Kamis, 26 Maret 2015

HIDUP BAGI INJIL

HIDUP BAGI INJIL
1 Korintus 9:19-23

Sidang jemaat yang kekasih di dalam Tuhan,
Bulan ini, kita masih berbicara tentang Firman yang Mengajar Hidup Bersosial. Masih ingatkah saudara dengan tema minggu pertama kita? Minggu pertama berbicara tentang “Hidup Saling Membantu”, Minggu kedua kita berbicara tentang “Hidup Yang membawa Dampak bagi Sesama.” Dan Minggu yang lalu kita membahas Keistimewaan Manusia.Namun saya tidak akan mengulang kembali apa yang telah dibahas dalam tiga minggu terakhir itu saudara.
Tetapi maksud saya menyinggung kembali tema-tema kita adalah supaya kita dapat melihat satu rangkaian pembicaraan yang terarah padaFirman Yang Mengajar Hidup Bersosial.
Dan hari ini, kita akan membahas bagaimana seharusnya anak-anak Tuhan dapat Hidup Bagi Injil.Bagaimana Injil dapat dibawa dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk ini?
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Saat orang Kristen berada dalam keragaman masyarakat, kita pasti berupaya agar identitas kristiani kita tetap melekat dengan kuat. Namun kenyataannya, dalam rangka memperta-hankan identitas diri ini, tentu saja tidaklah mudah.
Di dalam suatu pergaulan, orang-orang Kristen menghadapi suatu dilema. Di satu sisi mereka diminta untuk menjadi terang supaya dunia percaya pada Tuhan Yesus dan untuk itu mereka harus bergaul dengan orang-orang yang ada di dunia, sambil berusaha dapat terus menggarami mereka. Tetapi di sisi yang lain orang kristen tidak boleh tercemar oleh dunia.
Masalahnya saudara, keadaan ini semakin menjadi sulit karena masyarakat yang kita hadapi semakin lama semakin majemuk, baik dalam hal kepercayaan, pandangan hidup, serta pada masalah kebiasaan-kebiasaan mereka. Keberagaman dari masyarakat dunia inilah yang pada akhirnya menjadi satu tantangan tersendiri bagi orang-orang Kristen.
Dengan kondisi yang demikian, orang-orang Kristen sebenarnya sedang diperhadapkan dengan semakin banyak-nya perangkap yang dapat mengikis kebenaran iman Kristen.
Hingga yang terjadi pada umumnya saudara, orang Kristen lebih memilih berdiam diri, daripada harus berurusan dengan masalah benturan iman. Orang Kristen menjadi anti atau sulit sekali berbaur dengan orang-orang yang berbeda dari dirinya. Kehidupan yang over protektif ini, bukanlah hal yang dikehendaki oleh Tuhan.
Pada ekstrim yang lain adalah adanya orang Kristen yang mencoba untuk mengadopsi banyak hal dari masyarakat sehingga sadar atau tidak sadar identitas kristianinya menjadi kabur bahkan tidak bisa lagi untuk dibedakan.
Dalam hal inilah seharusnya kekristenan memiliki batasan-batasan yang menjadi prinsip-prinsip penuntun bagi orang-orang Kristen di dalam pergaulannya dengan dunia. Prinsip-prinsip ini terangkum di dalam suatu etika pergaulan Kristen. Apa yang boleh dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan sebagai orang Kristen.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan
Jika kembali kepada pengertian Gereja, Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia. Dan Implikasi dari panggilan yang khusus ini menjadikan Gereja Tuhan harus menjauhkan diri dari sikap “essenis” atau sikap yang menganggap diri paling benar dan suci, dan menganggap yang lain lebih rendah dari dirinya.
Sebaliknya saudara, Gereja seharusnya dapat mulai membangun relasi dengan dunia. Namun yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah relasi yang seperti apakah yang harus dibangun oleh Gereja Tuhan masa kini? Dan bagaimanakah relasi ini dapat dibangun dengan baik tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Alkitab?
Saudara,
1 Korintus 9:19-23 adalah satu pengajaran yang menjelaskan prinsip-prinsip di dalam pergaulan orang percaya ditengah-tengah dunia. Paulus memberikan satu teladan bagi kita bagaimana membawa diri dengan tepat di dalam sebuah keberagaman.
Konteks yang dihadapi oleh Paulus sangat jelas saudara. Dimana, Paulus sedang berbicara mengenai pelayanan-nya di tengah-tengah jemaat Korintus yang juga sangat beragam. Namun dengan Hikmat Allah, Paulus mampu membawa pesan Injil, hingga dapat dengan efektif sampai kepada tiap-tiap golongan yang ada dalam jemaat, baik kepada orang Yahudi dengan hukum Tauratnya yang begitu ketat, kepada orang-orang non Yahudi yang tidak hidup dibawah hukum Taurat. Kepada mereka yang kuat, maupun mereka yang lemah.
Saudara, Rasul Paulus tidak terjebak menjadi seperti orang asingyang tidak bisa didekati, atau seperti orang yang ekslusif ditengah-tengah kehidupan mereka yang lemah maupun yang hidup bebas karena dilihat terlalu kuat dan terikat hukum Taurat. Sebaliknya, Rasul Paulus juga tidak menjadi orang yang diremehkan atau dipandang sebelah mata oleh mereka yang kuat dan taat pada hukum Taurat karena dilihatnya Paulus telah berbaur dengan yang lemah dan yang hidup bebas dari Taurat. 
Ini semua terjadi karena prinsip utamanya adalah Allah. Tujuan keberadaan Paulus ditengah-tengah jemaat yang majemuk adalah supaya ia dapat memenangkan sebanyak mungkin orang dalam Kristus.
 Saudara, sebagai seorang Pengkhotbah yang ternama, sebagai seorang Rasul yang tengah naik daun, Paulus bisa saja memanfaatkan pergaulan yang dia bangun untuk mendapatkan ketenaran atau dukungan di dalam pelayanannya, tetapi itu bukanlah tujuan dari hidupnya. Ia tidak bermaksud mencari keuntungan diri sendiri dari setiap pelayanan yang dikerjakannya. Sebaliknya, tujuannya adalah murni semata-mata karena Allah, dan supaya Injil Allah itu dapat diterima oleh banyak orang.
Karena itu saudara, dengan segala cara Paulus berusaha menjangkau banyak orang, asalkan itu tidak bertentangan dengan aturan tertinggi dalam hidupnya, yaitu pengajaran Kristus.
Dengan demikian, sama seperti Tuhan Yesus, Rasul Paulus ingin mengingatkan kepada kita bahwa Injil seharusnya berlaku untuk siapa saja, dengan latar belakang dan kondisi yang bagaimana pun juga, Injil seharusnya mampu menjawab setiap kebutuhan orang.
Yang berikutnya saudara,
Bagaimana mengetahui batasan-batasan di dalam sebuah pergaulan? Saudara, sekalipun tujuan yang akan dicapai itu adalah mulia, namun jika dilakukan dengan cara yang tidak benar, hasilnya tetap tidak benar.
Demikian pula jika tujuan yang akan dicapai itu adalah salah, walaupun dilakukan dengan cara yang benar, maka hasilnya pun akan salah.
Terlebih lagi jika tujuan yang akan dicapai itu salah, kemudian dilakukan dengan cara yang salah, hasilnya pasti seratus persen salah.
Karena itu yang seharusnya dilakukan adalah kita harus memiliki tujuan yang benar, dan dilakukan dalam cara yang benar, hingga hasil yang kita dapatkan pun adalah benar.
Kembali kepada pembahasan kita, penyesuaian yang dilakukan oleh Rasul Paulus ini bukanlah penyesuaian yang asal-asalan atas segala hal. Dalam usaha menjangkau orang, Rasul Paulus tetap membatasi diri dibawah hukum Kristus. Dengan kata lain, sejauh penyesuaian ini tidak melanggar firman Tuhan maka Paulus akan melakukannya.
Saudara di ayat 19, dijelaskan: Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.
Perhatikan kalimat ini saudara, Paulus menggunakan kata “bebas” sebagai kata pertama dalam penjelasan kalimatnya. Kata ini ditempatkan oleh Paulus sebagai kesimpulan dari ayat 1-18 dengan penekanan yang sangat kuat, bahwa ia bebas dari kebergantungan keuangan dari siapapun.
Dengan tidak menerima kompensasi dari jemaat di Korintus untuk setiap pelayanannya, Paulus dapat bebas dari tekanan yang dapat mengekang kotbahnya.
Namun saudara, walaupun Paulus memberikan penekanan pada kata bebastetapi dia kemudian memberikan pernyataan yang kontras dengan menambahkan bahwa ia menjadikan dirinya sendiri hamba dari semua orang”.
Dari sini kita mendapatkan satu pemahaman bahwa Paulus sedang menerapkan prinsip hidup orang Kristen ditengah-tengah kehidupan sosial yang beragam. Ia meneladani prinsip hidup Tuhan Yesus, yang hidup sebagai hamba dan melayani manusia.
Jadi, apakah sebenarnya yang menjadi tujuan Paulus ketika ia membuat dirinya sendiri menjadi hamba dari semua orang? Saudara, pertanyaan ini dijawab oleh perkataan Paulus di akhir ayat 19, yaitu “supaya dapat memenangkan sebanyak mungkin orang.
Dalam hal ini, Paulus menuliskan kalimat ini sebanyak 5 kali pada ayat 19-22. Hal ini menyatakan satu indikasi bahwa motivasi Paulus untuk melakukan semua ini adalah motivasi yang tulus yang keluar dari hati nurani yang murni hanya demi Kristus. Jadi bukan ada maksud untuk kepentingan diri sendiri.
Yang terakhir, bagaimana langkah menjalin relasi ditengah-tengah masyarakat yang majemuk itu?
Sidang jemaat yang kekasih,
Keberadaannya yang telah menjadi manusia yang baru di dalam Kristus tidak menjadikan Paulus seorang yang eksklusif dan menutup diri terhadap lingkungan disekitarnya, tetapi sebaliknya Paulus membuka dirinya dan memberikan kesempatan untuk terjadi proses pengenalan satu dengan yang lain. Dan strategi yang dilakukan oleh Paulus adalah:
-        Menjadi seperti orang Yahudi bagi orang Yahudi (ayat 20).
-        Menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat bagi mereka yang hidup di bawah hukum Taurat (ayat 20).
-        Menjadi seperti orang yang hidup tidak dibawah hukum Taurat bagi mereka yang hidup tidak di bawah hukum Taurat (ayat 21).
-        Menjadi seperti orang yang lemah bagi mereka yang lemah (ayat 22).
Saudara hidup “menjadi seperti” menunjukkan bahwa Paulus bukanlah orang yang egois. Ia tidak menjadikan orang lain seperti yang ia inginkan, tetapi dia bersedia untuk mengerti orang lain dengan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan latar belakang kepercayaan maupun status sosialnya.
Jadi dalam hal ini sangat jelas untuk kita mengerti bahwa Paulus sebagai hamba Tuhan berusaha sedapat mungkin, memahami orang lain di dalam integritas injil, yaitu segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil” (ayat 23).
Dengan demikian saudara, apa yang dilakukan Paulus bukanlah menye-suaikan injil dengan pandangan pendengar, bukan pula menyesuaikan Injil dengan sinkretisme agama-agama setempat. Tetapi apa yang dilakukan Paulus lebih kepada bagaimana ia menjalin hubungan dan berperilaku diantara mereka sebagai satu kesempatan untuk membagikan berita injil.
Pada ayat 20 dikatakan bahwa bagi orang Yahudi Paulus menjadi seperti Yahudi. Bagi orang yang hidup di bawah hukum Taurat, Paulus menjadi seperti orang yang hidup dibawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup dibawah hukum Taurat.”
Ketika Paulus mengatakan hal ini, ia tidak mungkin memaksudkan arti ini dalam pemahaman etnis, karena secara etnis tidak mungkin Paulus berubah dari orang Yahudi menjadi orang non-Yahudi. Sebaliknya ungkapan ini merujuk pada kebiasaan hidup atau budaya non Yahudi. Misalnya, Paulus sedang membicarakan soal kebiasaan makan, karena memang isu di pasal 8-10 adalah tentang makanan.
Jadi maksudnya adalah di tengah komunitas non-Yahudi, Paulus berusaha mengikuti pola makan mereka. Ia tidak keberatan jika harus membeli bahan makanan di pasar yang pastinya sudah dipersembahkan sebelumnya kepada para dewa (10:25-26). Ia juga tidak menghindarkan diri ajakan orang yang tidak percaya untuk makan di rumahnya karena alasan hati nurani (10:27).
Bagi Paulus, sejak ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya, dia adalah ciptaan baru dan menjadi pengikut Kristus sehingga ia bebas dari tuntutan hukum Taurat.
Saudara, tindakan ini membutuhkan keberanian yang besar dan pemahaman teologis yang kuat. Bagi orang Yahudi, makan bersama orang non-Yahudi merupakan sesuatu yang sangat sensitif, bahkan bisa menimbulkan ketidaknyamanan sehingga mustahil untuk dapat dilakukan (Kisah 10:11-15, 28; Galatia 2:11-14).
Demikian pula cara memasak maupun cara makan orang non-Yahudi tidak mungkin memenuhi standart halal versi Yahudi.
Tetapi bagaimana pun juga, Paulus rela membangun relasi dengan orang non-Yahudi dengan resiko bahwa ia harus merasa tidak terbiasa dan berpotensi untuk disalahpahami orang Yahudi yang lain. Ia bisa saja dianggap sebagai pelanggar Taurat atau orang yang gaya hidupnya plin-plan sesuai pergaulan yang ada.
Selanjutnya ayat 21, Paulus menjelaskan: Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup diluar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus.
Saudara, demi Injil Paulus berani hidup tanpa hukum tetapi ia bukanlah pelanggar hukum. Hal ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting bahwa kebebasan Kristiani di dalam Kristus bukan berarti kebebasan mutlak tanpa aturan sama sekali.Kita yang hidup di dalam Kristus, kita memang tidak hidup di bawah Taurat lagi, tetapi bukan berarti bahwa kita bisa hidup secara sembarangan (Roma 6:14-15).
Pada prinsipnya, orang percaya tidak mungkin hidup tanpa hukum. Justru di dalam Kristus, kita hidup di bawah hukum Allah (1 Korintus 7:19).
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa selalu ada batasan dalam kebebasan Kristiani. Dalam kaitan dengan isu seputar makanan, Paulus pun memiliki batasan yang jelas. Ketika ia menerima undangan makan orang lain dan tindakan itu menjadi batu sandungan bagi orang lain, Paulus lebih memilih untuk tidak meneruskan makan (10:28). Yang terpenting adalah keberatan-keberatan itu bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu sendiri, tetapi keberatan-keberatan hati nurani orang lain” (10:29).
Apa yang dilakukan oleh Paulus bukanlah suatu kemunafikan. Tetapi Paulus memikirkan dua tujuan di sini. Yaitu ia berusaha menghindari kesalahpahaman atau fitnahan orang lain yang sering menuduh dia meniadakan tuntutan hukum (Kisah 21:21; Roma 3:8) untuk menyenangkan hati banyak orang (Galatia 1:10).
Tujuan yang lain, ia juga ingin menegur sebagian jemaat Korintus yang menganggap keselamatan di dalam Kristus sebagai alasan untuk hidup sembarangan (5:1-3; 6:13). Sehingga karena kesembarangan mereka menggunakan kebebasan Kristiani, menjadikan mereka batu sandungan bagi orang lain (8:9).
Di sini terlihat jelas bahwa sesungguhnya Paulus bukanlah orang yang anti dengan hukum Allah sebab dia sendiri adalah pribadi yang hidup di dalam kekudusan dan kebaikan. Tetapi dia juga tidak menginginkan orang yang mengatas namakan hukum, pada akhirnya menghalang-halangi seseorang datang kepada Tuhan.
Hal ini menunjukkan satu hal bahwa dengan kehidupan yang fleksibel dalam hal makanan, pakaian dan lain-lain yang bukan menyangkut hal yang prinsipil, ia dapat memenangkan siapa saja bagi Kristus.
Dalam hal ini kita melihat, bahwa Paulus sebagai pekabar Injil yang besar, yang memenangkan lebih banyak orang bagi Kristus daripada orang lain mana pun, melihat betapa esensialnya hal menjadi segala sesuatu bagi semua orang.
Saudara,
Bagi orang-orang yang belum dewasa dalam iman, mungkin gaya hidup Paulus kelihatannya tidak konsekuen. Tetapi kenyataannya, justru ia sangat konsekuen, karena tujuan yang mendorongnya ialah untuk memenang-kan orang-orang bagi Yesus Kristus.
Hal yang terakhir, diungkapkan Paulus dalam ayat 22, “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah
Bapak/ ibu yang kekasih,
Sekilas kita mungkin berpikir bahwa Paulus sedang membicarakan tentang orang yang lemah secara hati nurani di 8:7-13. Tetapi orang-orang yang lemah di sini adalah orang-orang belum percaya yang memiliki status sosial yang rendah. Orang-orang yang belum diselamatkan. Frase ini didukung dengan pernyataan Paulus yang kemudian, yaitu supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah.
Di sinilah terlihat dengan jelas bahwa kebebasan Paulus dari keterikatan dengan manusia mengijinkannya untuk melayani sebanyak mungkin orang.
Paulus sadar bahwa di mata jemaat Korintus, ia tampak sebagai seorang yang lemah. Gaya berkhotbah Paulus terlihat lemah jika dibandingkan dengan para orator ulung waktu itu, baik dari segi isi, penampilannya, maupun gaya ia berbicara. Karena itu ia mengatakan: Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar.” (2:3).
Saudara, pekerjaan Paulus yang kasar sebagai pembuat tenda ikut menegaskan kelemahannya (4:10-13). Namun, dari semuanya itu, ia lakukan supaya ia dapat memenangkan orang lain yang lemah. Demikian pula dengan jawaban Tuhan kepadanya: Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna" (2 Korintus 12:9). Dari sini Paulus disadarkan bahwa keberhasil-annya dalam menjangkau banyak orang bukan terletak pada kepandaiannya, bukan pula karena jerih lelahnya yang telah dicurahkan, tetapi semata-mata karena kasih karunia Tuhan baginya. Inilah yang membuat dia bersukacita.
Saudara,
Jemaat Korintus sendiri dahulu adalah orang-orang yang lemah menurut ukuran dunia (1:26-28). Namun setelah bersentuhan dengan hikmat duniawi mereka malah merasa diri lebih kuat dan hebat (1:18, 22-23). Kesombongan inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam jemaat, sehingga Paulus berkali-kali perlu mengajarkan kepada mereka bahwa kekuatan sejati adalah kelemahan di dalam Kristus (2 Korintus 11:30; 12:5, 9-10; 13:9). Jika kita lemah, maka kita kuat (2 Korintus 12:10a). Sebaliknya, orang yang merasa teguh berdiri maka ia akan jatuh (1 Korintus 10:13). Sebuah paradoks yang indah, bukan!
Dengan demikian, apa yang diajarkan dan dilakukan Paulus di sini bersumber dari ajaran Tuhan Yesus (1 Korintus 11:1). Kristus mau mengasihi orang yang lemah (Roma 5:6). Ia mau menjadi miskin untuk memperkaya orang lain (2 Korintus 8:9). Ia disalibkan dalam kelemahan, tetapi dihidupkan dalam kuasa Allah (2 Korintus 13:4).
Begitu pula dengan Paulus. Ia belajar menjadi lemah menurut ukuran dunia demi injil yang ia beritakan (2 Korintus 6:8-10). Sukacita Paulus adalah ketika kelemahannya justru dipakai Tuhan untuk menguatkan orang lain (2 Korintus 13:9 “sebab kami bersukacita apabila kami lemah dan kamu kuat).
Berkaitan dengan hal itu, rasul Paulus mengatakan: “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya” (1 Korintus 9:23).
Aplikasi
Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Memahami orang lain demi kepentingan Kristus memang tidaklah mudah. Mengutamakan kepentingan orang lain jelas merupakan tugas yang cukup rumit. Terlebih lagi, menjadi seperti orang lain adalah pergumulan yang paling sulit untuk dilakukan.
Namun bukan berarti hal itu adalah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan, sebab bagaimanapun juga, Allah telah memberikan teladan bagi kita.
Sama seperti Kristus telah rela meninggalkan kemuliaan sorga dan menjadi sama seperti manusia – bahkan lebih hina daripada semua orang ketika ia menanggung kutuk Allah di kayu salib – demikian pula kita harus mau menjadi lemah demi keselamatan orang lain. Belajar merendahkan diri demi kepentingan Kristus.
Sarana untuk menjalani kehidupan bagi Injil adalah melalui pergaulan sehari-hari. Pergaulan dapat dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan kabar baik. Untuk itu pemakaian prinsip-prinsip etika pergaulan Kristen ini akan menolong orang-orang Kristen tidak terjatuh di dalam salah satu ekstrem pergaulan, baik yang mengisolasi diri atau yang membuka diri dan mulai “menjual” kebenaran sebagai bentuk penyesuaian di dalam pergaulan. Tetapi mereka dapat menempatkan diri secara tepat sebagai seorang teman tetapi juga sebagai hamba yang bersaksi bagi Tuhan.
Sebagaimana yang pernah Tuhan Yesus katakan, Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Matius 20:26b-28).
Kita melihat saudara,
Paulus tidak selalu keras dalam hal cara memberitakan Injil, tetapi ia belajar peka terhadap keadaan orang yang hendak dilayaninya serta berusaha menyesuaikan diri agar ia dapat diterima dengan baik dan beroleh kesempatan untuk terus dapat memberitakan Injil. Paulus membangun hubungan yang baik dengan semua orang sebagai pembuka jalan bagi masuknya Injil.
Meskipun demikian, bukan berarti Paulus kompromi dengan cara hidup mereka yang tidak berkenan kepada Tuhan. Penyesuaian diri Paulus hanya terbatas dalam hal-hal yang bukan prinsip atau yang tidak bertentangan dengan Firman. Bukan berarti Paulus tidak punya pendirian, melainkan fleksibel. Pendekatan yang fleksibel adalah strategi untuk memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah. Ia tidak ingin terjebak dalam sikap yang kaku, memaksa atau ekstrem, yang justru dapat menghambat pemberitaan Injil.
Karena itu saudara, dalam membangun kehidupan bagi Injil ditengah-tenagh masayarakat yang kita hadapi saat ini, marilah kita meminta pimpinan Roh Kudus agar memiliki sikap yang bijaksana dalam melayani jiwa-jiwa, bukan dengan kekuatan sendiri! 
Sama seperti Paulus telah mengikuti teladan Yesus yang mau berkorban, demikian pula dengan kita, jika demi Injil kita harus kehilangan hak dan kebebasan, mengapa tidak! Sebab hidup yang sedang kita jalani adalah hidup bagi Kristus. Kiranya apa yang diajarkan firman Tuhan kita kali ini dapat menjadi berkat bagi kita. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar