah. Perbuatan zinahnya sendiri bukan masalah, asalkan tidak ketahuan. Hal ini sama dengan anak-anak sekolah yang nyontek. Atau sama dengan pejabat yang korupsi. Mengapa mereka berani berbuat demikian? Karena konsep mereka yang salah yang menganggap tindakan tersebut bukanlah sebuah dosa yang membawa kepada kematian, terlebih lagi jika tidak kedapatan.
Jadi saudara, kenyataan yang seperti ini bagi Tuhan Yesus merupakan hal yang sangat naif. Begitu rusaknya hati manusia, sehingga berani menurunkan standart moral yang telah ditetapkan oleh Allah. Di mata Allah, perzinahan adalah sebuah kekejian yang bukan hanya menyangkut sikap hidup manusia, tetapi tetapi juga menyangkut sikap hati di hadapan Tuhan. Hati manusia adalah pusat kehidupan. Jika hati manusia menjadi bengkok, maka segala kehidupannya menjadi rusak.
Tuhan tahu, bahwa manusia begitu rentan terhadap dosa. Tuhan mengetahui isi hati manusia (Yohanes 2:25). Ia mengetahui bahwa tidak ada seorang manusia pun bebas dari pencobaan, juga tidak seorang pun yang bebas - paling tidak selama masih hidup - dari pengaruh dosa. Karena itu Tuhan memberikan sebuah peraturan mutlak dengan menggunakan larangan yang sangat keras, “janganlah sekali-kali kamu berzinah.”
Saudara, perzinahan bukanlah karena kepergok berzinah baru dikatakan bahwa dia melakukan dosa perzinahan. Sebab ketika seseorang berpikir tentang kenikmatan hawa nafsunya, walaupun hal itu tidak ketahuan, orang itu tetap telah melakukan perzinahan. Ketika seseorang memikirkan, melamunkan, membayangkan seseorang sehingga hawa nafsunya meningkat, ia telah berzinah di hadapan Tuhan. Jika dia memandang orang lain dengan keinginan seksual, atau dengan tangannya meraba orang lain dengan keinginan yang sama, maka sebenarnya dia sudah berzinah.
Dalam hal ini saudara, tidak berarti Tuhan Yesus memberikan hukum baru tentang perkara perzinahan. Tetapi Tuhan Yesus justru sedang memberikan penekanan tentang keberdosaan seorang pezinah yang harus dihukum meskipun belum membuahkan tindakan perzinahan. Kita melihat saudara, bagaimana Tuhan Yesus menghubungkan bentuk perzinahan dengan mata. Karena mata merupakan jendela hati, terutama bagi laki-laki. Dalam konteks sekarang, dosa menyusup melalui apa yang kita lihat baik secara langsung di dalam dunia nyata, ataupun dalam alam pikiran seseorang.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan seks. Sebab seks diciptakan oleh Tuhan. Pada saat Adam dan Hawa dipersatukan oleh Tuhan. Allah berfirman: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Akan tetapi sejak dosa masuk ke dalam dunia, dosa merusak segala hal termasuk standart moral yang telah ditetapkan Allah.
Jadi yang ditekankan Tuhan Yesus adalah bahwa kita masih hidup di dalam tubuh lama dengan sifat-sifatnya yang berdosa. Dan kita masih hidup di dalam dunia yang sudah rusak. Manusia yang berdosa tidak lagi takut kepada Allah. Karena itu saudara, perintah Tuhan Yesus untuk meniadakan mata dan tangan yang menyesatkan bukan supaya secara harafiah membuat diri kita menjadi cacat, melainkan supaya kita secara sadar atas konsekuensi yang bakal diterimanya. Kesucian hiduplah yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita bukanlah penolakan terhadap hawa nafsu, melainkan mengendalikan hawa nafsu. Dan pengendalian hawa nafsu untuk mengikut Yesus, berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang mencemari kesucian hidup. Dengan demikian, kehidupan moralitas kita dapat  terjaga.
Contoh praktisnya saudara, kita dapat melihat dalam kasus Daud saat ia berada di atas sotoh istananya (2 Samuel 11:1-27). Dikatakan “Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya, lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya dari atas sotoh itu seorang peremuan sedang mandi; perempuan itu sangat elok rupanya” (2 Samual 11:2). Kisah Daud dan Batsyeba ini bermula ketika Daud tinggal di Yerusalem pada waktu raja-raja biasanya maju berperang pada pergantian tahun. Pada waktu itu Daud tidak ikut memusnahkan bani Amon bersama Yoab dan orang-orangnya dan seluruh orang Israel. Jadi dapat kita bayangkan, bahwa yang tinggal di sekitar istana pada waktu itu hanyalah para wanita, para budak, beberapa penjaga kota dan istana, dan Daud sendiri.
Saat matahari mulai condong ke bagian barat, Daud bangun dari tempat pembaringannya. Dia keluar bukan untuk bertugas, tetapi ia berjalan-jalan di atas sotoh istananya. Sehingga sore hari itu, semua rumah-rumah di sekitar istananya, masih nampak. Termasuk apa yang dilakukan oleh orang-orang di luar rumahnya. Saudara, jika dia menggunakan kesadarannya yang takut Tuhan, pastinya dia akan menghindar dari hal itu. Tapi dia yang dilakukan Daud justru berlambat-lambat, ia membiarkan matanya berpesta melihat setiap inci tubuh Batsyeba, sampai dia tidak bisa menolak untuk bisa mendapatkannya.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Dicobai bukanlah dosa. Tapi berlama-lama melihat itu, bermain-main dengannya, menggodanya, jelas hal ini tidak bisa ditolerir. Kita menginginkan sesuatu sehingga kita tidak bisa menolak dosa, maka kita jatuh ke dalam dosa. Tuhan justru berfirman agar kita dapat menjauhi nafsu orang muda (2 Timotius 2:22), maka Tuhan akan menolong kita mengatasinya ketika kita taat kepada-Nya. Tapi jika kita melalaikan dan bermain-main dengannya, kemungkinannya hanya satu, yaitu kita membiarkan diri masuk ke dalam kehancuran yang kekal.
Sidang jemaat yang kekasih,
Dalam hal ini, Batsyeba bukannya tidak bersalah. Dia mungkin tidak sengaja menggoda Daud, tapi dia tidak hati-hati dan bijaksana. Dia justru membiarkan dirinya bertelanjang di halaman belakang rumahnya, sehingga dapat dilihat jelas dari atas sotoh Istana. Pertanyaanya bagi kita, bukankah ia bisa mandi di dalam? Seandainya ia mandi di dalam, mungkin tidak akan menimbulkan godaan.
Bahkan di masa sekarang pun, kondisi sepertinya bagi sebagian wanita, kelihatannya belum menyadari kelemahan pria ada pada mata mereka. Kelemahan wanita ada pada sanjungan dan kasih sayang. Jika wanita terus menerus diberikan sanjungan dan kasih sayang, niscaya mereka akan luluh hatinya. Sebaliknya kelemahan seorang laki-laki terletak pada matanya. Karena itu sebelum laki-laki memutuskan untuk memilih pasangan yang baik baginya, terlebih dahulu ia akan melihat bagaimana perawakan seorang wanita.
 Nah disini, wanita-wanita Kristen modern, justru membiarkan diri di dorong masuk ke dalam gaya pakaian dunia yang nampak terbuka. Karenanya tidak heran saudara, mengapa para pria tidak bisa pikir lain, selain orientasinya hanya pada seksual. Dalam hal ini saudara, kita yang sudah menjadi orang tua tidak boleh gagal mengajar anak-anak perempuan kita tentang gaya berpakaian yang baik, terutama saat mereka remaja. Orangtua Kristen harus mengajar anak perempuan mereka tentang kenyataan nature seorang pria dan arti kesopanan, kemudian setuju akan standar berpakaian mereka.
Saudara, Perzinahan selalu mengakibatkan dampak negatif. Daud melakukan dosa perzinahan, maka Tuhan memberikan hukuman sebagai akibat dari dosanya meskipun dia sudah mengaku, bertobat dan dipulihkan. Akibat yang secara langsung harus dia tanggung adalah Daud harus kehilangan anak dari hasil perzinahannya dan pedang tidak akan menyingkir dari keturunannya. Untuk jaman ini dampak negative yang ditimbulkan dari perzinahan adalah terjadinya kehancuran keluarga, rasa malu dan perasaan bersalah seumur hidup.
Dalam hal inilah Tuhan Yesus berbicara tentang perzinahan, namun dari sudut pandang yang sebenarnya. Tuhan Yesus mengajarkan tentang immoralitas seksual yang ditimbulkan dari perzinahan, bahwa akar dari semua itu terletak di dalam hati. Dikatakan “Setiap orang yang memandang seorang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya“ (Matius 5:28). Dari sini kita melihat saudara bahwa dosa seksual itu, masuk melalui mata. Karena itu jagalah matamu, agar tidak tergoda dengan hal-hal yang dapat menyeret kita ke dalam dosa. Sebaliknya kuasailah matamu di mana pun kita berada, baik itu ketika berada di Mall, di dalam pesta, ketika di kolam renang atau bahkan ketika di dalam gereja sekali pun – sebab ada banyak jemaat di luar sana yang pergi ke gereja kurang menyadari nilai-nilai kesopanan dalam berpakaian – sehingga menyebabkan beberapa orang jatuh dalam dosa ini. Sebab mata adalah pintu bagi terjadinya dosa perzinahan.
Karena itu bapak/ ibu yang kekasih,
Hal pertama agar kita tidak jatuh dalam dosa perzinahan ini adalah menguasai diri dari hawa nafsu yang cemar. Jangan membiarkan hawa nafsu meluap tanpa bisa dikendalikan. Tuhan menciptakan kita untuk melakukan apa yang kudus, bukan apa yang cemar (1 Tesalonika 4:3-8). Kita tidak pernah dirancang untuk kecemaran. Setiap orang yang membiarkan pikiran-pikiran cemar terus merasuki dirinya, sebenarnya dia sedang menghancurkan diri sendiri. Dan barangsiapa yang gagal melihat orang lain dengan cara yang pantas dan kudus, dia sedang menghancurkan kemanusiaannya sendiri. Manusia gambaran Allah harus identik dengan kekudusan. Kecemaran adalah pekerjaan setan. Kecemaran akan merusak manusia dan merendahkan dirinya ketingkat yang paling bejat! Tetapi kecemaran tidak akan padam jika terus diberi makan. Jika kita tidak menghindarkan diri dari segala sesuatu yang cemar, maka kekuatan kita untuk menaklukkan kecemaran menjadi makin habis dan jerat kecemaran itu akan makin besar atas kita. Dalam Yohanes 8:34 dijelaskan: “Siapa yang berbuat dosa adalah hamba dosa. Siapa yang berbuat cemar akan dikuasai oleh kecemaran. Jadi saudara, jagalah pikiran yang suci, hati yang suci, perkataan yang suci, mata yang suci, tangan yang suci, sehingga seluruh hidup kita boleh dibebaskan dari kecemaran dan hawa nafsu seksual yang tidak pada tempatnya.
Ketika Tuhan Yesus berkata: “Jika mata saudara menyebabkan saudara berbuat dosa, maka cungkillah mata saudara” (Matius 5:29). Artinya adalah jangan lihat! Bersikaplah seakan-akan saudara benar-benar telah mencungkil mata saudara serta melemparkannya jauh-jauh, sehingga saudara tidak lagi terfokus kepada hal yang demikian, yang menyebabkan saudara berbuat dosa.
Demikian pula halnya dengan tangan, “Jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka” (Matius 5:30). Dari sini kita pahami bahwa kita dituntut untuk mengendalikan hawa nafsu kita terhadap hal-hal yang menyebabkan diri kita jatuh ke dalam dosa. Jadi hal yang perlu dilakukan terhadap orang-orang yang peka sekali terhadap godaan seksual adalah kedisipinan untuk tidak menjerumuskan diri terhadap godaan tersebut.
Dengan demikian, apa yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus seratus persen bertolak belakang dengan standart-standart modern yang menghalalkan segala cara yang kita senangi. Ajaran Tuhan Yesus di dasarkan pada prinsip bahwa yang kekal lebih penting daripada yang fana, kesucian lebih penting daripada kebudayaan. Dan bahwa kita harus siap sedia melakukan setiap pengorbanan dalam hidup ini, jika itu diperlukan untuk menjamin diizinkannya kita memasuki hidup sesudah ini.
Dosa seks adalah dosa yang paling sulit melepaskan diri dari cengramannya. Karena dosa ini menawarkan demikian banyak kesenangan dan kenikmatan. Padahal di dalam kesenangan dan kenikmatan itu ada maut. Hidup saudara akan hancur jikalau saudara jatuh ke dalam dosa seksual. Oleh sebab itu hadapilah dosa seks itu dengan satu komitmen yang sungguh-sungguh. Menyangkal diri dari semua bentuk godaan dengan menyingkirkan sejauh mungkin segala bentuk yang menyeret kita jatuh dalam dosa perzinahan ini. Sambil terus menerus meminta pertolongan Tuhan, untuk kita dimampukan mengendalikan hawa nafsu kita.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah, jika mata saudara menyebabkan saudara berbuat dosa, jangan lihat. Jika kaki saudara menyebabkan saudara berbuat dosa, jangan pergi. Dan jika tangan saudara menyebabkan saudara berbuat dosa, jangan jamah itu. Dengan membatasi diri dan berusaha mengendalikan hawa nafsu kita, maka kita akan terjaga dalam kekudusan yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, kita akan beroleh bagian dalam Kerajaan Allah.
Dalam ayat 31 dan 32 Tuhan Yesus mengaitkan dosa perzinahan dengan perceraian. Dalam ayat ini dijelaskan “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Matius 5:31-32).
Sidang jemaat yang kekasih,
Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16). Di dalam masyarakat Yahudi ada praktik menceraikan istri. Meskipun Allah melarang suami menceraikan isterinya, namun bangsa Israel terus ngotot kepada Musa untuk mengizinkan dengan syarat kepada isteri yang diceraikannya itu harus diberi surat cerai, yang disaksikan oleh dua orang anggota keluarga atau sahabat dekatnya. Dalam hal inilah Tuhan Yesus berkata dengan keras: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (Matius 19:8-9).
Bapak/ ibu yang kekasih,
Kalau kita melihat Ulangan 24:1-4 bagian ini sebenarnya tidak mengizinkan perceraian, tetapi mengatur jika telah terjadi perceraian. Ulangan 24 adalah peraturan agar orang Israel menghormati pernikahan. Pernikahan itu adalah kudus. Sebab pernikahan bukan hanya melibatkan dua orang yang saling mengasihi. Akan tetapi di dalam pernikahan Tuhan hadir dan memberkati kelangsungan hidup mereka. Di dalam pernikahan ada janji yang melibatkan Tuhan di dalamnya. Karena itu seorang laki-laki tidak boleh menceraikan istrinya, tetapi bila ternyata ada perceraian telah terjadi, maka laki-laki itu tidak boleh mengambil kembali istri yang telah diceraikannya bila istrinya itu sempat menjadi istri orang lain. Bayangkan saudara, betapa rusaknya Israel bila di tengah-tengah mereka pernikahan dapat dibatalkan dan disambung kembali dengan sebuah surat! Beri surat cerai, lalu menikah dengan yang lain, kemudian bercerai kembali… ini semua adalah hal yang menjijikkan bagi Tuhan. Ulangan 24 justru menekankan bahwa siapa pun yang menganggap remeh relasi pernikahan, dia berdosa besar kepada Tuhan. Jika demikian, Ulangan 24 tidak bisa dijadikan pembenaran untuk adanya izin perceraian dari Tuhan.
Karena begitu rusaknya masyarakat dan karena praktik perceraian yang begitu umum menjadikan Tuhan pada akhirnya memberikan peraturan di dalam Ulangan 24 ini. Dosa ini adalah penyakit yang makin merusak masyarakat kita saat ini. Pernikahan menjadi ikatan janji yang dianggap enteng dan boleh dilanggar kapan pun. Relasi seksual dianggap sebagai hak azasi setiap orang yang tidak harus diikat oleh perjanjian nikah seumur hidup. Kesetiaan seumur hidup menjadi tema yang terus diabaikan di dalam pesan-pesan populer dalam masyarakat kita. Sebaliknya, pemuasan gairah seksual menjadi tema yang terus disuarakan!
Tuhan tidak pernah menganggap seks sebagai hal yang hina. Sebaliknya, relasi seksual begitu agung dan indah di mata Tuhan sehingga melalui relasi inilah Tuhan menciptakan kehidupan baru ke dalam dunia ini. Kitab suci dengan jelas mengajarkan bahwa suatu komitmen permanen di dalam pernikahan merupakan rencana Tuhan. Itulah sebabnya relasi seksual sejati terlalu agung untuk boleh dilakukan tanpa adanya komitmen seumur hidup. Kesetiaan, komitmen, dan kehangatan relasi pernikahan tidak boleh dilanggar dan diabaikan.
Dalam Kejadian kita belajar bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah. Ketika Allah menciptakan manusia, awalnya Dia hanya menciptakan seorang laki-laki. Allah berfirman bahwa tidak baik jika laki-laki ini hidup seorang diri, jadi Dia menciptakan seorang isteri baginya. Adam sangat senang dengan isteri yang telah Allah ciptakan baginya dan pastilah Hawa sangat bahagia bertemu dengan Adam.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling tertarik, saling membutuhkan, serta untuk menjalin sebuah hubungan yang berdimensi mental, jasmani maupun rohani. Karena itu suami dan isteri adalah karunia Allah bagi masing-masing pihak. Allah bermaksud agar suami dan isteri memiliki hubungan istimewa satu sama yang lain, lebih dekat daripada semua hubungan yang mereka miliki dengan orang lain. Alasan terpenting bagi keberadaan anugerah tersebut adalah kebersamaan. Allah bermaksud agar suami isteri menjadi sahabat yang mengisi kehidupannya sampai maut memisahkan mereka.
Hubungan suami isteri harus menjadi gambaran hubungan Allah dengan umat-Nya. Allah mengadakan kovenan dengan umat-Nya. Dia berjanji untuk menjadi Allah mereka dan untuk menjadikan mereka umat-Nya untuk selamanya. Karenanya Pernikahan Kristen bukan sebuah pertemuan dua kehendak yang kemudian disatukan, akan tetapi lebih merupakan panggilan Allah bagi kedua insan yang dipersatukan untuk menjalankan fungsinya masing-masing dengan penuh tanggung jawab di hadapan Tuhan
Tubuh pria berbeda dari tubuh wanita, karena Allah bermaksud agar suami dan isteri mempergunakan tubuh mereka untuk menunjukkan kasih satu sama lain. Hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan antar manusia yang paling intim yang pernah ada. Hubungan ini jauh lebih dekat dari pada hubungan antara orangtua dan anak atau hubungan antar teman. Karena itu suami isteri mempergunakan tubuh mereka untuk saling menunjukkan kasih dengan cara yang tidak boleh dilakukan dengan orang lain.
Berzinah adalah perbuatan bersetubuh dengan seorang perempuan yang tidak ada hubungan nikah dengan orang itu. Apakah perbuatan itu berdasarkan suka sama suka atau dengan membayar untuk jasa itu. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, mansia memakai tubuhnya menurut keinginannya sendiri. Dan hubungan seksual yang dilakukan di luar pernikahan adalah perzinahan. Jika tindakan fisik menjadi patokan, maka sebenarnya banyak orang yang dapat menaati perintah ini dengan sangat baik.
Akan tetapi Tuhan Yesus memberikan perintah mengenai jangan berzinah dengan kedalaman yang sangat esensial. Perzinahan berarti kegagalan menjalankan janji setia di dalam pernikahan. Janji setia itu adalah janji yang diberikan dari dalam hati. Janji merupakan suatu komitmen hati yang mengikat hati, perbuatan, dan perkataan seseorang. Jika perbuatan dan perkataan kita menaati janji, tetapi hati tidak, maka sebenarnya kita telah melanggar perjanjian.
Tuhan Yesus pun mengakui bahwa kitab Suci sendiri mengajarkan bahwa immoralitas seksual merupakan perusak ikatan pernikahan. Menurut kitab Perjanjian Lama, dosa seksual yang diancam dengan hukuman mati itu akan dengan sendirinya membebaskan pihak yang dikhianati dari ikatan pernikahan. Walaupun hukuman tersebut tidak diberlakukan lagi namun pengaruhnya masih berlaku. Kita melihat bagaimana dampak dari sebuah perceraian, bukan hanya merusak hubungan suami isteri yang telah dipersatukan Allah. Akan tetapi perceraian lebih banyak merusak generasi berikutnya, sehingga anak-anak yang bertumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis, akan bertumbuh dalam kepahitan sampai ia dewasa. Sebagian yang lain ia akan bertumbuh dalam trauma kejiwaan.
Karena itu pada bagian yang kedua ini yang harus dilakukan adalah memelihara perjanjian nikah dengan kesungguhan di dalam kasih, kesetiaan, gairah, perasaan cinta yang mendalam, dan takut akan Tuhan. Jangan menjalani pernikahan yang hanya formalitas. Suami yang tidak mengasihi istri, meskipun engkau tidak berzinah, tetapi engkau telah melanggar kekudusan pernikahan. Ini sangat dibenci oleh Tuhan. Istri yang tidak mau tunduk kepada suami, meskipun engkau tidak berbuat zinah, engkau sudah menghina Tuhan dengan melanggar perintah-Nya. Ordo ini tidak bisa dibolak balik. Kegagalan suami istri dalam menjalankan ordo yang ditetapkan Tuhan, adalah pemicu hancurnya rumah tangga. Karena itu jagalah kesetiaan kita dengan kehangatan kasih, keintiman, dan kedekatan yang terus dipelihara. Pernikahan yang mengabaikan hal-hal ini adalah pernikahan yang tidak akan mempermuliakan nama Tuhan. Pernikahan yang tidak dijaga adalah pernikahan yang akan mempermalukan nama Tuhan dan menyengsarakan pasangan yang menikah.
Perzinahan adalah ketika seseorang tidak lagi setia kepada pasangannya di dalam tindakan, perkataan, hati, maupun gairah. Mungkin dia tidak tidur dengan orang lain, tetapi hatinya menginginkan orang lain. Mungkin dia tidak berhubungan dengan orang lain secara seksual, tetapi gairahnya ada pada orang lain. Mungkin dia tidak memeluk orang lain tetapi perkataannya merayu orang lain yang bukan pasangannya. Semua ini adalah dosa perzinahan.
Kecemaran hati yang tidak bisa setia, atau yang tidak bisa menguduskan diri dari hawa nafsu cemar, inilah akar dosa dari perzinahan. Karena perzinahan adalah pelanggaran terhadap pernikahan, dan pernikahan adalah janji yang mengikat seluruh hidup seseorang kepada orang lain. Pernikahan bukan hanya mengenai relasi seksual, tetapi seluruh hidup, dan karena itu pelanggaran terhadap pernikahan berarti hukuman mati (Imamat 20:10).
Pernikahan orang beriman diumpamakan dengan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Mereka menjadi satu daging atau satu manusia. Kita perlu menyelami arti satu daging atau satu manusia. Mereka sudah satu rumah dan satu tempat tidur pada waktu mereka menikah. Tiap pihak mengaku bahwa partnernya dijodohkan oleh Allah. Mereka adalah anak-anak Allah. Mereka memiliki kasih satu kepada yang lain. Namun mereka adalah pribadi yang berbeda. Di dalam dan oleh pernikahan ini mereka mengenal satu dengan lainnya, mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing. Lalu semua kelainnan itu dipadukan sehingga mencapai tingkat yang sepenuhnya dari menjadi satu daging atau satu manusia. Itulah solusi nikah yang lestari bahkan tidak mungkin dipisahkan, kecuali maut yang memisahkan mereka. Kiranya melalui kebenaran firman ini, kita lebih berhati-hati dalam menjaga hati kita di hadapan Tuhan. agar melalui kehidupan kita, kita dapat mencerminkan kemuliaan Tuhan. Amin.