HIDUP BAGI
INJIL
1 Korintus
9:19-23
Sidang jemaat yang kekasih
di dalam Tuhan,
Bulan ini, kita masih berbicara
tentang “Firman
yang Mengajar Hidup Bersosial”. Masih ingatkah saudara dengan tema
minggu pertama kita? Minggu pertama berbicara tentang “Hidup
Saling Membantu”, Minggu kedua kita berbicara tentang “Hidup Yang membawa Dampak bagi Sesama.” Dan Minggu
yang lalu kita membahas “Keistimewaan Manusia.” Namun saya tidak akan mengulang
kembali apa yang telah dibahas dalam tiga minggu terakhir itu saudara.
Tetapi maksud saya
menyinggung kembali tema-tema kita adalah supaya kita dapat melihat satu rangkaian
pembicaraan yang terarah pada “Firman Yang Mengajar Hidup Bersosial.”
Dan hari ini, kita akan
membahas bagaimana seharusnya anak-anak Tuhan dapat “Hidup Bagi Injil.” Bagaimana
Injil dapat dibawa dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk ini?
Bapak/ ibu yang kekasih
dalam Tuhan,
Saat orang Kristen berada
dalam keragaman masyarakat, kita pasti berupaya agar identitas kristiani kita
tetap melekat dengan kuat. Namun kenyataannya, dalam rangka memperta-hankan
identitas diri ini, tentu saja tidaklah mudah.
Di dalam suatu pergaulan,
orang-orang Kristen menghadapi suatu dilema. Di satu sisi mereka diminta untuk
menjadi terang supaya dunia percaya pada Tuhan Yesus dan untuk itu mereka harus
bergaul dengan orang-orang yang ada di dunia, sambil berusaha dapat terus menggarami
mereka. Tetapi di sisi yang lain orang kristen tidak boleh tercemar oleh dunia.
Masalahnya saudara, keadaan
ini semakin menjadi sulit karena masyarakat yang kita hadapi semakin lama
semakin majemuk, baik dalam hal kepercayaan, pandangan hidup, serta pada
masalah kebiasaan-kebiasaan mereka. Keberagaman dari masyarakat dunia inilah
yang pada akhirnya menjadi satu tantangan tersendiri bagi orang-orang Kristen.
Dengan kondisi yang demikian,
orang-orang Kristen sebenarnya sedang diperhadapkan dengan semakin banyak-nya
perangkap yang dapat mengikis kebenaran iman Kristen.
Hingga yang terjadi pada
umumnya saudara, orang Kristen lebih memilih berdiam diri, daripada harus
berurusan dengan masalah benturan iman. Orang Kristen menjadi anti atau sulit
sekali berbaur dengan orang-orang yang berbeda dari dirinya. Kehidupan yang
over protektif ini, bukanlah hal yang dikehendaki oleh Tuhan.
Pada ekstrim yang lain
adalah adanya orang Kristen yang mencoba untuk mengadopsi banyak hal dari
masyarakat sehingga sadar atau tidak sadar identitas kristianinya menjadi kabur
bahkan tidak bisa lagi untuk dibedakan.
Dalam hal inilah
seharusnya kekristenan memiliki batasan-batasan yang menjadi prinsip-prinsip
penuntun bagi orang-orang Kristen di dalam pergaulannya dengan dunia.
Prinsip-prinsip ini terangkum di dalam suatu etika pergaulan Kristen. Apa yang
boleh dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan sebagai orang Kristen.
Bapak/ ibu yang kekasih
dalam Tuhan
Jika kembali kepada
pengertian Gereja, Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil
untuk menjadi garam dan terang bagi dunia. Dan Implikasi dari panggilan yang
khusus ini menjadikan Gereja Tuhan harus menjauhkan diri dari sikap “essenis” atau sikap yang menganggap diri paling
benar dan suci, dan menganggap yang lain lebih rendah dari dirinya.
Sebaliknya saudara, Gereja
seharusnya dapat mulai membangun relasi dengan dunia. Namun yang menjadi
pertanyaan bagi kita adalah relasi yang seperti apakah yang harus dibangun oleh
Gereja Tuhan masa kini? Dan bagaimanakah relasi ini dapat dibangun dengan baik
tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Alkitab?
Saudara,
1 Korintus 9:19-23 adalah
satu pengajaran yang menjelaskan prinsip-prinsip di dalam pergaulan orang
percaya ditengah-tengah dunia. Paulus memberikan satu teladan bagi kita bagaimana
membawa diri dengan tepat di dalam sebuah keberagaman.
Konteks yang dihadapi oleh
Paulus sangat jelas saudara. Dimana, Paulus sedang berbicara mengenai pelayanan-nya
di tengah-tengah jemaat Korintus yang juga sangat beragam. Namun dengan Hikmat
Allah, Paulus mampu membawa pesan Injil, hingga dapat dengan efektif sampai kepada
tiap-tiap golongan yang ada dalam jemaat, baik kepada orang Yahudi dengan hukum
Tauratnya yang begitu ketat, kepada orang-orang non Yahudi yang tidak hidup
dibawah hukum Taurat. Kepada mereka yang kuat, maupun mereka yang lemah.
Saudara, Rasul Paulus
tidak terjebak menjadi seperti orang ‘asing’ yang ‘tidak bisa
didekati’, atau seperti orang yang ekslusif ditengah-tengah
kehidupan mereka yang lemah maupun yang hidup bebas karena dilihat terlalu kuat
dan terikat hukum Taurat. Sebaliknya, Rasul Paulus juga tidak menjadi
orang yang diremehkan atau dipandang sebelah mata oleh mereka yang kuat dan
taat pada hukum Taurat karena dilihatnya Paulus telah berbaur dengan yang lemah
dan yang hidup bebas dari Taurat.
Ini semua terjadi karena
prinsip utamanya adalah Allah. Tujuan keberadaan Paulus ditengah-tengah jemaat
yang majemuk adalah supaya ia dapat memenangkan sebanyak mungkin orang dalam
Kristus.
Saudara, sebagai seorang Pengkhotbah yang
ternama, sebagai seorang Rasul yang tengah naik daun, Paulus bisa saja
memanfaatkan pergaulan yang dia bangun untuk mendapatkan ketenaran atau
dukungan di dalam pelayanannya, tetapi itu bukanlah tujuan dari hidupnya. Ia
tidak bermaksud mencari keuntungan diri sendiri dari setiap pelayanan yang
dikerjakannya. Sebaliknya, tujuannya adalah murni semata-mata karena Allah, dan
supaya Injil Allah itu dapat diterima oleh banyak orang.
Karena itu saudara, dengan
segala cara Paulus berusaha menjangkau banyak orang, asalkan itu tidak
bertentangan dengan aturan tertinggi dalam hidupnya, yaitu pengajaran Kristus.
Dengan demikian, sama
seperti Tuhan Yesus, Rasul Paulus ingin mengingatkan kepada kita bahwa Injil seharusnya
berlaku untuk siapa saja, dengan latar belakang dan kondisi yang bagaimana pun
juga, Injil seharusnya mampu menjawab setiap kebutuhan orang.
Yang berikutnya saudara,
Bagaimana mengetahui
batasan-batasan di dalam sebuah pergaulan? Saudara, sekalipun tujuan yang akan
dicapai itu adalah mulia, namun jika dilakukan dengan cara yang tidak benar,
hasilnya tetap tidak benar.
Demikian pula jika tujuan
yang akan dicapai itu adalah salah, walaupun dilakukan dengan cara yang benar,
maka hasilnya pun akan salah.
Terlebih lagi jika tujuan
yang akan dicapai itu salah, kemudian dilakukan dengan cara yang salah,
hasilnya pasti seratus persen salah.
Karena itu yang seharusnya
dilakukan adalah kita harus memiliki tujuan yang benar, dan dilakukan dalam
cara yang benar, hingga hasil yang kita dapatkan pun adalah benar.
Kembali kepada pembahasan
kita, penyesuaian yang dilakukan oleh Rasul Paulus ini bukanlah penyesuaian
yang asal-asalan atas segala hal. Dalam usaha menjangkau orang, Rasul Paulus tetap
membatasi diri dibawah hukum Kristus. Dengan kata lain, sejauh penyesuaian ini
tidak melanggar firman Tuhan maka Paulus akan melakukannya.
Saudara di ayat 19, dijelaskan: “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang,
aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan
sebanyak mungkin orang.”
Perhatikan kalimat ini
saudara, Paulus menggunakan kata “bebas” sebagai
kata pertama dalam penjelasan kalimatnya. Kata ini ditempatkan oleh Paulus
sebagai kesimpulan dari ayat 1-18 dengan penekanan yang sangat kuat, bahwa ia
bebas dari kebergantungan keuangan dari siapapun.
Dengan tidak menerima
kompensasi dari jemaat di Korintus untuk setiap pelayanannya, Paulus dapat
bebas dari tekanan yang dapat mengekang kotbahnya.
Namun saudara, walaupun Paulus
memberikan penekanan pada kata “bebas” tetapi dia kemudian
memberikan pernyataan yang kontras dengan menambahkan “bahwa ia menjadikan dirinya sendiri hamba
dari semua orang”.
Dari sini kita mendapatkan
satu pemahaman bahwa Paulus sedang menerapkan prinsip hidup orang Kristen
ditengah-tengah kehidupan sosial yang beragam. Ia meneladani prinsip hidup
Tuhan Yesus, yang hidup sebagai hamba dan melayani manusia.
Jadi, apakah sebenarnya
yang menjadi tujuan Paulus ketika ia membuat dirinya sendiri menjadi hamba dari
semua orang? Saudara, pertanyaan ini dijawab oleh perkataan Paulus di akhir ayat 19, yaitu “supaya
dapat memenangkan sebanyak mungkin orang.”
Dalam hal ini, Paulus
menuliskan kalimat ini sebanyak 5 kali pada ayat 19-22. Hal ini menyatakan satu
indikasi bahwa motivasi Paulus untuk melakukan semua ini adalah motivasi yang
tulus yang keluar dari hati nurani yang murni hanya demi Kristus. Jadi bukan
ada maksud untuk kepentingan diri sendiri.
Yang terakhir, bagaimana
langkah menjalin relasi ditengah-tengah masyarakat yang majemuk itu?
Sidang jemaat yang
kekasih,
Keberadaannya yang telah
menjadi manusia yang baru di dalam Kristus tidak menjadikan Paulus seorang yang
eksklusif dan menutup diri terhadap lingkungan disekitarnya, tetapi sebaliknya
Paulus membuka dirinya dan memberikan kesempatan untuk terjadi proses
pengenalan satu dengan yang lain. Dan strategi yang dilakukan oleh Paulus
adalah:
-
Menjadi
seperti orang Yahudi bagi orang Yahudi (ayat 20).
-
Menjadi
seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat bagi mereka yang hidup di bawah
hukum Taurat (ayat 20).
-
Menjadi
seperti orang yang hidup tidak dibawah hukum Taurat bagi mereka yang hidup tidak
di bawah hukum Taurat (ayat 21).
-
Menjadi
seperti orang yang lemah bagi mereka yang lemah (ayat 22).
Saudara hidup “menjadi
seperti” menunjukkan bahwa Paulus bukanlah orang yang egois. Ia tidak
menjadikan orang lain seperti yang ia inginkan, tetapi dia bersedia untuk
mengerti orang lain dengan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan latar
belakang kepercayaan maupun status sosialnya.
Jadi dalam hal ini sangat
jelas untuk kita mengerti bahwa Paulus sebagai hamba Tuhan berusaha sedapat
mungkin, memahami orang lain di dalam integritas injil, yaitu “segala sesuatu ini
aku lakukan karena Injil” (ayat 23).
Dengan demikian saudara, apa
yang dilakukan Paulus bukanlah menye-suaikan injil dengan pandangan pendengar,
bukan pula menyesuaikan Injil dengan sinkretisme agama-agama setempat. Tetapi apa
yang dilakukan Paulus lebih kepada bagaimana ia menjalin hubungan dan
berperilaku diantara mereka sebagai satu kesempatan untuk membagikan berita
injil.
Pada ayat 20 dikatakan bahwa “bagi orang Yahudi Paulus menjadi seperti
Yahudi. Bagi orang yang hidup di bawah hukum Taurat, Paulus menjadi seperti
orang yang hidup dibawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup
dibawah hukum Taurat.”
Ketika Paulus mengatakan
hal ini, ia tidak mungkin memaksudkan arti ini dalam pemahaman etnis, karena
secara etnis tidak mungkin Paulus berubah dari orang Yahudi menjadi orang
non-Yahudi. Sebaliknya ungkapan ini merujuk pada kebiasaan hidup atau budaya
non Yahudi. Misalnya, Paulus sedang membicarakan soal kebiasaan makan, karena
memang isu di pasal 8-10 adalah tentang makanan.
Jadi maksudnya adalah di
tengah komunitas non-Yahudi, Paulus berusaha mengikuti pola makan mereka. Ia
tidak keberatan jika harus membeli bahan makanan di pasar yang pastinya sudah
dipersembahkan sebelumnya kepada para dewa (10:25-26). Ia juga tidak menghindarkan
diri ajakan orang yang tidak percaya untuk makan di rumahnya karena alasan hati
nurani (10:27).
Bagi Paulus, sejak ia
menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya, dia adalah ciptaan baru dan
menjadi pengikut Kristus sehingga ia bebas dari tuntutan hukum Taurat.
Saudara, tindakan ini
membutuhkan keberanian yang besar dan pemahaman teologis yang kuat. Bagi orang
Yahudi, makan bersama orang non-Yahudi merupakan sesuatu yang sangat sensitif, bahkan
bisa menimbulkan ketidaknyamanan sehingga mustahil untuk dapat dilakukan (Kisah
10:11-15, 28; Galatia 2:11-14).
Demikian pula cara memasak
maupun cara makan orang non-Yahudi tidak mungkin memenuhi standart halal versi
Yahudi.
Tetapi bagaimana pun juga,
Paulus rela membangun relasi dengan orang non-Yahudi dengan resiko bahwa ia
harus merasa tidak terbiasa dan berpotensi untuk disalahpahami orang Yahudi
yang lain. Ia bisa saja dianggap sebagai pelanggar Taurat atau orang yang gaya
hidupnya plin-plan sesuai pergaulan yang ada.
Selanjutnya ayat 21, Paulus menjelaskan: “Bagi orang-orang
yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak
hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup diluar hukum Allah,
karena aku hidup di bawah hukum Kristus.”
Saudara, demi Injil Paulus
berani hidup tanpa hukum tetapi ia bukanlah pelanggar hukum. Hal ini
mengajarkan sesuatu yang sangat penting bahwa kebebasan Kristiani di dalam
Kristus bukan berarti “kebebasan mutlak tanpa aturan sama sekali.” Kita yang hidup
di dalam Kristus, kita memang tidak hidup di bawah Taurat lagi, tetapi bukan
berarti bahwa kita bisa hidup secara sembarangan (Roma 6:14-15).
Pada prinsipnya, orang
percaya tidak mungkin hidup tanpa hukum. Justru di dalam Kristus, kita hidup di
bawah hukum Allah (1 Korintus 7:19).
Dengan demikian, kita bisa
mengatakan bahwa selalu ada batasan dalam kebebasan Kristiani. Dalam kaitan
dengan isu seputar makanan, Paulus pun memiliki batasan yang jelas. Ketika ia
menerima undangan makan orang lain dan tindakan itu menjadi batu sandungan bagi
orang lain, Paulus lebih memilih untuk tidak meneruskan makan (10:28). Yang
terpenting adalah “keberatan-keberatan itu bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu
sendiri, tetapi keberatan-keberatan hati nurani orang lain” (10:29).
Apa yang dilakukan oleh
Paulus bukanlah suatu kemunafikan. Tetapi Paulus memikirkan dua tujuan di sini.
Yaitu ia berusaha menghindari kesalahpahaman atau fitnahan orang lain yang
sering menuduh dia meniadakan tuntutan hukum (Kisah 21:21; Roma 3:8) untuk
menyenangkan hati banyak orang (Galatia 1:10).
Tujuan yang lain, ia juga
ingin menegur sebagian jemaat Korintus yang menganggap keselamatan di dalam
Kristus sebagai alasan untuk hidup sembarangan (5:1-3; 6:13). Sehingga karena kesembarangan
mereka menggunakan kebebasan Kristiani, menjadikan mereka batu sandungan bagi
orang lain (8:9).
Di sini terlihat jelas
bahwa sesungguhnya Paulus bukanlah orang yang anti dengan hukum Allah sebab dia
sendiri adalah pribadi yang hidup di dalam kekudusan dan kebaikan. Tetapi dia
juga tidak menginginkan orang yang mengatas namakan hukum, pada akhirnya
menghalang-halangi seseorang datang kepada Tuhan.
Hal ini menunjukkan satu
hal bahwa dengan kehidupan yang fleksibel dalam hal makanan, pakaian dan lain-lain
yang bukan menyangkut hal yang prinsipil, ia dapat memenangkan siapa saja bagi
Kristus.
Dalam hal ini kita
melihat, bahwa Paulus sebagai pekabar Injil yang besar, yang memenangkan lebih
banyak orang bagi Kristus daripada orang lain mana pun, melihat betapa
esensialnya hal menjadi segala sesuatu bagi semua orang.
Saudara,
Bagi orang-orang yang
belum dewasa dalam iman, mungkin gaya hidup Paulus kelihatannya tidak
konsekuen. Tetapi kenyataannya, justru ia sangat konsekuen, karena tujuan yang
mendorongnya ialah untuk memenang-kan orang-orang bagi Yesus Kristus.
Hal yang terakhir,
diungkapkan Paulus dalam ayat 22, “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi
seperti orang yang lemah”
Bapak/ ibu yang kekasih,
Sekilas kita mungkin
berpikir bahwa Paulus sedang membicarakan tentang orang yang lemah secara hati
nurani di 8:7-13. Tetapi orang-orang yang lemah di sini adalah orang-orang
belum percaya yang memiliki status sosial yang rendah. Orang-orang yang belum
diselamatkan. Frase ini didukung dengan pernyataan Paulus yang kemudian, yaitu “supaya aku dapat
menyelamatkan mereka yang lemah.”
Di sinilah terlihat dengan
jelas bahwa kebebasan Paulus dari keterikatan dengan manusia mengijinkannya
untuk melayani sebanyak mungkin orang.
Paulus sadar bahwa di mata
jemaat Korintus, ia tampak sebagai seorang yang lemah. Gaya berkhotbah Paulus
terlihat lemah jika dibandingkan dengan para orator ulung waktu itu, baik dari segi
isi, penampilannya, maupun gaya ia berbicara. Karena itu ia
mengatakan: Aku
juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar.” (2:3).
Saudara, pekerjaan Paulus
yang kasar sebagai pembuat tenda ikut menegaskan kelemahannya (4:10-13). Namun,
dari semuanya itu, ia lakukan supaya ia dapat memenangkan orang lain yang
lemah. Demikian pula dengan jawaban Tuhan kepadanya: “Cukuplah kasih karunia-Ku
bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna" (2
Korintus 12:9). Dari sini Paulus disadarkan bahwa keberhasil-annya
dalam menjangkau banyak orang bukan terletak pada kepandaiannya, bukan pula
karena jerih lelahnya yang telah dicurahkan, tetapi semata-mata karena kasih
karunia Tuhan baginya. Inilah yang membuat dia bersukacita.
Saudara,
Jemaat Korintus sendiri
dahulu adalah orang-orang yang lemah menurut ukuran dunia (1:26-28). Namun setelah
bersentuhan dengan hikmat duniawi mereka malah merasa diri lebih kuat dan hebat
(1:18, 22-23). Kesombongan inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam
jemaat, sehingga Paulus berkali-kali perlu mengajarkan kepada mereka bahwa
kekuatan sejati adalah kelemahan di dalam Kristus (2 Korintus 11:30; 12:5,
9-10; 13:9). Jika kita lemah, maka kita kuat (2 Korintus 12:10a). Sebaliknya,
orang yang merasa teguh berdiri maka ia akan jatuh (1 Korintus 10:13). Sebuah
paradoks yang indah, bukan!
Dengan demikian, apa yang
diajarkan dan dilakukan Paulus di sini bersumber dari ajaran Tuhan Yesus (1
Korintus 11:1). Kristus mau mengasihi orang yang lemah (Roma 5:6). Ia mau
menjadi miskin untuk memperkaya orang lain (2 Korintus 8:9). Ia disalibkan
dalam kelemahan, tetapi dihidupkan dalam kuasa Allah (2 Korintus 13:4).
Begitu pula dengan Paulus.
Ia belajar menjadi lemah menurut ukuran dunia demi injil yang ia beritakan (2
Korintus 6:8-10). Sukacita Paulus adalah ketika kelemahannya justru dipakai Tuhan
untuk menguatkan orang lain (2 Korintus 13:9 “sebab kami bersukacita apabila kami
lemah dan kamu kuat).
Berkaitan dengan hal itu,
rasul Paulus mengatakan: “Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku
mendapat bagian dalamnya” (1 Korintus 9:23).
Aplikasi
Sidang jemaat yang kekasih
dalam Tuhan,
Memahami orang lain demi
kepentingan Kristus memang tidaklah mudah. Mengutamakan kepentingan orang lain jelas
merupakan tugas yang cukup rumit. Terlebih lagi, menjadi seperti orang lain
adalah pergumulan yang paling sulit untuk dilakukan.
Namun bukan berarti hal
itu adalah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan, sebab bagaimanapun juga,
Allah telah memberikan teladan bagi kita.
Sama seperti Kristus telah
rela meninggalkan kemuliaan sorga dan menjadi sama seperti manusia – bahkan
lebih hina daripada semua orang ketika ia menanggung kutuk Allah di kayu salib
– demikian pula kita harus mau menjadi lemah demi keselamatan orang lain.
Belajar merendahkan diri demi kepentingan Kristus.
Sarana untuk menjalani
kehidupan bagi Injil adalah melalui pergaulan sehari-hari. Pergaulan dapat
dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan kabar baik. Untuk itu pemakaian
prinsip-prinsip etika pergaulan Kristen ini akan menolong orang-orang Kristen
tidak terjatuh di dalam salah satu ekstrem pergaulan, baik yang mengisolasi
diri atau yang membuka diri dan mulai “menjual”
kebenaran sebagai bentuk penyesuaian di dalam pergaulan. Tetapi mereka
dapat menempatkan diri secara tepat sebagai seorang teman tetapi juga sebagai
hamba yang bersaksi bagi Tuhan.
Sebagaimana yang pernah Tuhan
Yesus katakan, “Barangsiapa
ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan
barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi
hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
(Matius 20:26b-28).
Kita melihat saudara,
Paulus tidak selalu keras
dalam hal cara memberitakan Injil, tetapi ia belajar peka terhadap keadaan
orang yang hendak dilayaninya serta berusaha menyesuaikan diri agar ia dapat
diterima dengan baik dan beroleh kesempatan untuk terus dapat memberitakan
Injil. Paulus membangun hubungan yang baik dengan semua orang sebagai pembuka
jalan bagi masuknya Injil.
Meskipun demikian, bukan
berarti Paulus kompromi dengan cara hidup mereka yang tidak berkenan kepada
Tuhan. Penyesuaian diri Paulus hanya terbatas dalam hal-hal yang bukan prinsip
atau yang tidak bertentangan dengan Firman. Bukan berarti Paulus tidak punya
pendirian, melainkan fleksibel. Pendekatan yang fleksibel adalah strategi untuk
memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah. Ia tidak ingin terjebak dalam sikap yang
kaku, memaksa atau ekstrem, yang justru dapat menghambat pemberitaan Injil.
Karena itu saudara, dalam
membangun kehidupan bagi Injil ditengah-tenagh masayarakat yang kita hadapi
saat ini, marilah kita meminta pimpinan Roh Kudus agar memiliki sikap yang
bijaksana dalam melayani jiwa-jiwa, bukan dengan kekuatan sendiri!
Sama seperti Paulus telah
mengikuti teladan Yesus yang mau berkorban, demikian pula dengan kita, jika
demi Injil kita harus kehilangan hak dan kebebasan, mengapa tidak! Sebab hidup
yang sedang kita jalani adalah hidup bagi Kristus. Kiranya apa yang diajarkan
firman Tuhan kita kali ini dapat menjadi berkat bagi kita. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar