Kamis, 02 Oktober 2014

BUTA ATAU CELIK ROHANI?


BUTA ATAU CELIK ROHANI?
Yohanes 9:1-7, 18-41


Bapak/ ibu yang kekasih didalam Tuhan,
Hari ini, banyak orang yang matanya sehat secara fisik, tetapi ternyata mereka buta secara rohani, sehingga mereka tidak dapat melihat keajaiban karya-karya Tuhan disekitar mereka. Hal yang sama juga rupanya dialami oleh beberapa orang Farisi ketika berhadapan dengan orang yang buta sejak kecil yang disembuhkan oleh Tuhan Yesus (15, 25, 30).
Peristiwa ini terjadi usai Tuhan Yesus berselisih faham dengan orang-orang Yahudi mengenai asal muasal Tuhan Yesus. Pada saat Tuhan Yesus berjalan meninggalkan bait Allah, Ia melihat seorang yang buta sejak lahir duduk dipinggir jalan.
Apa yang dilakukan oleh orang buta itu saudara? Di zaman itu saudara, orang-orang yang mengalami kebutaan, hanya mampu mengerjakan pekerjaan mengemis, dan itu juga yang sedang dilakukan orang ini ketika Yesus sedang lewat (9:8).
Ketika murid-murid melihat orang buta ini, mereka tidak memandang orang buta itu sebagai obyek belas kasihan, melainkan lebih sebagai subyek pembahasan teologis.
Makanya tidak heran jika pertanyaan yang muncul bukanlah “apa yang dapat kita berikan bagi orang itu?” Sebaliknya murid-murid bertanya, “siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya?” Kenyataannya memang, jauh lebih mudah dan menarik, untuk membahas subyek yang abstrak seperti “dosa” daripada melayani suatu kebutuhan nyata dalam hidup seseorang.
Murid-murid begitu yakin bahwa kebutaan orang itu sejak lahir disebabkan karena dosa. Entah itu karena dosanya atau dosa orang tuanya, namun Yesus tidak sependapat dengan apa yang mereka pikirkan. Karenanya Tuhan Yesus segera bertindak untuk menyembuhkan orang buta itu, dengan caraNya yang unik.
Kenyataannya ketika orang itu kembali dari membasuh dirinya di kolam Siloam, ia mendapati matanya sudah celik. Dan itu membuat sukacita yang tidak tertahankan.
Namun rupanya saudara, kesembuhan yang dialami orang buta itu justru menimbulkan permasalahan baru dikalangan orang-orang Yahudi saudara. Bukan saja karena kesembuhan itu dilaksanakan pada hari sabat, akan tetapi mereka juga mempermasalahkan mengenai cara penyembuhan itu sendiri.
Mereka semua mengajukan pertanyaan yang salah! Mereka seharusnya tidak bertanya “Bagaimana?” melainkan “Siapa?
Inilah yang cenderung terlintas dalam benak kita saudara. Kita cenderung bertanya “Bagaimana?” Karena kita lebih tertarik untuk memahami bagaimana suatu mujizat bekerja daripada percaya saja kepada Sang Juruselamat, yang dapat melakukan mujizat itu.
Hal inilah yang juga dilakukan oleh Nikodemus saat bercakap-cakap soal kelahiran baru. Ia bertanya, “Bagaimana mungkin ia dapat masuk lagi ke dalam Rahim ibunya” (band Yohanes 3:4,9). Atau ketika orang-orang Yahudi mempermasa-lahkan mengenai konsep roti hidup yang diajarkan Tuhan Yesus, mereka bertanya “Bagaimana Ia ini dapat memberikan dagingNya kepada kita untuk dimakan?” (Yohanes 6:52).
Sekali lagi, ketika orang-orang Farisi melihat kesembuhan yang terjadi pada orang yang buta itu, mereka bukannya bersyukur atas mujizat yang terjadi, atau melihat Yesus bukan sebagai manusia biasa. Karenanya hingga empat kali orang-orang Farisi itu terus-menerus menanyakan “Bagaimana Ia membuat matamu dapat melihat?” (Yohanes 9:10, 15, 19 dan 26).
Saudara bisa kita bayangkan, bagaimana rasanya perasaan orang buta itu yang telah kehilangan kesabaran. Ia tahu bahwa kebutaannya adalah bawaan sejak lahir, sehingga ketika mujizat itu terjadi, peristiwa itu adalah moment berharga baginya. Kalau kebutaan yang diakibatkan oleh penyakit atau kecelakaan mungkin bisa saja sembuh dengan tiba-tiba atau dengan melakukan operasi, tetapi tidak demikian dengan kebutaan yang dialami sejak lahir saudara.
Pastinya pada saat ia mendapati matanya sudah celik, ia berharap ada begitu banyak yang bisa ia lihat. Ia akan berusaha menikmati apa yang ia lihat dalam kehidupannya, ketimbang harus berlama-lama berada dalam pengadilan rumah ibadat, dan melihat wajah-wajah yang marah serta menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Faktanya, kini ia telah menjadi sembuh. Dan hal ini mendapat dukungan dari para saksi mata, baik dari orangtuanya yang mengetahui kebutaannya sejak lahir ataupun para tetangga yang tinggal disekitar dia (8-12, 20).
Namun lagi-lagi kita melihat, para pemimpin agama tidak mau percaya bahwa orang itu tadinya buta dan bahwa Yesus telah menyembuhkan dia. Mereka sebaliknya menuduh Yesus sebagai pelanggar hari Sabat (16) dan orang berdosa (24).
Yang terjadi adalah orang-orang Farisi mencuriagi bahwa mujizat kesembuhan itu hanyalah dibuat-buat saja diantara Yesus dan orang itu. Akibatnya mereka sulit untuk menerima kesaksian orang buta yang telah sembuh itu dan sulit juga untuk percaya bahwa Yesus berasal dari Allah.
Pengakuan mereka sebagai murid-murid Musa dan tahu banyak tentang kitab suci, nyatanya tidak terlihat dalam iman mereka. Seandainya orang-orang Farisi benar-benar memahami apa yang diajarkan oleh Musa, pastinya mereka akan mengenal siapa Yesus dan apa yang sedang Ia kerjakan (Ulangan 18:15; Yohanes 5:39).
Berbeda dengan para pemuka agama, orang buta itu tentunya ia lebih sedikit pengetahuannya tentang Kitab Suci. Namun ia tahu betul bahwa perubahan ajaib telah terjadi atas dirinya (25). Ia juga tahu dan berani bersaksi bahwa Yesus berasal dari Allah dan melakukan kehendakNya (30-33). Kesaksian inilah yang menyebabkan dia pada akhirnya dikucilkan dari rumah ibadat setempat. Artinya, orang itu dipisahkan dari teman-teman dan keluarga serta dipandang oleh orang-orang Yahudi sebagai “orang berdosa”.

Meski demikian saudara,
Yesus menyambut dia dan menawarkan keselamatan agar ia mengalami kesembuhan fisik maupun kesembuhan rohani. Bukan lagi mengenal Yesus sebagai seorang nabi (17), tetapi percaya kepada Dia sebagai Anak Manusia (35-38). Untuk itulah Yesus datang bagi “orang-orang yang terbuang” dan tidak pernah membiarkan mereka jatuh.
Ini kontras dengan orang Farisi yang buta secara rohani sehingga akan binasa dalam dosa mereka. Jawaban Tuhan Yesus adalah jawaban yang paradox. “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.” (ayat 41) Artinya saudara, jika seseorang tidak tahu karena tidak dapat melihat kebenaran yang diberitakan oleh Tuhan, setidaknya hal itu bisa dimaafkan. Akan tetapi, mereka benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, bahwa  Yesus telah membuat banyak mujizat dan para pemimpin agama mengabaikan bukti yang dapat dipakai untuk mengambil suatu keputusan yang benar itu.

Dengan demikian, apa yang menjadi pelajaran berharga bagi kita saudara?

1.   Janganlah kita sibuk dengan perkara-perkara yang lahiriah, tetap lihatlah perkara-perkara yang sedang Allah kerjakan didalam setiap kehidupan anak-anak Tuhan.
Kebenaran dan karya Allah yang ajaib telah dinyatakan melalui orang buta itu. Karenanya kita yang percaya akan mengalami keajaiban Tuhan terjadi di dalam hidup kita. Dunia mungkin menolak kita karena iman dan injil, tetapi ingatlah bahwa Tuhan selalu menyertai kita. Hanya orang yang menyadari kebutaannya dapat belajar untuk melihat kebenaran. Hanya orang yang menyadari kelemahannya sendiri akan menjadi kuat. Hanya orang yang menyadari dosa-dosanya bisa mendapat pengampunan dari Tuhan.

2.   Orang yang buta rohani, akan menjalani kehidupannya berdasarkan rasa takut pada manusia. Sementara orang yang celik secara rohani akan menjalani kehidupannya pada takut akan Tuhan.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Awalnya, pengemis itu buta secara jasmani dan rohani, tetapi ketika ia membuka hati dihadapan Tuhan Yesus, kini mata dan hatinya kemudiakan dibukakan oleh Tuhan. Mengapa? Karena ia mendengarkan firman Tuhan, ia memercayainya, ia taat dan pada akhirnya ia mengalami kasih karunia Allah.
Sangat berbeda dengan orang-orang Farisi saudara, secara jasmani mereka memiliki penglihatan yang baik, tetapi mereka buta secara rohani. Seandainya mereka mendengarkan firman Tuhan dan dengan tulus mempertimbangkan bukti kesembuhan yang dialami oleh si buta, pastinya mereka akan percaya kepada Yesus Kristus dan dilahirkan kembali.
Namun, orang-orang Farisi ini lebih takut pada hukum-hukum manusia, ketimbang hukum Tuhan. Dan melihat penyembuhan itu dari sudut antipasti, karenanya ia tetap buta secara rohani.
Lihatlah saudara, Pengemis buta itu telah membuat pilihan yang benar, meskipun harga yang harus dibayarnya sangat mahal.
Saudara, pastinya kita mengenal lagu Amazing Grace bukan? Barangkali kita semua pernah mendengar dan bahkan bisa menyanyikannya. Tetapi tahukah kita bahwa lagu ini bukanlah lagu yang biasa, tetapi lagu yang sangat fenomenal yang dibuat oleh seorang lelaki Inggris bernama John Newton.
John Newton adalah seorang Kapten Kapal Greyhound. Tidak hanya sekedar menjadi kapten kapal tetapi juga ia dikenal sebagai seorang penjual budak yang kejam dan tidak segan-segan membunuh. Bukan 1 atau 2 nyawa yang dia bunuh, tetapi 400-600 orang dia bunuh.
Suatu kali dia berlayar dari Inggris ke Benua Afrika dengan tujuan membawa sebanyak mungkin orang-orang Afrika untuk dijual di Inggris sebagai budak. Dari desa satu ke desa Afrika lainnya, Ia berburu dan menyerang manusia untuk dijadikan budak. Baginya, siapa saja orang Afrika yang mencoba melawan dan menolak untuk dijadikan budak. Akan menerima pedang kematian dari John Newton berserta awak-awak Kapalnya. Setelah menemukan orang-orang yang mau dibawa ke Inggris, John memasukkan mereka ke dalam kapalnya, kapal Greyhound.
Naasnya saudara, kapal itu hanya muat 400 orang, namun John tetap mengangkut 650 orang sehingga kapal itu menjadi sesak karena sempitnya ruang gerak dan kurangnya oksigen sehingga banyak yang meninggal di tengah perjalanan.
Tidak hanya itu, John tidak mau memberi makan para budak yang dia angkut. Maka lengkap sudah penderitaan di atas kapal itu. Pada tahun 1748 saat John berusia 23 tahun terjadi badai di Lautan Atlantik. Badai ganas ini hampir menenggelamkan kapal si John Newton. Serentak para budak itu dirantai dan dipasung oleh John dan para awaknya.
Beberapa orang dari ke-30 awak kapal John menduga bahwa badai ini karena ulah John Newton yang sangat tidak berprikemanusiaan. Namun John yang sejak usia 11 tahun tidak pernah berdoa dan membaca Alkitab lagi tidak menggubris komentar awak kapalnya. Lama kelamaan badai ini bukannya reda tetapi semakin hebat mengamuk dan menghantam kapal John Newton.
Pada saat itulah dia berteriak, “Tuhan, kasihanilah kami.” Saat itu John sangat ketakutan karena badai dan juga takut kalau Tuhan marah dan tidak mendengarkan seruannya. Dengan ketakutan dia berdoa, “YA TUHAN, Jika Engkau Benar, Engkau Pasti menepati janjiMu. Sucikanlah hatiku yang kotor ini.”
Setelah 4 minggu berlalu setelah badai itu, dan juga persediaan makanan di kapal Greyhound mulai menipis, dia melabuhkan kapalnya di pelabuhan Irlandia. Seketika itu pula John Newton langsung pergi ke gereja. Dan dia pun menciptakan lagu yang berjudul Amazing Grace dengan diiringi gemuruh ombak, percikan air dan kicauan burung. Dan kini dia berubah, dia tidak lagi menjual budak bahkan dia adalah tokoh pertama di Inggris yang menentang perbudakan.
Perhatikan bahwa ada perubahan hidup yang dialami oleh John Newton. Terang yang telah membuat dia melihat itu adalah terang yang sudah membukakan mata hatinya. Sehingga dia mau percaya dan mempercayakan kehidupanya kepada Kristus yang berdaulat. Dan kepercaya-annya itu dia wujudkan dalam kesaksian tindakan nyata dalam hidup sehari-hari yaitu menghentikan perbudakan.
Bagaimana dengan kita saudara? pastinya kita akan bersyukur kalau kita memiliki sepasang mata untuk melihat. Tetapi lebih bersyukur lagi jika mata rohani kita juga senantiasa melihat Terang yang dipancarkan dalam Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan kita.
Tidak hanya berhenti pada percaya saja tetapi diwujudkan lewat tindakan nyata sehingga orang-orang di sekitar kita itu juga dapat melihat TERANG DUNIA yang berdiam di dalam diri kita masing-masing.
Kita diberi kesempatan untuk menunjukkan terang kasih Allah di dalam kehidupan kita. Bahkan kesaksian yang sederhana sekalipun dapat menjadi sebuah kesempatan bagi kita untuk memperkenalkan terang kasih Allah di dalam hidup kita sehingga orang-orang di sekitar kita percaya akan TERANG DUNIA yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Biarlah kisah ini menyadarkan kita untuk tidak sibuk dengan perkara-perkara dunia yang tidak penting. Sebaliknya kita menjadi semakin celik untuk mengerjakan hal-hal penting yang Tuhan inginkan kita kerjakan dalam kehidupan kita. Hidup melayani Dia, hidup memuliakan nama Tuhan. Dan Hidup menjadi berkat bagi sesama kita. Amin

0 komentar:

Posting Komentar