Senin, 22 Juni 2015

KEGAGALAN YANG MERUSAK KREDIBILITAS

KEGAGALAN YANG MERUSAK KREDIBILITAS
1 Samuel 2:11-36

 
 
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga kita adalah sebuah karunia Tuhan yang membahagiakan. Saat kita lelah seharian bekerja, kelucuan dan keluguan dari anak kita yang masih kecil seakan-akan melenyapkan rasa capek dan lelah itu. Saudara, itu adalah bagian dari hal-hal yang menyenangkan dari memiliki anak.
Tetapi kalau kita lebih jauh lagi menatap ke masa depan anak tersebut, kita bisa bayangkan pastinya akan lebih banyak lagi kengerian yang muncul dari anak-anak kita jika kita salah dalam mendidik.
Saya sendiri saudara, saat menatap wajah anak-anak saya yang masih kecil itu, terkadang terlintas dalam pikiran saya, kira-kira jika anak-anak saya sudah menjadi besar, bakal jadi seperti apa anak-anak saya? Saudara saya tidak sedang berbicara tentang cita-cita mereka. Sebagai orang tua, kita juga tidak bisa menjamin, anak-anak kita bakal menjadi seperti apa. Tetapi paling tidak saudara, kita harus memulai mengajarkan sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang “yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Karena itu saudara, yang ingin saya katakan adalah apa yang kita tabur hari ini terhadap pendidikan anak-anak kita saudara, pastinya akan membawa dampak pada kehidupan mereka di masa depan. Karena itu jika kita mendapati sebuah kegagalan dalam pembentukan anak-anak, pastinya tidak dapat lepas dari apa yang ditaburnya terdahulu.
Nyatanya saudara, kegagalan dalam mendidik anak-anak, bukan hanya menjadikan mereka  seorang pemberontak terhadap orangtua, terlebih lagi mereka bakal menjadi seorang yang tidak takut akan Tuhan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Saya percaya tidak ada diantara kita yang menghendaki anak-anak kita menjadi seorang pemberontak apalagi seorang yang tidak takut Tuhan. Sebab jika anak-anak itu besar menjadi seorang yang suka memberontak, sebenarnya kita sedang mencetak anak yang kelak akan membuat malu nama baik kita sendiri, dan terlebih lagi mempermalukan nama Tuhan. Karena itu perlu ada disiplin yang baik dalam setiap keluarga.
Saudara, mendidik berhubungan dengan disiplin. Mendidik berarti ”mengajar atau mengatakan, menunjukkan atau memperlihatkan, menuntun seseorang melalui suatu proses dimana di dalamnya orang itu dilatih.”
Firman Tuhan dalam Amsal 13:24 berkata, "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya"
Mengapa perlu adanya disiplin? Sebab disiplin membuktikan kasih kita terhadap anak-anak kita. Anak-anak yang memahami karakter dan sifat ayah mereka, tidak akan membenci disiplin yang ditegakkan oleh ayah mereka. Justru Ayah yang memilih untuk tidak menegakkan disiplin, dan membiarkan anaknya membuat pilihannya sendiri, hanya menunjukkan ketidakpedulianya terhadap kesejahteraan dan masa depan anaknya. Jadi saudara, tidak mendisiplin anak-anak berarti Anda membenci mereka. Sebaliknya jika Anda mencintai mereka, Anda akan segera mendisiplin mereka.
Pertanyaannya, berapa lama kita harus menggunakan tongkat untuk mendisiplin anak-anak? Jawabannya adalah selama mungkin mereka memerlukannya. Karena itu saudara, dibutuhkan hikmat Tuhan dalam mendisplin anak. Dibutuhkan kepekaan untuk mengerti apa yang Tuhan mau kita kerjakan bagi anak-anak kita.
Saudara, pernahkah kita bertanya, mengapa Tuhan ingin agar kita sebagai orang tua mempersiapkan anak-anak kita secara mental dan spiritual? Karena sejatinya Tuhan menghendaki kita untuk mengasihi mereka sungguh-sungguh. Anak adalah anugerah Tuhan dalam kehidupan keluarga. Karenanya Tuhan mengharapkan anak-anak dapat berkembang sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, meski pun mereka berada di dunia yang jahat.
Saudara,
Charles Williams, seorang pakar di bidang anak, mengatakan bahwa, "Anak kecil yang berusia 2 tahun adalah majikan Anda, pada usia 10 tahun adalah budak Anda, pada usia 15 tahun adalah kembaran Anda, dan setelah itu kawan Anda atau musuh Anda, tergantung bagaimana Anda membesarkannya." Oleh karena itu, jangan segan-segan untuk menggunakan rotan/ tongkat jika memang diperlukan, yang terpenting adalah mintalah hikmat kepada Tuhan kapan kita harus menggunakannya.
Kenyataannya saudara, jika orang tua tidak pernah menegakkan disiplin dan mengharapkan anak-anak kita mereka-reka menurut kemampuan mereka sendiri, itu sama saja dengan akan menghancurkan jiwa mereka.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Perhatikan apa yang terjadi pada kehidupan keluarga imam Eli. Dijelaskan dalam nats kita bahwa Imam Eli adalah pemimpin rohani bangsa Israel. Ia adalah seorang yang berasal dari keturunan Itamar, adik Eleazar, anak-anak Harun. Ia adalah seorang imam besar, sebuah jabatan yang ia dapatkan secara otomatis, karena diberikan secara turun temurun.
Saudara, sebagai Imam besar Israel pastinya kata-kata yang diucapkannya akan didengar dan hidupnya diperhatikan banyak orang. Ia dapat dianggap sebagai representasi umat Israel di hadapan Tuhan dan memanjatkan doa serta mempersembahkan korban bakaran bagi orang Israel. Nah, dengan posisi dan jabatan yang demikian, maka dapat dipastikan bahwa ia bersama anggota keluarganya adalah orang-orang yang terhormat dan bisa menjadi teladan bagi umat.
Namun masalahnya adalah, ada suatu hal yang sangat mengejutkan kita, ternyata kedua anak dari Imam Eli ini, yakni Hofni dan Pinehas justru melakukan hal-hal yang menghina Allah. Inilah kejujuran Allah yang kita lihat dalam Alkitab, saudara. Allah tidak hanya menuliskan hal-hal yang baik sebagai sarana membentuk umatNya. Tetapi kegagalan-kegagalan orang-orang yang hidup di dalam Alkitab pun, tetap dibukakan Allah sebagai bentuk peringatan yang berlaku bagi kehidupan pembaca di masa depan.
Saudara kita melihat, bagaimana kehidupan Imam Eli dalam mendidik anak-anaknya. Umumnya orang menduga, imam Eli pastinya mampu membentuk anak-anaknya untuk dapat bertumbuh dalam iman dengan baik. Terlebih lagi, kedua anak-anaknya turut terpanggil sebagai pelayan Tuhan. Kedua anak-anak iman Eli juga menjadi imam. Tetapi Alkitab menjelaskan kepada kita bahwa walaupun demikian, kehidupan anak-anak imam Eli tidak mencerminkan kehidupan seorang pelayan Tuhan.
Sebab anak-anak imam Eli tidak memiliki pengalaman persekutuan dengan Allah secara pribadi. Mereka tidak pernah dengan serius memikirkan Allah. Karena itu saudara, jangan pernah menyangka jika anak-anak kita yang rajin datang ke gereja lalu secara otomatis dapat memiliki kerohanian yang baik, Tidak saudara! Selama kerajinannya tidak disertai dengan pertobatan! Mustahil anak itu bertumbuh secara baik dalam kerohaniannya.
Saudara satu contoh bisa kita lihat dalam kehidupan pelayanan Tuhan Yesus. Sepanjang pelayanan Tuhan Yesus, ada begitu banyak orang-orang yang turut hadir untuk mendengarkan pengajaranNya. Tetapi tidak semua mengalami pertumbuhan rohani. Sebab tidak semua mencari pribadi Tuhan. Tidak semua juga mengalami pertobatan. Misalnya kehadiran orang-orang Farisi dalam setiap pelayanan Tuhan Yesus menjadi bukti bahwa intensitas mereka untuk hadir tidak menjamin besarnya kerohanian mereka. Sebab orang-orang Farisi hadir bukan untuk belajar mengenal Tuhan Yesus. Tetapi mereka hadir untuk mencari-cari kesalahan Tuhan Yesus.
Kembali kita pada kehidupan imam Eli, kita melihat imam Eli tidak mampu mempersiapkan kerohanian anak-anaknya untuk hidup sungguh-sungguh di dalam Tuhan. Sehingga dikatakan dalam nats bahwa anak-anak Eli ini hidup sebagai seorang dursila, yang berarti: jahat atau buruk kelakuannya. Mereka tidak mengenal Tuhan dengan baik. Tidak ada ruang untuk Allah dalam pikiran mereka. Mereka memang tinggal di Kemah Suci. Ayah mereka mengenal Tuhan. Namun dua anak ini adalah orang-orang terhilang, orang-orang yang belum diselamatkan, karenanya disamakan dengan orang-orang dursila yang tidak mengindahkan Tuhan.Saudara, mereka adalah manusia duniawi yang hanya berpikir tentang apa yang menguntungkan bagi mereka.
Kejahatan mereka nyata terdaftar dalam ayat-ayat berikut:
-        Mereka tidak mengindahkan Tuhan dengan tidak menghormati kurban persembahan bagi Tuhan (ayat 12),
-        Mereka tidak mengindahkan batas-batas hak seorang imam (ay. 13). Sebab mereka tidak hanya meminta bagian yang seharusnya menjadi milik si pemberi persembahan, tetapi dalam beberapa kasus mereka justru mengambil bagian yang seharusnya diberikan kepada Tuhan (ayat 15).
-        Mereka serakah dan curang dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terbukti dari sikap mereka yang suka melakukan kekerasan untuk memperoleh kehendak mereka (ayat 16).
-        Dan yang sangat memilukan hati adalah, mereka tidak lagi menghormati kekudusan Tuhan dan kekudusan tempat ibadah (ayat 22). Mereka melakukan suatu dosa perzinahan dengan jalan tidur dengan perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan.
Ini jelas adalah dosa yang disengaja, karena sebagai imam tidak mungkin mereka tidak mengetahui hukum Tuhan tentang hal itu. Mereka sudah tidak mempunyai rasa malu sedikitpun dalam berbuat dosa. Kondisi yang demikian sangat meresahkan bangsa Israel terlebih kejahatan mereka ternyata sampai juga ke telinga Imam Eli.
Saudara! Tindakan dan perbuatan anak-anak Eli ini sangat memalukan dan merusak kredibilitas orang tua mereka yang selaku imam besar dan mereka sendiri yang sebagai asisten imam. Satu perbuatan yang sangat tidak pantas untuk dilakukan.
Bukankah seharusnya mereka menjadi teladan yang baik bagi umat yang dipimpinnya, tetapi kehidupan mereka justru menjadi batu sandungan bagi umat. Dosa imam Eli ini sangat fatal. Maka pantaslah jika Allah marah terhadap mereka.
Saudara, walaupun imam Eli berkali-kali menasihati mereka agar mereka menghentikan dosa tersebut, namun sayangnya anak-anak Imam Eli tidak menghiraukan nasihatnya. Sungguh kegagalan yang sangat menyedihkan bukan. Apalagi yang membuat suatu keluarga hancur, selain tidak diperkenankan Tuhan melayaniNya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebab imam Eli sendiri tidak memiliki ketegasan dalam mendidik anak-anaknya. Ini terlihat dari sikapnya yang hanya memberi nasihat, tanpa adanya tindakan untuk mendisiplinkan mereka, sehingga tingkah laku mereka yang jahat semakin menjadi-jadi (ayat 29). Imam Eli hanya mempertanyakan tindakan anak-anaknya, "Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku…" (ay. 23-24).
Kita melihat saudara, sebagai orang tua, imam Eli tidak tegas, imam Eli begitu lembek di dalam mendidik anak-anaknya. Jika kita bandingkan teguran-teguran imam Eli yang terdahulu terhadap Hana (1:14), teguran imam Eli terhadap moralitas anak-anaknya saya rasakan terlalu lemah.
Sebab imam Eli bertindak kompromi dengan kejahatan mereka. Ia memandang kejahatan anak-anaknya sebagai sesuatu yang biasa. Karenanya tidak heran jika tidak ada hukuman yang harus diterapkan, tidak ada didikan yang mengajar untuk membuat anak-anaknya menyadari bahwa tindakan mereka adalah suatu dosa dimata Allah.
Lebih parah lagi, imam Eli terkesan cuci tangan terhadap kesalahan anak-anaknya. Perhatikan ayat 25: ”Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seorang berdosa terhadap Tuhan, siapakah yang menjadi perantara baginya?”
Aneh bukan saudara! Jelas-jelas ia adalah seorang imam, jelas-jelas ia tahu hukum-hukum Allah. Seharusnya tugas dia adalah menegur dosa, menyatakan kesalahan anak-anaknya. Dan membawa kembali ke jalan Tuhan. Tetapi itu ternyata tidak dilakukan imam Eli terhadap anak-anaknya, karena imam Eli menganggapnya sikap mereka sebagai suatu hal yang sepele.
Bapak/ ibu yang kekasih, bagaimana sikap saudara pada saat melihat/ mendengar anak saudara berdusta, mengeluarkan kata-kata kotor, bersikap kurang ajar, nyontek di sekolah, dsb?
Apakah saudara membiarkannya/ tidak memarahinya? Atau, lebih jelek lagi, apakah saudara lalu tertawa, seolah-olah dosa anak itu merupakan sesuatu yang lucu? Kita bersikap membiarkannya. Dan berpura-pura tidak tahu. Ingatlah saudara, bahwa sikap seperti ini pastinya akan membangkitkan kemarahan Tuhan! Tidak adanya ketegasan dalam mendidik anak, merupakan kesalahan yang dipandang oleh oleh Tuhan.
Saudaraku, ada alasan lain yang juga tidak bisa ditolelir oleh Tuhan dari kehidupan imam Eli, dimana Imam Eli secara sengaja turut dalam dosa anak-anaknya dengan memakan daging persembahan yang berlemak, yang diambil dari kedua anaknya dengan paksa (ay 29c). Ia dianggap berkomplot dengan anak-anaknya dalam dosa mereka. Hal ini nampak dari teguran Tuhan yang mengatakan: ”kamu menggemukan dirimu dengan bagian yan terbaik dari setiap korban sajian umatKu Israel?” (1 Samuel 2:29c).
Disini kita melihat walaupun nampaknya Imam Eli memang menegur mereka, namun ia sendiri tidak menunjukkan keteladan akan hal tersebut. Karenanya tidak heran jika kedua anak-anaknya tidak menghiraukan perkataan ayahnya.
Saudaraku, ada seorang ayah yang sedang menasihati anaknya. Dia mengatakan: ”nak kamu harus ingat, kamu tidak boleh merokok, karena itu tidak baik bagi kamu” Ayah ini menasihati anaknya sambil ia sendiri tidak henti-hentinya menghisap rokok. Pertanyaannya, apakah ia sedang menasihati? Tidak saudara! Sebenarnya ia sedang memberikan satu teladan yang buruk terhadap anaknya.
Dalam 2 Timotius 2:24-25 memang dijelaskan bahwa “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan.” Jika kita bandingkan dengan kejadian yang dikisahkan dalam kitab Samuel ini jelas menunjukkan bahwa ada saat dimana seorang hamba Tuhan pun harus marah dan bertindak tegas, terlebih ketika melihat ada dosa!
Demikian pula kita sebagai orang tua, kita pun adalah imam atas anak-anak kita, jika kita sebagai orang tua selalu memanjakan anak-anak dan tidak bisa/ tidak tega mendisiplin anak-anak pada waktu mereka berbuat salah, maka seharusnya kita bercermin dari bagian ini dan melihat kesudahan dari anak-anak iman Eli (2:34 3:13-14 4:11). Kegagalan imam Eli dalam mendidik anak-anaknya dianggap sebagai satu tindakan yang tidak menghormati Tuhan, karena itu Tuhan membatalkan janjiNya terhadap imam Eli.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan
Apabila kita melihat realitas zaman sekarang, anak-anak sekarang pun cukup memprihatinkan, kejadian ini mirip dengan kondisi anak-anak imam Eli. Hal tersebut dapat di lihat dari kondisi mereka saat ini yang cenderung lebih bebas, mereka tidak lagi peduli dengan nilai-nilai moral yang baik. Kelakuan mereka justru cenderung lebih agresif, emosi tidak stabil, dan tidak bisa menahan dorongan nafsu.
Rusaknya moralitas anak-anak muda saat ini, disamping karena factor lingkungan dimana mereka berada dalam masyarakat. Kehidupan mereka juga sebagian lagi dipengaruhi oleh factor pendidikan orang tua yang gagal.
Banyak orang tua menganggap diri bijaksana dengan memberikan “kebebasan” pada anak mereka, yang akhirnya disalahgunakan sehingga penuh kekhawatiran mereka harus menunggu anaknya yang pulang sampai dini hari. Yang akhirnya berujung pada percekcokan dalam keluarga.
Saudara, kita harus mengerti bahwa anak-anak zaman sekarang lebih pintar dan pandai menjawab. Dulu saat orang tua kita menasihati anak-anaknya untuk tidak pulang terlambat, sebagai anak-anak kita pastinya merasa takut dan segera pulang sebelumnya. Tetapi sekarang kondisinya berbeda. Saat kita mengatakan jangan pulang terlambat, yang terjadi adalah anak-anak justru pulang pada jam dini hari.
Karenanya tidak heran saudara, jika anak-anak muda sekarang lebih suka memberontak, karena mereka kehilangan teladan dalam keluarga. mereka lebih suka memilih pergaulan bebas, karena lingkungan mereka menawarkan kebebasan yang mereka butuhkan.
Sex bebas, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, minum-minuman keras, perkelahian antar pelajar, pelecehan seksual, pencurian, geng motor dan lain sebagainya. Yang sangat memprihatinkan, kejadian ini bukan hanya menimpa anak-anak yang tidak mengenal Tuhan, tetapi juga sebagian lagi dilakukan oleh anak-anak dari keluarga Kristen.
Melihat kenyataan ini saudara, kita harus menyadari bahwa mendidik anak-anak di masa modern ini pastinya lebih sulit jika dibandingkan pada masa kita kecil. Dulu waktu kita kecil, ketika orang tua kita berkata: “nak dulu bapakmu ini diajar orangtua begini… begini… begini…, papamu harus nurut, papa harus taat makanya papa bisa menjadi seperti ini.” Tetapi saudara, pernyataan ini tidak bisa langsung diterapkan bagi anak-anak zaman sekarang. Mereka lebih kritis, dalam mencerna informasi. Jika informasi yang mereka dengar tidak sejalan dengan apa yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri, yang ada adalah sikap memberontak terhadap orang tua.
Masalahnya adalah kadang kita bersikap tegas tetapi tidak pada tempatnya. Alhasil bukan disiplin yang terbentuk melainkan pemberontakan. Apa artinya bersikap tegas kepada anak? Bersikap tegas adalah tidak menuruti kehendak atau permintaan anak.
Saudara, kita harus ingat, bahwa anak-anak memang selalu meminta sesuatu pada kita; Tugas kita adalah menentukan kapan menuruti keinginannya dan kapan tidak menuruti keinginannya.
Karena itu saudara, ini adalah tanggung jawab yang berat dalam menyelamatkan generasi anak-anak kita, peran orang tua harus lebih aktif dalam mengajar dan mendisiplinkan anak-anak. Artinya, anak-anak harus kita disiplin dengan jalan yang benar.
Sebagai orang tua, kita harus berani menyatakan bahwa ini salah kalau memang itu salah, dan itu benar kalau memang itu adalah kebenaran. Sambil terus-menerus memberikan teladan yang hidup dalam keluarga kita.
Kemudian, ketika orang tua dikatakan imam dalam keluarga, maka tugas fungsi keimaman dalam keluarga adalah membawa seisi rumah tangga mengalami kehadiran Tuhan, intim dengan Tuhan dan hidup didalam naungan kasih Tuhan. Hal itu dapat dilakukan melalui doa bersama, pujian penyembahan bersama atau membaca firman Tuhan dan merenungkannya bersama.
Jika seorang bapa telah tumpul secara rohani, bagaimana dengan anak-anaknya? Demikianlah yang terjadi dengan anak-anak Imam Eli. Kegagalan atau kesalahan seorang anak kita tidak dapat dilepaskan dari kegagalan kita sebagai orangtua. Kesalahan/ kegagalan Hofni dan Pinehas adalah kegagalan Eli sebagai seorang ayah.
Karena itu, baik dalam gereja maupun keluarga, kalau memang dibutuhkan, kita harus berani bertindak keras terhadap orang yang jelas-jelas berdosa dan tidak mau bertobat!
Apakah imam Eli adalah Imam yang jahat? Menurut saya tidak. Imam Eli adalah Imam yang cukup bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Tuhan juga mendengarkan ucapan imam Eli. Sehingga apa yang dikatakannya terjadi pada keluarga Elkana dan Hana. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa imam Eli sebenarnya tidak sembarangan dalam menjalankan tugasnya sebagai Imam. Dia memperhatikan umat, mau mendengar permasalahan umat. Lalu apa yang menyebabkan anak-anaknya menjadi dursila?
Kemungkinannya adalah imam Eli jarang sekali atau tidak pernah berdoa bagi anak-anaknya. Bandingkan dengan Samuel yang juga tinggal di tempat yang sama. Dia tidak seperti anak-anak imam Eli. Alkitab mencatat dalam 1 Samuel 2:26, bahwa Samuel semakin disukai baik oleh Tuhan dan oleh jemaat. Kenapa bisa begitu? Kita lihat perhatian dari orangtuanya sangat besar terhadap Samuel. Saya yakin setiap hari nama Samuel pasti disebut dalam doa orangtuanya. Dukungan doa yang tidak putus dari Elkana dan Hana membuat Samuel tetap berada di jalan yang benar walaupun berada di dekat anak-anak Eli.
Bagi kita yang sudah dikaruniai anak, marilah kita menyebut nama anak-anak kita satu-persatu di dalam doa pribadi kita setiap hari. Ingat bahwa di sekitar anak-anak kita lebih banyak pengaruh buruk dibandingkan pengaruh baik. Bagaimana kita membentengi anak kita dari pengaruh buruk? Jawabannya adalah dengan DOA.
Dengan demikian saudara, ingat-ingatlah apa yang akan kita perbuat. Jangan hanya lihat jangka pendeknya saja tapi juga pertimbangkanlah akibatnya untuk jangka panjang. Sebelum nasi menjadi bubur, marilah kita kembali mengingat apa yang Tuhan kehendaki bagi anak-anak kita.
Artinya kita tidak boleh meremehkan tugas mendidik anak-anak dan memperhatikan pertumbuhan kerohanian mereka. Tugas kita sebagai orang tua sangatlah penting dalam menentukan masa depan anak-anak kita. Kita mungkin dapat dikenal baik dan memiliki reputasi tinggi di masyarakat, tetapi apa jadinya jika anak-anak kita hidup tidak takut akan Tuhan. Karena Tuhan lebih memperhatikan apakah kita memimpin keluarga kita pada takut akan Tuhan, dibandingkan reputasi kita. Amin

0 komentar:

Posting Komentar