Jumat, 11 Desember 2015

KESAKSIAN TENTANG KEBENARAN

KESAKSIAN TENTANG KEBENARAN
Yohanes 18:28-38a

Sidang jemaat yang kekasih di dalam Tuhan,
Tidak terasa hari ini kita sudah memasuki minggu pertama di bulan Desember. Bulan dimana kita banyak mendengarkan khotbah-khotbah yang berkenaan dengan kisah kelahiran Tuhan Yesus Kristus: Tentang pribadi Tuhan Yesus, Tentang gembala-gembala dan orang-orang majus, tentang Maria dan lain sebagainya.
Saudara, peristiwa-peristiwa itu memang menjadi bukti sejarah yang pernah terjadi di dalam kehidupan manusia. Dan itu terjadi pada dua ribu tahun yang silam.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Dua ribu tahun bukanlah waktu yang singkat, sejak kedatangan Tuhan Yesus yang berinkarnasi mengenakan tubuh jasmani seperti kita. Dua ribu tahun bukan waktu yang singkat, saat Tuhan Yesus lahir di kota Bethlehem pada tahun 4 sM. Yang oleh penanggalan kekaisaran Roma, karena salah menghitung tahun, mereka menetapkan tahun 1 adalah tahun kelahiran Yesus. Padahal yang benar 4 tahun sebelum Masehi dimulai.
Saudara, selama dua ribu tahun ini, gereja telah melewati tahun-tahun sejarahnya yang sangat panjang. Gereja sudah belajar banyak bagaimana mengiring Tuhan, sang majikan dan Juruselamatnya Yesus Kristus. Seharusnya gereja sudah menjadi dewasa. Gereja harus sudah memahami pikiran dan perasaan Allah dan benar-benar bisa berjalan se visi dengan Tuhan sendiri. Apalagi menjelang kedatangan Tuhan kedua kali yang tentunya makin dekat, gereja-gereja Tuhan harus mulai menjadi gereja yang matang, gereja yang dewasa, gereja yang bisa benar-benar seiring dengan Tuhan.
Saudara, kedewasaan dan kematangan gereja tidak bisa diukur dari sikapnya yang menunjukkan sebagai gereja yang intelek, gereja yang profesional secara managerial, gereja yang memiliki aset-aset besar atau banyak. Jangan pernah berpikir kalau gereja yang profesional dalam managemen, gereja memiliki aset-aset yang berlimpah dan gedung-gedung yang megah berarti gereja mengalami kemajuan. Itu bukan ukuran kedewasaan gereja!. Sebaliknya, kematangan dan kedewasaan gereja dapat di ukur dari beban yang ada di dalam hati mereka apakah seiring dengan beban yang Tuhan Yesus miliki. Apakah gereja dalam hal ini para pelayan-pelayan jemaat dan jemaatnya mau mengerti dan peduli terhadap beban di hati Tuhan tersebut. Apakah gereja memahami keprihatinan dan memahami dukacita dalam hati Tuhan yang melihat dunia yang sedang bergulir dalam kegelapan abadi.
Gereja yang dewasa adalah gereja yang memiliki beban, gereja yang memiliki keprihatinan terhadap kondisi dunia yang sedang menuju pada kegelapan abadi.
Kita melihat saudara, ketika murid-murid Tuhan Yesus, orang percaya belum dewasa. Mereka turut hanyut dalam gelombang besar orang-orang Yahudi yang tidak memahami kehendak Allah. Murid-murid itu tidak mengerti maksud tujuan Tuhan Yesus datang ke dunia. Mereka menduga, mengharapkan dan menuntut Tuhan Yesus akan menjadi pahlawan mereka. Pahlawan yang akan membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Romawi.
Jadi ketika Tuhan Yesus datang ke Yerusalem, beberapa hari sebelum penyalibanNya. Orang-orang mengelu-elukan Tuhan Yesus. Orang-orang menghamparkan pakaiannya, dijalan-jalan, dimana keledai Tuhan Yesus hendak lewat. Itu tidak pernah dilakukan oleh bangsa Yahudi kepada siapa pun. Belum pernah ada kejadian seperti itu. Mereka mengambil daun palem, mereka melambai-lambaikan.
Biasanya hal seperti ini dilakukan oleh satu masyarakat yang hendak menyongsong pahlawan perang yang menang perang. Jadi dengan cara demikian, sepertinya mereka memaksa Tuhan Yesus untuk menjadi pahlawan berdasarkan versi mereka. Mereka berharap Tuhan Yesus dapat menjadi Juruselamat berdasarkan versi mereka. Dan ironisnya, murid-murid Tuhan Yesus termasuk dari barisan kelompok masa yang mengelu-elukan Tuhan Yesus dengan cara demikian, karena mengharapkan Mesias versi mereka. Murid-murid belum dewasa sehingga mereka memiliki cara pandang yang sama dengan orang-orang disekitarnya.
Padahal kedatangan Tuhan Yesus ke Yerusalem itu mau disalib. Jadi terdapat kontradiksi antara versi orang Yahudi bersama murid-murid dengan versi Tuhan Yesus. Di dalam Yohanes 12:18 mereka benar-benar hanyut tenggelam dalam hiruk pikuk orang-orang yang begitu semangat menjadikan Tuhan Yesus sebagai raja mereka.
Sungguh satu hal yang menyedihkan. Orang-orang ini tidak mengerti maksud Tuhan Yesus turun ke dalam dunia. Padahal Tuhan Yesus memiliki beban yang dalam terhadap jiwa-jiwa yang terhilang, terhadap manusia yang sedang meluncur ke dalam kegelapan abadi. Tetapi orang-orang Yahudi termasuk murid-muridNya, mereka memikirkan kebutuhan mereka sendiri, kesenangan mereka sendiri, obsesi mereka sendiri. Mereka lebih memilih berkat sesuai selera mereka. Padahal Tuhan memiliki rancangan yang lain, yang jauh lebih baik.
Dalam hal ini saudara, seperti terjadi benturan kepentingan antara Tuhan dan manusia. Tuhan Yesus memikirkan keselamatan dunia dan menyediakan berkat kekakalan, tetapi orang-orang Yahudi dan murid-murid yang belum dewasa itu lebih berpikir kepada kebutuhan jasmani mereka.
Hingga saat puncak harapan mereka telah menjadi pupus, mereka menyeret Yesus ke pengadilan Romawi. Sementara mereka sendiri tidak masuk ke dalamnya.
Dikatakan dalam tadi dalam ayat 28: “Maka mereka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung pengadilan. Ketika itu hari masih pagi. Mereka sendiri tidak masuk ke gedung pengadilan itu, supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan Paskah”.
Jika kita bandingkan dengan ketiga Injil yang lain, kita melihat Yohanes sepertinya menceritakan kisah pengadilan di hadapan Pilatus ini secara lebih lengkap dan terperinci.
Dengan kata lain, saudara, Yohanes hanya membicarakan sedikit tentang pengadilan Yahudi terhadap Yesus. Ia juga tidak menceritakan tentang semua yang terjadi di hadapan Kayafas, baik tentang saksi-saksi palsu, maupun tentang penghinaan-penghinaan yang dialami Yesus di sana.
Yang sepertinya ada satu hal yang lebih menarik bagi Yohanes sehingga ia menuliskan kisah ini secara terperinci.
Tetapi yang pasti, Orang-orang Yahudi itu harus membawa Yesus ke hadapan Pontius Pilatus karena mereka sendiri tidak mempunyai hak untuk melaksanakan hukuman mati. Dan itu dilakukannya pada pagi-pagi sekali tepatnya pada pk. 05.00 – 06.00, orang-orang Yahudi membawa Yesus ke hadapan Pilatus untuk diadili.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan
Tekad mereka sudah bulat, tujuannya adalah berusaha menyerahkan Yesus untuk di hukum mati, melalui tangan Romawi. Mereka merelakan waktu istirahat mereka demi menyerahkan Yesus. Pada saat yang sama mereka juga mengumpulkan kaki tangan mereka untuk ikut menentang Tuhan. Tetapi anehnya, mereka tidak mau menajiskan dirinya dengan masuk ke tempat Pilatus tinggal/ gedung pengadilan. Dengan alasan, mereka hendak makan paskah.
Jadi saudara, orang-orang Yahudi tidak mau menajiskan diri, tetapi mau membunuh orang yang tak bersalah. Jadi, mereka membawa Yesus ke gedung pengadilan, tetapi mereka sendiri tidak masuk ke dalamnya, karena mereka tidak mau menajiskan diri mereka.
Perhatikan saudara, bagaimana liciknya hati mereka. Hati nurani orang-orang Yahudi itu telah dibutakan oleh dosa sehingga mereka merancangkan satu pembunuhan yang begitu nista, tetapi masih berani bicara soal kesucian diri.
Melihat kondisi ini, maka Pilatus yang keluar mendapatkan mereka. Demikianlah dikatakan dalam ayat 29: “Sebab itu Pilatus keluar mendapatkan mereka dan berkata: ‘Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini?’”.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan, pertanyaan Pilatus bukan didasari oleh ketidaktahuan dia tentang  apa yang terjadi, tetapi karena secara formal itu memang harus dilakukan. Dan karena itulah Pilatus bertanya: “‘Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini?”.
Kemudian orang-orang Yahudi melontarkan satu tuduhan palsu dengan mengatakan: ”Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak menyerahkanNya kepadamu!” (ayat 30).
Saudara perhatikan bagaimana liciknya orang-orang Yahudi dalam mendakwa Tuhan Yesus. Dalam pengadilan di hadapan Sanhedrin, Yesus dijatuhi hukuman mati dengan alasan menghujat Allah (Matius 26:65). Tetapi di hadapan Pilatus mereka tidak berani menggunakan alasan itu, karena alasan yang bersifat agama, dan pastinya hal itu tidak akan dipedulikan oleh Pilatus. Karena itu mereka mengatakan bahwa Yesus adalah seorang penjahat.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan.
Kalau saudara benci/ sentimen kepada seseorang, ingatlah bahwa hal itu sudah merupakan dosa di hadapan Tuhan. Jangan menambahi dosa itu dengan fitnahan tentang orang itu; sebaliknya, saudara harus memberes-kan kebencian itu di hadapan Tuhan.
Mendengar jawaban mereka, maka Pilatus berkata dalam ayat 31: “Kata Pilatus kepada mereka: ‘Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut hukum Tauratmu.’ Kata orang-orang Yahudi itu: ‘Kami tidak diperbolehkan membunuh seseorang.’”
Saudara, tujuan mereka membawa Tuhan Yesus kepada Pilatus hanya satu, yaitu berusaha untuk membunuhnya, tetapi karena secara hukum mereka tidak memiliki hak untuk membunuh, maka mereka berusaha memperalat Pilatus untuk mengikuti keinginan mereka. Dengan kata lain saudara, sepertinya mereka ingin mengatakan: ‘Engkau tidak akan mengijinkan kami membunuhNya; dan karena engkau adalah hakim, lakukanlah tugasmu’.
Disisi lain, Yohanes mengingatkan setiap kita bahwa kejadiannya memang harus demikian, supaya “genaplah firman Yesus, yang dikatakanNya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati (Yohanes 3:14, 12:32). Karena itu Yesus harus mati di tangan orang Romawi, bukan di tangan orang Yahudi.
Jika kita mengacu kepada hukum Taurat, hukuman mati untuk seorang penghujat seharusnya adalah melalui perajaman (Imamat 24:16). Jadi, seandainya Yesus mati di tangan orang-orang Yahudi, maka Ia pasti dirajam, bukannya disalib. Tetapi dengan diserahkannya Yesus ke tangan orang Romawi, maka hukuman mati dilaksanakan oleh pihak Romawi, sehingga akhirnya Yesus mati melalui penyaliban, seperti yang telah Ia nubuatkan.
“Maka, kembalilah Pilatus ke dalam gedung pengadilan, lalu memanggil Yesus dan bertanya kepadaNya: ‘Engkau inikah raja orang Yahudi?’” (ayat 33).
Saudara, Pertanyaan ini ditanyakan oleh Pontius Pilatus, karena adanya tuduhan bahwa Yesus memang menyatakan diri sebagai raja. Dalam Lukas 23:2 disebutkan bahwa- “Di situ mereka mulai menuduh Dia, katanya: ‘Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diriNya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja.’”
Pertanyaan tentang apakah Yesus raja orang Yahudi dilaporkan oleh keempat penulis Injil. Dan sebagai Gubernur Romawi, tentu saja Pilatus tertarik dengan suatu pengakuan Yesus sebagai raja. Lagipula saudara, pengharapam Mesianis selalu meningkat selama paskah, dan mudah bagi seorang penipu Yahudi untuk menghasut orang ke dalam huru-hara atau pemberontakkan terhadap Roma.
Karenanya tidak diragukan bahwa Pilatus merasa dirinya aman ketika ia menanyakan tentang pengakuan Yesus sebagai raja.
Namun rupanya ia tidak siap untuk jawaban yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya, “Engkau sendiri mengatakannya” (Matius 17:11). Namun Yesus kemudian menambahkan dengan pertanyaan lain, Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?” (ayat 34).
Saudara, kata-kata Tuhan Yesus ini mengandung arti: “Apakah engkau sendiri mencurigai Aku, atau karena orang banyak yang telah menuduh Aku, sehingga engkau menanyakan pertanyaan itu?”
Jika yang ada di dalam benak Pilatus adalah raja Romawi, maka keberadaan Tuhan Yesus dapat dipandang sebagai seorang pemberontak. Tetapi jika yang dipikirkan gubernur itu adalah raja orang Yahudi, maka soal-soal politik dapat dikesampingkan.
Hanya yang menarik saudara, setidaknya ada empat kali Pilatus menyebut Yesus “raja” selama pengadilan tersebut, dan bahkan menuliskan gelar tersebut pada plakat yang digantung di atas kayu salibNya (18:39; 19:3, 14, 15, 19).
Jika Pilatus mengatakan hal itu dari hatinya sendiri, maka tujuan Tuhan Yesus, yaitu melayani Pilatus, akan jauh lebih mudah karena Pilatus mungkin lebih siap mendengarkan kebenaran.
Tetapi jika dia hanya mendengar itu dari orang lain, maka jelas Pilatus akan sulit untuk dilayani, karena dia sudah dibingungkan oleh kebencian para pemimpin agama Yahudi, dan tidak memiliki kerinduan dalam hatinya sendiri untuk mengerti kebenaran atau mengenal Allah.
Karena itu ia malah balik bertanya: Apakah aku seorang Yahudi? BangsaMu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?” (ayat 35).
Dari sini kita pahami saudara, bahwa jawaban Pilatus kepada Yesus menunjukkan apa yang dipikirkan orang-orang Romawi terhadap orang-orang Yahudi: Karenanya pertanyaan Pilatus mengenai “Apakah aku seorang Yahudi?” tidak lebih dari sebuah penghinaan dalam nada yang sinis.
Dalam hal ini saudara, rupanya dalam diri Pilatus memang tidak ada keterbukaan untuk hal-hal rohani. Karenanya ia tidak peka ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai hal KerajaanNya.
Dan lebih lanjut Tuhan Yesus berkata: “KerajaanKu bukan dari dunia ini; jika KerajaanKu dari dunia ini, pasti hamba-hambaKu telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi KerajaanKu bukan dari sini.” (ayat 36).
Dalam kekacauan pikiran yang dirasakan Pilatus, ia kembali bertanya: “Jadi Engkau adalah raja?’ Jawab Yesus: ‘Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraKu.” (ayat 37).
Saudara, pertanyaan ini tidak bisa dijawab sekedar dengan kata “Ya” atau “Tidak”, karena kalau demikian justru tidak akan mendapatkan jawaban yang sesungguhnya. Dalam beberapa kasus di pengadilan, seringkali seseorang yang ditanyai hanya diijinkan untuk menjawab dengan “Ya” atau “Tidak”, dan anehnya hakim biasanya menyetujui pembatasan seperti itu.
Namun dalam kasus pengadilan terhadap Yesus ini, sang hakim, yaitu Pilatus, ternyata mau mendengarkan jawaban panjang lebar dalam ayat ini, dan ini merupakan sesuatu yang bijaksana. Ini menyebabkan ia betul-betul mendapatkan jawaban yang benar.
Tuhan Yesus menjelaskan tentang siapa Dia dan seperti apa KerajaanNya. Pilatus mungkin tidak memahami arti dari kata-kata yang mendalam itu, tetapi kita saat ini dapat menangkap beberapa hal yang dimaksudkan Yesus. Ia “lahir” adalah menunjuk pada kemanu-siaanNya; “Ia datang ke dalam dunia” menunjukkan ketuhananNya.
Kenyataan bahwa Yesus “datang ke dalam dunia” menyiratkan bahwa Ia sudah ada sebelum kelahiranNya di Bethlehem; dan itu adalah kebenaran yang penting dan diulang-ulang dalam Injil Yohanes (1:9-10; 3:17, 19; 9:39...)
Namun, Yesus bukan hanya memberi tahu Pilatus tentang asalNya; Ia juga menjelaskan tentang pelayananNya; untuk memberi kesaksian tentang kebenaran. KerajaanNya adalah kerajaan kebenaran yang rohani; dan Ia akan memenangkan orang-orang untuk kerajaanNya bukan dengan paksaan, melainkan dengan menyadarkan dan menyakinkan mereka.
Bapak/ ibu yang kekasih, mari kita bandingkan dengan pasal 9:39 saat Tuhan Yesus berkata, “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi...” Dari sini kita melihat bahwa tujuan penghakiman dan tujuan memberi kesaksian adalah tujuan yang sama. Tidak ada kontradiksi disini. Jika Tuhan Yesus memberi kesaksian tentang kebenaran, Dia menyatakan bahwa Dia adalah Raja atas segala raja. Demikianlah kebenaran.
Karena itu saat Ia berbicara tentang kebenaran firman Allah dan semua orang yang adalah umatNya pastinya akan menanggapi panggilanNya (8:47 dan 10:27).
Tuhan Yesus datang untuk menjadi Raja. Lagi pula Dia datang supaya Ia dapat memberi kesaksian tentang kebenaran. KerajaanNya adalah kerajaan kebenaran dan Dia benar-benar layak dinobatkan sebagai Raja seluruh ciptaan Allah.
Di sini Tuhan Yesus tidak menegaskan bahwa Ia dilahirkan untuk memerintah, bahwa ini merupakan rencana kedatanganNya; tetapi Ia lahir/ datang untuk memberi kesaksian dan menunjukkan kebenaran. Dengan ini Ia menunjukkan sifat dari kerajaanNya. Bukan untuk menuntut kuasa, bukan untuk mengumpulkan tentara; bukan untuk menundukkan bangsa-bangsa dalam pertempuran. Tetapi hanya untuk menyatakan kebenaran kepada manusia, dan menjalankan kuasa hanya oleh kebenaran.
Karena itu satu-satunya kuasa yang dikeluarkan dalam mengekang orang jahat, dan meyakinkan orang berdosa, dalam mempertobatkan hati, dalam membimbing dan memimpin umatNya, dan dalam menguduskan mereka, adalah apa yang dihasilkan oleh penerapan kebenaran pada pikiran.
Manusia tidak dipaksa untuk menjadi orang kristen. Mereka dibuat melihat bahwa mereka adalah orang berdosa, bahwa Allah itu penuh belas kasihan, bahwa mereka membutuhkan seorang Penebus, dan bahwa Tuhan Yesus cocok dengan kasus mereka, dan mereka dibuat untuk menyerahkan diri mereka sendiri sepenuhnya pada pemerintahanNya.
Tuhan Yesus tidak datang untuk mendirikan suatu pemerintahan teokratis yang politis-religius atau bercita-cita untuk menjadi penguasa dunia. Tuhan Yesus menyatakan bahwa seandainya itu yang dimaksudkan olehNya maka hamba-hambaNya akan melawan. Sebaliknya yang merupakan Kerajaan Kristus, adalah Kerajaan yang meliputi kepemimpinan, keTuhanan, kuasa dan kegiatan rohani Kristus di dalam kehidupan semua orang yang menerima Dia dan menaati firman kebenaranNya (Band. 37).
Dengan demikian, satu penegasan yang dinyatakan Tuhan Yesus kepada Pilatus adalah setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraKu”.  Pada waktu Ia berkata bahwa mereka adalah dari kebenaran, Ia tidak memaksudkan bahwa mereka secara alamiah mengenal kebenaran, tetapi bahwa mereka diarahkan oleh Roh Allah.
Kata Yunani yang digunakan terjemahannya bukan “hear” tetapi “listen”. Jadi, bukan asal mendengar, tetapi mendengar dengan penuh perhatian. Disamping itu perkataan ini merupakan suatu tantangan. Tuhan Yesus hendak melayani Pilatus, tetapi kesempatan yang diberikan kepadaNya sangat terbatas. Seolah-olah Dia berkata: “Dengarkanlah perkataanKu, Pilatus. Jika kamu menghargai kebenaran, dengarkanlah Aku!”
Setelah mendengar tantangan ini, ada satu kesempatan yang diberikan Tuhan Yesus kepada Pilatus untuk dia dapat mengambil keputusan. Sama seperti perempuan di sumur Yakub, atau Nikodemus yang juga harus mengambil keputusan. Tanggapan Pilatus menyatakan apakah dia merindukan kebenaran seperti perempuan di sumur Yakub atau masih belum siap meninggalkan kesombongan dan kesinisannya. Kita tidak pernah tahu.
Tetapi jika melihat kronologis cerita di atas, kita dapat memahami bahwa Pilatus menolak pelayanan Tuhan Yesus. Pilatus gagal merendahkan dirinya di hadapan Dia yang adalah kebenaran.
Yang jelas Pilatus sendiri tidak termasuk dalam golongan “orang yang berasal dari kebenaran” ini. Jadi, sekalipun ia bersimpati/ mempunyai maksud baik terhadap Yesus, dalam arti ia ingin membebaskan Yesus, tetapi ia tidak mau mendengar maupun mempercayai Yesus, dan karena itu ia tetap merupakan “orang yang tidak berasal dari kebenaran”.
Pernyataan diri Tuhan Yesus adalah tema seluruh Injil Yohanes, sehingga kesimpulan ini, Aku memberi kesaksian tentang kebenaran, adalah kesimpulan yang tepat dan padat bagi tujuan kedatangan Tuhan Yesus.
Karena itu setelah Pilatus menanyatakan satu kalimat yang sangat fenomenal mengenai “Apakah kebenaran itu?”, ia keluar mendapatkan orang-orang Yahudi dan berkata kepada mereka: “Aku tidak mendapati kesalahan apapun padaNya”.
Memang Pilatus tidak terbuka kepada kesempatan yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya, tetapi bukan berarti dia mau mendukung orang-orang Yahudi itu dalam urusan mereka. Dia tidak mau mendukung mereka, tetapi dalam kasus ini orang yang tidak memihak kepada Tuhan Yesus, akhirnya searah dengan melawan Dia.
Pertanyaannya bagi kita, Mengapa Pilatus lalu keluar? Jawabannya adalah ia yakin bahwa Tuhan Yesus bukanlah raja dalam arti seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Yahudi, dan bahwa Ia tidak berbahaya bagi pemerin-tahan  Romawi, dan karena itu Ia tidak bersalah terhadap tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadaNya.
Berulangkali Pilatus menyatakan bahwa Yesus tidak bersalah (bdk. 19:4, 6b). Ini penting untuk kita catat, karena kalau Yesus bersalah, maka Ia mati untuk kesalahanNya sendiri. Tetapi karena Ia tidak bersalah, maka Ia bisa mati untuk kita.
Sebagai pencipta segala sesuatu Dia adalah sumber tertinggi semua pengetahuan kita, sehingga usaha kita untuk mengetahui kebenaran bergantung kepada Dia dan secara tak terucapkan menyaksikan mengenai Dia. Sebagaimana kasih dan keadilanNya adalah sumber dan norma bagi kasih dan keadilan manusia, demikian juga pengetahuanNya menjadi sumber dan norma bagi pengetahuan kita. Dengan demikian, segala kebenaran adalah kebenaran Allah di mana pun itu ditemukan.
Pengertian ini memberikan kepada kita dua implikasi. Pertama, kebenaran itu tidak relatif tetapi absolut, artinya kebenaran Allah itu tidak berubah dan bersifat universal. Jika pengetahuan Allah itu utuh dan benar secara sempurna, maka kebenaran itu tidak dapat berubah; ia tetap sama disetiap saat dan tempat; lagi pula ia bersifat mutlak.
Implikasi yang kedua adalah kebenaran pada dasarnya bersifat personal, bukan bersifat otonom seperti bentuk-bentuk ideal dalam “republiknya.” Saat Tuhan Yesus berbicara mengenai hal menyaksikan kebenaran, sesungguhnya Ia sedang berbicara tentang kebenaran dalam konsep Alkitab – kebenaran personal maupun proporsisional. Yesus Kristus bukan hanya mengklaim telah mengajarkan dan menyaksikan kebenaran: Dia juga mengklaim diriNya adalah kebenaran - seperti nyata tentang konsep “aletheia” dalam Yohanes 14:6. Disini kita menemukan konsep mengenai kesetiaan Allah yang sempurna, yang sekarang menyatakan diriNya dalam diri AnakNya.
Saudara, hampir saja Pilatus memperoleh penemuan terbesar dalam kehidupannya. Dan Tuhan Yesus baru saja memberitahukan bahwa Dia datang ke dalam dunia untuk memberi kesaksian tentang kebenaran. Namun sayang ia tidak mau bersujud di hadapan-Nya dengan pertobatan, pengakuan dosa, dan iman, malah mengabaikan jawaban Yesus dan berkata kepada orang-orang Yahudi, “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya.”
Sepanjang sejarah banyak pemimpin agama yang datang dan pergi, namun tak seorang pun berani menyatakan diri sebagai kebenaran dan kemudian membuktikannya dengan cara bangkit dari antara orang mati. Banyak orang di sepanjang sejarah telah mendapati bahwa kehidupan Yesus, firman-Nya, dan kebangkitan-Nya adalah bukti-bukti yang meyakinkan bahwa Dia dapat dipercaya. Dan, mereka menyimpulkan bahwa mengenal kebenaran harus dimulai dengan memiliki hubungan pribadi dengan Kristus.
Jadi dalam menyambut Natal kali ini, jangan sampai dalam menyambut natal tahun ini dan tahun-tahun ke depan kita lebih banya menyita perhatian kita, menyita waktu kita, menyita tenaga kita, menyita uang kita, menyita fokus hidup kita yang seharusnya diarahkan kepada beban yang dimiliki Tuhan Yesus untuk keselamatan jiwa-jiwa dengan kesibukan seremonial.
Faktanya, banyak orang memasuki bulan natal ini, lebih fokus kepada aksesories gereja, hiasan gereja, baju seragam, paduan suara, pengisi acara, dll. ini memang tidak salah, tetapi jika hal ini membiaskan fokus saudara yang seharusnya tertuju kepada Tuhan. Natal bukan bukan menjadi berkat tetapi menjadi bencana. Natal bukan menjadi berkat tetapi laknat.
Orang-orang kristen yang masih kanak-kanak lebih senang dengan suasana natal yang fenomenal dan spektakuler. Tapi kalau perayaan itu pada akhirnya tidak mengubah orang, lalu untuk apa? Sebaliknya kita harus merayakan natal dengan sikap hati yang benar. Memberikan perhatian kepada apa yang diinginkan Tuhan. Seluruh acara natal seharusnya memiliki tujuan bagaimana mengubah cara pandang seseorang kepada apa yang Tuhan inginkan dalam kehidupan kita.
Tuhan Yesus datang untuk menjalankan tugas penyelamatan. Ia mempertaruhkan seluruh hidupNya tanpa batas. Tuhan Yesus datang untuk membinasakan pekerjaan Iblis. Dan membawa jiwa-jiwa untuk kembali serupa dengan gambar Allah Bapa. Dan selain Tuhan Yesus menebus mereka dari dosa. Tetapi Tuhan Yesus juga menjadi teladan dan contoh. Ini satu perjuangan yang luar biasa.
Saya prihatin, banyak orang merayakan natal tanpa mengerti visi yang besar. Beban yang luar biasa di hati Tuhan ini. Ia datang untuk menjalankan tugas penyelamatan, supaya penebusan atas seorang berdosa bisa dilakukan, memikul semua kesalahan manusia di kayu salib. Dan orang-orang yang percaya kepadaNya Tuhan Yesus hendak membentuk untuk menjadi manusia sempurna. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar