Senin, 22 Agustus 2016

KEBEBASAN YANG BERTANGGUNG JAWAB

KEBEBASAN YANG BERTANGGUNG JAWAB
1 Korintus 10:23-33


Kaum muda yang saya kasihi dalam Tuhan,
Hari rabu yang lalu kita memperingati hari Kemerdekaan Negara kita yang ke-71. Artinya 71 tahun yang lalu bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya kepada seluruh dunia sebagai sebuah bangsa yang bebas dari segala bentuk penjajahan. Itu juga berarti bahwa sudah 71 tahun bangsa Indonesia hidup di dalam kemerdekaan yang dianugerahkan Tuhan bagi kita.
Namun pertanyaan bagi kita, apakah arti kemerdekaan yang sesungguhnya? Saudara, banyak orang mengira bahwa kemerdekaan berarti bebas berbuat apa saja, sesuka hati tanpa lagi perlu mempertimbangkan apa-apa. Kemerdekaan seringkali dimengerti sebagai sebuah kebebasan yang seluas-luasanya tanpa lagi mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma. Benarkah arti kemerdekaan yang demikian? Ternyata tidak saudara!
Kemerdekaan yang sesungguhnya bukanlah demikian, ketika kita menyuarakan sebuah aspirasi tentunya bukanlah sebuah hal yang salah. Akan tetapi menjadi salah apabila aspirasi yang kita sampaikan kita sampaikan dengan cara yang tidak benar. Sebuah kemerdekaan tanpa adanya rambu-rambu yang jelas justru akan membahayakan kelangsungan hidup bahkan bisa menghancurkan, bukan saja diri kita sendiri tetapi juga orang banyak atau bahkan negara.
Begitu pula ketika kita menjalankan sebuah kepentingan. Kemerdekaan yang dijalankan atas kepentingan pribadi atau golongan dan tidak lagi memperhatikan kepentingan orang banyak hanya akan menimbulkan banyak masalah. Bayangkan saudara, jika setiap orang merasa dirinya adalah yang paling benar dan paling berhak menghancurkan yang tidak sepaham dengan mereka, apa jadinya dunia ini? Padahal, dunia ini adalah sebuah anugerah Tuhan yang dititipkan kepada manusia. Kita yang tinggal di dalamnya diijinkan untuk menikmatinya. Karena itu kita harus ingat bahwa ada tugas penting bagi kita untuk mengelola bumi dengan segala isinya dengan sebaik-baiknya, dan itu sudah digariskan Tuhan sejak pada awal penciptaan. (Kejadian 1:26, 28). Karena itu, tanda kedewasaan adalah apabila kita mengimbangi kebebasan kita dengan tanggung jawab; kalau tidak, maka kebebasan itu bukan lagi kebebasan melainkan kekacauan, pelanggaran hukum.
Kaum muda yang saya kasihi,
Kebebasan bukanlah berarti kita bisa melakukan apapun dengan seenaknya. Sebuah kebebasan seharusnya bisa dipertanggungjawabkan dan dipakai untuk tujuan-tujuan yang positif. Sebuah kebebasan seharusnya membuat kehidupan di muka bumi ini semakin damai dan sejahtera, bukannya semakin hancur tidak karu-karuan. Seperti apa bentuknya? Tampaknya, masalah salah kaprah dalam menyikapi kebebasan dan kemerdekaan bukan saja menjadi isu bagi manusia di jaman sekarang ini, akan tetapi masalah ini sudah berlangsung sejak dahulu kala.
Saudara, sebagai seorang yang baru lahir baru, mungkin kita akan diperhadapkan dengan situasi yang dapat membuat kita bingung untuk memilih. Kita menjadi ragu kekristenan yang sedang kita jalani memperbolehkan kita melakukan hal-hal itu atau tidak. Kalau jelas-jelas kita tahu bahwa hal itu adalah dosa, maka sudah pasti jawabannya tidak boleh dilakukan. Tetapi bagaimana kalau masalah itu belum jelas, atau kurang jelas, karena hal itu belum diajarkan. Apakah kita boleh atau tidak, melakukan hal-hal itu? Bagaimana seharusnya sikap kita? 
Kaum muda yang kekasih dalam Tuhan,
Jemaat di Korintus pada abad pertama juga pernah mengalami kebingungan yang serupa. Sebagai orang-orang Kristen yang lahir baru, mereka menjadi bingung dengan kebiasaan yang terjadi disekitar mereka tinggal, secara khusus berkenaan dengan makanan. Di kota Korintus, daging-daging yang diperjual-belikan di pasar-pasar kebanyakan berasal dari korban persembahan di kuil-kuil berhala yang mereka lakukan. Sehingga kenyataan ini menimbulkan pertanyaan dari sebagian jemaat yang sudah percaya. Di samping itu, terkadang mereka pun diundang makan oleh sanak-keluarga atau teman-teman yang masih mengadakan penyembahan kepada berhala. Dalam kondisi ini, mereka jadi bertanya-tanya: “Apakah orang Kristen boleh beli daging di pasar?” Kalau “tidak”, apa yang harus dilakukan? Dan kalau “ya” bagaimana harus menjelaskan kepada orang-orang Kristen yang lain. Belum lagi masalah, “Kalau diundang makan, apakah boleh makan semua hidangan atau harus mengadakan pemeriksaan dulu?”
Saudara, mari kita melihat bagaimana Firman Tuhan mengajarkan hal ini kepada kita. Dalam 1 Korintus 8:4-7, Rasul Paulus menuliskan bahwa berhala bukan Allah. Karena itu apa yang sudah dipersembahkan kepadanya tidak dapat merubah makanan untuk mendatangkan keuntungan ataupun kerugian bagi kita (1 Korintus 8:8). Dalam hal ini, orang percaya dapat menikmati di rumahnya sendiri daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Sekalipun daging yang dibeli di pasar sebenarnya berasal dari kuil berhala (karena sering terjadi demikian), namun tidak akan membahayakan dia.
Demikian pula dengan orang Kristen yang diundang sebagai tamu di rumah orang yang belum percaya. Jika orang kristen itu merasa ingin pergi (Paulus menganggap keputusan ini bukan suatu hal yang penting sekali), maka ia harus memakan apa saja yang dihidangkan kepadanya tanpa bertanya apa-apa. (1 Korintus 10:25-27). Tetapi jika secara sengaja mereka memberitahukan kepada kita sebagai orang Kristen bahwa daging itu adalah bagian dari sebuah kurban, dan kita ragu untuk memakannya, maka tidak boleh memakannya.
Kita harus ingat akan firman Tuhan yang dituliskan dalam 1 Timotius 4:4-5, “Semua yang diciptakan Allah itu baik dan tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa.” Walaupun demikian, Paulus menasehati umat agar menggunakan kebebasan untuk makan makanan itu dengan penuh tanggung jawab. Bila makanan itu menjadi batu sandungan bagi orang lain, maka janganlah memakannya (1 Korintus 10:28). Dari sini kita pahami bahwa Paulus menuntut agar seorang Kristen dari Korintus harus menjadi contoh yang baik bagi orang-orang Yahudi. Bahkan bagi musuh-musuhnya, seseorang harus menjadi contoh dalam hal-hal yang baik.
Saudara, kita bisa belajar dari apa yang dikatakan Paulus dalam surat 1 Korintus pasal 10. Dalam perikop ini, kembali dijelaskan bagaimana melaksanakan kebebasan Kristen dengan penuh tanggung jawab.
Ada prinsip-prinsip kebenaran yang jelaskan Paulus dalam bagian ini, yang dapat kita jadikan patokan untuk mengukur sebuah kebebasan:
Pertama, Kebebasan bukan berarti kesewenang-wenangan. Dikatakan: “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna; “segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Korintus 10:23). Perhatikan frasa “segala sesuatu diperbolehkan.” Frasa ini diulang Paulus sebanyak dua kali, yang menyatakan sebuah slogan dunia tentang sebuah kebebasan. Akan tetapi masalahnya, kebebasan yang sesungguhnya bukan berarti sebuah kesewenang-wenangan. Kekristenan tidak pernah mengajarkan bentuk kebebasan yang seperti ini. Penilaian Kristiani terhadap nilai-nilai kebebasan itu sendiri adalah “bukan segala sesuatu berguna.” Dari sini kita pahami bahwa sorotan utamanya tentang sebuah kebebasan adalah apakah segala sesuatu itu berguna bagi kelangsungan tubuh Kristus atau tidak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi ujian atas semua yang dilakukan atau dikatakan orang percaya. Bahwa kebebasan seseorang di dalam Kristus tidak boleh menyakiti orang yang lain untuk siapa Kristus telah mati (Roma 14:15).
Dengan kata lain, yang bisa kita jadikan sebuah dasar pertimbangan dalam menyikapi kebebasan, yaitu: apakah kebebasan itu bermanfaat bagi kita dan sesama atau tidak? Lalu berikutnya, apakah kebebasan yang kita peroleh itu membangun kehidupan kita atau tidak? Apakah itu memberkati kota dimana kita tinggal atau justru malah membuatnya semakin kacau? Ini penting saudara untuk kita sikapi dalam alam kebebasan. Sebab apalah gunanya kita melakukan segala sesuatu jika hal itu malah membuat kita semakin menjauh dari Tuhan, semakin menghancurkan hidup kita atau menyengsarakan orang lain? Apakah kita harus tega menghancurkan hidup orang lain hanya demi memuaskan hasrat yang ada dalam diri kita? Itu bukanlah gambaran sikap yang diinginkan Tuhan dalam memberikan kemerdekaan atau kebebasan bagi umatNya. Dengan demikian, kita mempunyai tanggung jawab terhadap sesama kita orang kristen di dalam jemaat (1 Korintus 10:23-30). Kita bertanggung jawab untuk membangun orang lain dalam iman dan memperhatikan kepentingan mereka. Kita dapat melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Allah hanya ketika kita mengingat kewajiban yang harus kita tunaikan terhadap sesama kita; dan kita dapat melakukan hal itu hanya ketika kita mengingat bahwa kebebasan kita sebagai orang Kristen diberikan kepada kita bukan untuk kepentingan diri kita sendiri melainkan untuk kepentingan orang-orang lain.
Kedua, Jangan mengambil keuntungan dari kebebasan yang kita peroleh untuk kepentingan diri sendiri. Dikatakan: "Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain" (ay 24). Setiap yang disebut manusia selalu terdiri dari dua kepentingan, yaitu kepentingan individu yang termasuk kepentingan keluarga, kelompok atau golongan dan kepentingan masyarakat yang termasuk kepentingan rakyat. Dalam diri manusia, kedua kepentingan itu satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu kepentingan tersebut hilang dari diri manusia, maka dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan. Jika kepentingan individu yang hilang, maka ia akan lupa akan tugasnya terhadap keluarga. Tetapi jika kepentingan masyarakat yang banyak itu hilang, yang timbul adalah keserakahan. Dalam hal ini sepertinya manusia selalu diperhadapkan dengan sebuah dilema keputusan. Kalau begitu mana yang harus didahulukan?
Dalam kekristenan sangat jelas ditekankan bahwa sebuah kebebasan yang kita miliki seharusnya tidak dipakai untuk kepentingan diri sendiri, tetapi melihat apa yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Orang Kristen dewasa menempatkan kesejahteraan orang lain di garis terdepan, baru kemudian kesejahteraan diri sendiri. Dengan demikian, marilah kita pikirkan bersama segala sesuatu yang kita lakukan sehari-hari: Apakah itu memberkati orang lain atau malah mengganggu? Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang kita anggap baik bagi diri kita tetapi itu mengganggu kepentingan orang lain atau bahkan merugikan mereka. Hal ini sejalan dengan firman Tuhan yang dinyatakan dalam Filipi 2:4 yang mengatakan: “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Ketiga, Kebebasan yang sejati seharusnya dapat memuliakan nama Tuhan. Dikatakan: "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah" (1 Korintus 10:31). Ini adalah prinsip universal yang berlaku di setiap area kehidupan orang percaya. Perhatikanlah bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk memuliakan Allah, Sang Pencipta kita dalam segala sesuatu yang kita lakukan. Memaksakan kehendak dengan cara-cara yang tidak baik, memusuhi orang lain, menghakimi, memupuk dendam, berusaha membalas kejahatan dengan kejahatan dan lain-lain akan membuat kita justru menjadi batu sandungan yang malah akan mempermalukan Allah.
Kita tidak dapat memuliakan Allah dengan membuat orang Kristen yang lain tersandung. Tentu saja, hati nurani ita sendiri mungkin cukup kuat untuk mengambil bagian dalam suatu kegiatan tanpa membahayakan diri kita. Tetapi kita janganlah berani memakai kebebasan kita di dalam Kristus dengan cara apa saja yang dapat melukai teman kita sesama Kristen.
Sebaliknya ada tanggung jawab ketiga yang berhubungan dengan kedua tanggung jawab yang pertama: yaitu kita bertanggung jawab untuk berusaha memenangkan orang-orang yang tersesat (ayat 32-33). Kita tidak boleh mempersulit orang Yahudi atau pun orang bukan Yahudi untuk percaya kepada Tuhan, atau mempersulit anggota jemaat yang lain dapat bersaksi bagi Tuhan.  
Sebuah kesimpulan yang manis dalam menyikapi kebebasan bisa kita baca dalam surat Galatia. "Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih." (Galatia 5:13). Jangan pergunakan kemerdekaan atau kebebasan seenaknya sehingga kita merasa wajar untuk hidup dalam dosa, tetapi hendaklah itu kita pergunakan untuk melayani atas dasar kasih. Alangkah pentingnya memiliki kasih sejati dalam hidup kita, yang akan mampu membuat pola pikir kita berbeda dari pola pikir dunia terhadap arti sebuah kebebasan. Demikian pula yang dikatakan oleh Rasul Petrus: "Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah." (1 Petrus 2:16). Sebuah kehidupan yang merdeka seharusnya dipakai untuk menjadi hamba Allah, yang akan memuliakanNya lebih lagi, dan bukan untuk berbuat berbagai kejahatan yang akan menghancurkan diri kita sendiri, keluarga kita dan orang lain. Dalam Kristus kita sudah menjadi ciptaan baru, dengan pola pikir yang seharusnya baru pula yang akan memampukan kita untuk menyikapi kebebasan dengan rasa penuh tanggung jawab. Kebebasan diberikan kepada kita bukan untuk membuat segalanya semakin buruk, tetapi justru agar kehidupan manusia bisa semakin baik. Meski mungkin dunia masih berpikir berbeda, janganlah kita malah ikut-ikutan.
Mari nyatakan bagaimana bentuk kebebasan yang semestinya seperti apa yang dikatakan firman Tuhan. Inilah saatnya untuk menunjukkan bagaimana cara menyikapi kemerdekaan yang sebenarnya dengan penuh tanggungjawab seperti yang dikehendaki Tuhan. Kemerdekaan harus melayani kepentingan orang lain dalam melayani Injil. Dalam pengertian tersebut, Paulus sendiri adalah model, teladan dari orang Kristen yang benar-benar merdeka: “jadilah pengikutku, sama seperti aku menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1).
Dari sini kita melihat, bahwa cara kita memakai kebebasan kita dan berhubungan dengan orang lain menunjukkan apakah kita sudah dewasa di dalam Kristus. Orang-orang Kristen yang kuat dan yang lemah imannya perlu bekerjasama dalam kasih untuk saling membangun dan memuliakan Yesus Kristus. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar