Jumat, 22 Juli 2016

IMAN DI TENGAH KRISIS

IMAN DI TENGAH KRISIS
Habakuk 3:1-19


Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Keberadaan manusia sepanjang hidupnya tidak pernah lepas dari yang namanya pergumulan. Pergumulan menjadi sebuah sisi lain, selain sukacita yang mewarnai kehidupan manusia. Apakah pergumulan itu sebenarnya? Secara realita, ketika kita berkata bahwa kita sedang bergumul, itu berarti kita sedang berada dalam sebuah masalah. Sebagai orang Kristen, kita cenderung lebih memilih kata “bergumul” daripada kata “masalah”. Hal ini dilakukan bukan hanya sebagai bentuk penghalusan istilah, tetapi juga untuk menjaga identitas kekristenan kita.
Akan tetapi, pergumulan Kristen yang sebenarnya adalah ketika dalam menghadapi suatu persoalan, ia berusaha mencari kehendak Tuhan dalam persoalan tersebut. Jikalau ia tidak menyertakan Tuhan dalam persoalan yang sedang dihadapinya, maka hal itu bukanlah pergumulan.
Persoalannya muncul, ketika orang Kristen diperhadapkan antara kehendak pribadi dengan kehendak Tuhan. Bagaimana menghubungkan kehendak Tuhan dengan kehendak pribadi. Inilah yang seringkali menjadi konflik dalam diri anak-anak Tuhan. Seolah-olah anak-anak Tuhan diperhadapkan dengan benturan kehendak. Kesulitan terbesar anak-anak Tuhan, bukan karena ia tidak melihat jalan Tuhan. Tetapi ia tidak peduli dengan jalan Tuhan.
Saudara,
Seringkali, dalam kehidupan kita, kita tidak ingin kehendak kita dikesampingkan, tetapi di sisi yang lain hati kecil kita berkata “saya mau taat pada kehendak Tuhan”. Sehingga persoalan selalu muncul ketika kehendak Tuhan tidak sejalan dengan apa yang kita pikirkan, kita selalu menjerit dan bertanya, Tuhan mengapa harus yang itu? Melihat jalan Tuhan tidak sejalan dengan pikiran kita, mulai hati kita tidak tenang, kita bergumul dengan benturan kehendak, dan ketika kita memilih untuk tidak taat biasanya kita pergi meninggalkan Tuhan. Kalau kita mau taat kepada Tuhan saudara, bukankah seharusnya kita berkata: “Biarlah kehendakMu yang terjadi Tuhan, bukan kehendakku?” Dari sinilah maka kita akan memperoleh hati yang tenang dan tanpa kesulitan untuk menjalani hidup sesuai kehendak Tuhan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Dalam pembacaan kita kali ini, kita melihat sebuah pergumulan yang di hadapi nabi Habakuk dalam pelayanannya di Yehuda. Pada pasal-pasal sebelumnya dijelaskan, bagaimana nabi Habakuk seakan-akan memprotes kejahatan yang terjadi di lingkungannya, tetapi di sisi yang lain ia juga menjadi heran, mengapa Tuhan Mahakudus seolah-olah tidak bertindak tegas terhadap semua kekacuan yang terjadi (Habakuk 1:2-4).
Kemudian Allah mengilhami Habakuk dan memperlihatkan apa yang bakal terjadi. Tuhan berfirman: “Lihatlah di antara bangsa-bangsa dan perhatikanlah, jadilah heran dan tercengang-cengang, sebab Aku melakukan suatu pekerjaan dalam zamanmu yang tidak akan kamu percayai jika diceriterakan” (Habakuk 1:5). Selanjutnya Tuhan menyingkapkan kepada nabi itu ciri-ciri kedahsyatan dari kerajaan Babel, yaitu orang-orang Kasdim, yang segera akan dikirimNya untuk menghukum Yehuda (Habakuk 1:6-11).
Saudara, rupanya pemberitahuan tentang hukuman Tuhan itu sama sekali di luar dugaan Habakuk. Nabi Habakuk sama sekali tidak percaya kalau Tuhan akan menggunakan bangsa kafir untuk memberi pelajaran kepada umatNya, apalagi itu adalah tentara Babilon yang sangat tersohor kekejamannya. Itulah sebabnya sang nabi berkata kepada Tuhan, “Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kau tetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kau tentukan dia untuk menyiksa” (Habakuk 1:12).
Di pasal 2:1-5 Tuhan menegaskan bahwa sesungguhnya Tuhan tidak berdiam diri melihat kekejaman dan kekerasan manusia. Tuhan bukan berdiam diri atau membiarkan kejahatan Yehuda, tetapi Dia sedang merancang suatu penghakiman yang akan membuat sang nabi tercengang-cengang.
Tampaknya salah satu pola penghakiman Allah adalah menggunakan bangsa kafir yang lebih kuat dan lebih jahat untuk menghukum Israel. Tindakan hukuman seperti itu sudah sering dilakukan Tuhan atas mereka, di samping dengan cara mendatangkan bencana berupa hama yang memusnahkan hasil panen mereka. Kenyataan ini mendatangkan suatu pemikiran pada kita yang hidup di zaman sekarang ini, bahwa Tuhan akan menghukum semua bangsa secara adil, termasuk bangsa Israel, apabila mereka tidak segera bertobat; sebaliknya Tuhan akan memberikan jaminan pemeliharaan kepada orang benar. Karenanya Tuhan menjawab pergumulan Habakuk dengan berkata: "Orang yang jahat tidak akan selamat, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah akan hidup karena kesetiaannya kepada Allah" (Habakuk 2:4).
Dengan demikian bapak/ ibu yang kekasih,
Orang percaya yang sungguh-sungguh sejatinya tidak akan dihukum oleh Tuhan. Karena itu masuk dalam pasal 3 ini, Habakuk berdoa agar Tuhan menggenapi rencanaNya di tengah-tengah bangsa yang tertindas. Dengan demikian, jika kita perhatikan Kitab Habakuk ini, maka kitab ini sangat sarat dengan doa seorang nabi Habakuk yang dipanjatkan kepada Tuhan, sekaligus juga sebuah bentuk nyanyian (3:1). Pasal ini lebih merupakan sebuah tanggapan Habakuk atas jawaban Allah dalam pasal 2. Bahwa di tengah-tengah dosa dunia dan hukuman Tuhan, dia telah belajar untuk hidup dengan iman kepada Allah dan mengandalkan kebijaksanaan jalan-jalan Tuhan.
Dalam keseluruhan perikop ini kita melihat bahwa Ia berdoa agar dalam masa kesesakan itu, Tuhan tetap menyatakan kasih sayangNya, sehingga mereka dapat bertahan dalam berbagai pencobaan. Di ayat ke-2 ia berkata: Tuhan telah kudengar kabar tentang Engkau, dan pekerjaanMu, ya Tuhan kutakuti! Hidupkanlah itu dalam lintasan tahun, nyatakanlah itu dalam lintasan tahun; dalam murka ingatlah akan kasih sayang!Dari sini kita melihat, sebagai seorang nabi Habakuk sadar bahwa yang diperlukan oleh dirinya dan bagi segenap umat Yehuda ialah suatu kebangunan rohani. Dan itu harus dimulai dengan kesadaran akan menjalin relasi yang intim bersama dengan Tuhan. Tanpa hal itu semuanya adalah kesia-siaan. Demikian juga dengan kehidupan kita. Tuhan menginginkan anak-anakNya berhasil dalam perjuangan membangun iman. Akan tetapi iman itu harus dibangun dalam persekutuan yang erat denganNya. Karena dengan berbuat demikian, maka iman kita dapat menghasilkan buah.
Janji keselamatan Tuhan diteguhkanNya dalam ayat 3-4, "Allah datang dari negeri Teman dan Yang Mahakudus dari pegunungan Paran. KeagunganNya menutupi segenap langit, dan bumi pun penuh dengan pujian kepadaNya. Ada kilauan seperti cahaya, sinar cahaya dari sisiNya dan di situlah terselubung kekuatanNya.” (Habakuk 3:3-4).
Penglihatan-penglihatan yang dilihatnya itu menimbulkan perasaan gentar bercampur keyakinan dalam hati Habakuk. Ia berkata, "Ketika aku mendengarnya, gemetarlah hatiku, mendengar bunyinya, mengigillah bibirku; tulang-tulangku seakan-akan kemasukan sengal, dan aku gemetar di tempat aku berdiri; namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami,” (Habakuk 3:16).
Dari sinilah timbul suatu iman yang luar biasa dari Habakuk. Iman yang demikian bukan sekedar percaya, tapi mengandung unsur kesetiaan dan ketaatan yang teguh. Dari sini kita pahami bahwa iman bukan sekedar doktrin yang dipercayai, tapi adalah cara hidup seutuhnya. Iman adalah keter-gantungan sepenuhnya kepada Tuhan setiap saat.
Dalam Ibrani 11:1 dijabarkan mengenai definisi iman. Dikatakan bahwa, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
Dari nas firman ini, kita memahami bahwa Iman berarti kita bersandar pada keselamatan yang telah digenapkan oleh Tuhan Yesus. Maka iman adalah dasar yang paling penting dalam kekristenan. Iman jugalah yang membedakan kekristenan dari agama-agama lain. "Tanpa iman tak seorang pun bisa diperkenan Tuhan" melalui iman kita menang atas dunia ini.
Pengharapan berasal dari iman kita kepada kesetiaan Tuhan. Dengan kata lain, kesetiaan Tuhan adalah dasar dari pengharapan kita, dan janji Allah yang didasarkan atas kesetiaanNya adalah jaminan bagi pengharapan kita. Karena iman, kita menang atas dunia ini, karena pengharapan kita dimampukan untuk mengarahkan pandangan kita pada dunia yang lain. Maka setelah kita beriman, kita segera masuk pada tahap pengharapan. Dengan kata lain, iman menghasilkan pengharapan dan pengharapan membawa kita mengarah pada hal-hal kekekalan. Dengan demikian, iman memampukan kita menang atas dunia ini dan pengharapan memampukan kita melintasi dunia ini dan melihat akan dunia yang ada di sana. Itulah yang membuat kita tidak terlalu mengutamakan dunia yang nampak ini.
Dalam 1 Korintus 13:13 berkata: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar diantaranya ialah kasih.” Dari sini kita pahami, bahwa dengan Iman dan pengharapan memampukan kita melalui hidup rohani yang melampaui hidup di dunia ini. Baru setelah itu timbul hal yang ketiga yaitu kasih. Jadi setelah kita mempunyai iman, kita mampu menang atas dunia ini. Setelah kita memperoleh pengharapan, kita mampu melihat dunia yang ada di atas dunia ini dengan jelas. Setelah kita memiliki kasih, kita mampu menoleh ke belakang untuk memulihkan dunia ini. Kita patut bersyukur kepada Tuhan yang memberikan hikmat seperti ini. Tidak ada satu agama pun yang sanggup mengungkapkan unsur rohani yang lebih jelas daripada apa yang diungkapkan oleh Alkitab. Belum pernah ada satu filsafat yang mengajarkan kepada kita tentang intisari hidup rohani yang begitu limpah. Siapakah orang Kristen? Orang Kristen adalah orang yang beriman kepada Allah. Siapakah orang Kristen? Orang Kristen adalah orang yang memandang kehendak Allah dari tempat yang jauh.
Sebab itu, bagi orang Kristen, baik hidup atau mati, baik hidup yang sekarang ataupun hidup yang akan datang, baik yang nampak ataupun yang tidak nampak, kita sudah menang bahkan menang dengan gemilang atas semua itu. Karena tak seorang pun sanggup memisahkan kita dari kasih Allah, kasih yang berada di dalam keselamatan Yesus Kristus. Dengan demikian, orang Kristen adalah orang yang berpengharapan.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Ayat 17-19 lebih merupakan kesaksian Habakuk tentang konsep syukur. Ia bersyukur bukan karena telah diberi berkat, tetapi karena ia tahu siapa Allah yang ia layani itu. Untuk itu walaupun ia berada ditengah-tengah hukuman Allah atas Yehuda, Habakuk tetap memilih untuk bersukacita di dalam Tuhan. Allah akan menjadi Juruselamatnya dan sumber kekuatan yang tak putus-putus. Keyakinannya yang teguh membawa ia kepada suatu pengharapan yang pasti, bahwa kemenangan terakhir akan datang bagi semua orang yang hidup oleh iman kepada Allah (Habakuk 2:4)
Dikatakan dalam ayat 17-19: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi)” (Habakuk 3:17-19).
Kita melihat sebuah iman yang lahir ditengah-tengah krisis, dimana saat semua harapan dari hasil pertanian mengecewakan. Harapan atas hasil peternakan pun mengecewakan. Tetapi harapan satu-satunya yang tidak mengecewakan adalah kasih penyertaan Tuhan. Karena itu tekad Habakuk sangat jelas bahwa ia akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, (Habakuk 3:18a), ia mau tetap bersorak-sorak walaupun sedang terpuruk dan sangat kecewa, Ia tetap mengimani dan selalu percaya bahwa rancangan Allah bukanlah rancangan buruk melainkan rancangan yang terbaik. Inilah yang seharusnya terjadi dalam kehidupan anak-anak Tuhan, dimana kita harus senantiasa mengucap syukur dalam segala waktu. Sebab itulah yang dikehendaki Allah (1 Tesalonika 5:18).
Saudara, “Allah akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir (Pengkhotbah 3:11). Nabi Habakuk meyakini Allah memiliki rencana indah dibalik pencobaan ini, Beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. (Habakuk 3:18b).
Inilah yang dimaksud dengan sukacita karena Iman, melihat segala sesuatu dalam perspektif iman, segala sesuatu yang buruk itu belum final tapi proses dan dibalik semua pergumulan yang tengah kita hadapi ada sesuatu yang indah dan lebih besar di dalam rencana Allah. Mengimani bahwa hidup kita senantiasa dalam skenario Tuhan, karena Tuhan adalah sutradaranya, dan Tuhan merencanakan semuanya baik
Teks ini juga mengajarkan kepada kita agar bersukaria dalam Allah walaupun ketika setiap insting dalam tubuh kita menjerit penuh duka. Sekalipun diingatkan sepenuhnya tentang kekejaman yang akan terjadi, Habakuk mengalami suatu sukacita kudus, yaitu kemampuan ilahi untuk bersukacita di dalam Tuhan. Sasaran dari sukacitanya adalah Allah Juruselamatnya.
Ada hal-hal yang lebih abadi dan lebih penting dari pada dunia sementara ini. Kita harus pahami bahwa sejarah berada di luar kendali dan tak seorang pun yang tahu semua ini akan berakhir di mana. Karena sesungguhnya Allah-lah yang berada di balik jalannya sejarah, Ia yang mengendalikan-Nya dan Ia tahu ke mana sejarah ini akan berakhir.
Dasar dari sukacita sejati ini adalah Tuhan sendiri yang adalah penyedia keselamatan orang beriman.  Sumber sukacita sejati datangnya tidak lain hanyalah dari Tuhan sendiri yang bekerja dalam hati yang penuh syukur dan penyerahan total kepada kedaulatan Tuhan.
Nabi Habakuk memberikan kesaksian hidup bahwa ia melayani Tuhan bukan karena diberi berkat, tetapi karena Tuhan adalah segalanya bagi dirinya yang harus disembah dan ditaati.   Di tengah penghukuman Allah atas Yehuda, Habakuk masih tetap dapat bersukacita dan berharap sepenuhnya kepada Tuhan. Dari sini kita dapat belajar:
Kita patut menyadari bahwa Tuhan berdaulat atas kehidupan kita. Kehidupan yang sedang kita jalani adalah sebuah kehidupan yang didalamnya Tuhan merancangkan sesuatu yang baik bagi umat-Nya. Tinggal bagaimana kita meresponi rancangan Tuhan itu dengan cara yang benar.
Keraguan Habakuk tentang sikap Allah terhadap dosa Yehuda terjawab setelah Allah menyatakan niat-Nya untuk menghukum umat itu. Di sini nabi itu belajar bahwa Tuhan tidak pernah bertindak terlambat ataupun terlalu cepat dalam berurusan dengan manusia. Demikian pun dengan kita. Pertolongan Tuhan tidak pernah kurang panjang untuk menolong umat yang dikasihi-Nya.
Di saat-saat hidup mengikuti Tuhan penuh dengan kesulitan dan tantangan, pandanglah pada Tuhan Yesus. Dia telah mengurbankan diriNya di kayu salib untuk mengalahkan musuh-musuhnya dan memberi kemenangan bagi kita, umatNya. Jangan pernah putus harap dan menyerah pada keadaan sebab, pada saatNya Dia akan mengubah ratapan kita menjadi sukacita. Jangan gentar karena situasi yang meresahkan di sekitar kita, tetapi takjublah karena Dia selalu hadir dan berkarya dalam peristiwa segelap apapun.
Melalui nabi Habakuk, Allah mengajarkan kepada kita tentang doktrin keselamatan yang berlaku secara universil dan abadi, yaitu bahwa setiap orang akan “hidup oleh percaya” atau “diselamatkan oleh iman.” Sebaliknya, Tuhan tidak berkenan pada orang yang menyombongkan kebenarannya sendiri. Kesombongan adalah salah satu kebencian di mata Tuhan (Amsal 6:16-17), tetapi orang yang rendah hati dimahkotai Allah dengan keselamatan (Mazmur 149:4). Sebab orang-orang yang rendah hati itu mudah diajar (Mazmur 25:9), dan mereka mengandalkan perlindungan dalam nama Tuhan (Zefanya 3:12). Dengan demikian, kita belajar untuk mengerti kehendak Tuhan bukan menuntut-Nya. Kiranya Tuhan Yesus memberkati.

0 komentar:

Posting Komentar