KONSEP SEBUAH PELAYANAN
Matius 20:20-28
(Markus 10:35-45)
Kaum muda yang kekasih dalam Tuhan,
Ketika kita melihat perilaku anak-anak yang masih kecil,
seringkali membuat kita merasa gemas terhadap mereka. Walaupun terkadang
tindakan-tindakan mereka yang menurut pandangan umum adalah tindakan yang
keliru, namun kita memaklumi tingkah mereka sebab kita berpikir, mereka masih
kecil, dan mereka tengah dalam tahap pertumbuhan. Sepertinya kita sepakat bahwa
mereka belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang dilakukannya.
Akan tetapi, masalahnya menjadi berbeda, ketika kita
melihat sikap kekanak-kanakan seseorang terus terbawa sampai orang itu menjadi dewasa.
Sikap yang tadinya menurut kita lucu dan menggemaskan, bisa membuat kita
menjadi muak melihatnya. Mengapa saudara? Karena secara umum, perubahan fisik
yang dialami oleh seseorang seharusnya dibarengi dengan pertumbuhan mental dan
spiritualnya. Rasanya semua orang menyenangi masa anak-anak, tetapi sikap
kekanak-kanakan adalah sesuatu yang berbeda.
Saudaraku,
Di dalam perikop yang kita baca ini, kita perhadapkan
dengan satu kondisi dimana murid-murid bertengkar tentang sebuah kedudukan
dalam pelayanan. Sikap kekanak-kanakan itulah yang diperlihatkan oleh para
murid ketika mempertengkarkan siapa yang lebih besar, siapa yang paling pantas untuk
memimpin, di antara mereka. Yang sepertinya masing-masing haus akan sebuah
kepemimpinan, mereka ingin berada di posisi yang tertinggi. Sebab mereka
berpikir kepemimpinan yang mereka dapatkan, akan membawa mereka untuk lebih
disegani banyak orang, jabatan yang mereka dapatkan akan lebih dihormati banyak
orang. Inilah konsep-konsep yang dunia tawarkan, dimana dunia menekankan “aku”
sebagai pusat perhatian. “Aku” harus ditinggikan. Jika kamu menghargai “aku”
maka “aku”
pun akan menghargai kamu. Sehingga kepemimpinan merupakan wahana untuk
memuaskan kepentingan dan ambisi pribadi.
Dijelaskan di awal perikop, saat Tuhan Yesus sedang
mengajar murid-muridNya tentang pemberitahuan ketiga tentang penderitaan Yesus,
datanglah ibu anak-anak Zebedeus mendekati Yesus dan bersujud kepadaNya. Nama
ibu anak-anak Zebedeus ini adalah Salome. Saudara, kedatangan ibu anak-anak
Zebedeus ini sebenarnya adalah sesuatu yang wajar. Sebab ia memiliki hubungan
yang dekat dengan Tuhan Yesus. Ia adalah saudara perempuan Maria, ibu Yesus.
Jadi, Yakobus dan Yohanes adalah saudara sepupu Yesus. Itulah sebabnya mereka
merasa bahwa dengan hubungan yang begitu dekat itu, mereka berhak mendapatkan
tempat khusus dalam KerajaanNya. Rasanya baik di Palestina maupun di Indonesia,
hubungan darah sangat berarti. Kolusi dan Nepotisme untuk mendapatkan sebuah
jabatan rasanya juga sangat kental kita dengar dalam kehidupan kita. Ada banyak
kasus kita melihat betapa mudahnya mendapatkan pekerjaan jika ada “orang dalam”
dalam perusahaan itu. Terlebih lagi, untuk posisi yang menggiurkan.
Saudara, Ibu anak-anak Zebedeus ini berkata kepada Tuhan: “Berilah
perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam KerajaanMu, yang
seorang disebelah kanakMu dan yang seorang disebelah kiriMu” (Ayat 21).
Kita melihat, Yohanes dan Yakobus sepertinya juga memiliki ambisi pribadi dalam
mengikut Yesus, sekalipun hal itu diungkapkan oleh ibunya. Mereka masih
berpikir tentang upah pribadi dan kepentingan pribadi yang bakal mereka
dapatkan. Mereka masih berpikir tentang kesuksesan pribadi tidak harus disertai
dengan pengorbanan pribadi. Lagi pula, mereka berpikir kedekatan hubungan
dengan Tuhan Yesus sebagai pemimpin dan Guru mereka, pastinya akan memudahkan
mereka untuk menerima kuasa kepemimpinnan yang dimiliki Yesus. Paling tidak
pamor yang dimiliki Tuhan Yesus setidaknya dapat menaikkan rating mereka dimata
dunia.
Kaum muda yang kekasih,
Setiap kita harus tahu bahwa kebesaran yang sejati bukanlah
soal kepemimpinan, kekuasaan, atau prestasi perorangan yang tinggi, melainkan
sikap hati yang dengan sungguh-sungguh ingin hidup bagi Allah dan bagi sesama
manusia. Keagungan sejati tidak terletak dalam kekuasaan, melainkan dalam
pelayanan; bahwa dalam setiap bidang keagungan itu ada harga yang harus
dibayar.
Dengan demikian, hal yang terpenting dalam Kerajaan Allah
adalah melayani dan menjadi berkat, bukan dilayani dan mendapatkan keuntungan
pribadi. Padahal saudara, Tuhan Yesus telah memperlihatkan banyak teladan
melalui kehidupanNya, namun murid-muridNya masih belum memahami bahwa kebesaran
dalam Kerajaan Allah itu diukur melalui pelayanan yang dilakukan. Murid-murid
belum mengerti bahwa orang yang lebih dihargai dalam pandangan Allah adalah
orang yang menempatkan diri sebagai hamba.
Namun kalau kita melihat kenyataan yang ada, kepemimpinan
sebagai hamba yang telah diperagakan oleh Tuhan Yesus melalui seluruh
kehidupan-Nya di bumi itu belum bisa diteladani oleh para pemimpin gereja pada
masa kini. Karena itu sungguh menyedihkan saudara, kalau hari ini ada banyak
orang mau melayani namun masih mempertimbangkan apa keuntungan yang bakal
diperolehnya? Masih banyak orang Kristen yang mau melayani bila mendapat
jabatan sebagai majelis gereja atau sebagai pengurus komisi dan tidak lagi melayani
bila masa jabatannya berakhir? Bukankah masih banyak orang Kristen yang memakai
siasat dan cara-cara yang kurang terpuji untuk menjatuhkan "saingan" agar dirinya
bisa mendapat suatu kedudukan tertentu? Bukankah masih banyak orang Kristen
yang lebih suka "tampil"
di depan umum daripada melayani secara diam-diam?
Karena itu Tuhan Yesus berkata: “Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta.
Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?” (Ayat 22). Secara
tidak langsung Tuhan Yesus hendak memberikan satu pemahaman yang benar kepada
keduanya tentang proses yang harus dilalui, yakni harga yang harus dibayar
untuk mencapai posisi tersebut. Sebab selama ini, mereka hanya berorientasi
pada “hasil”
dan mengabaikan “proses”
yang harus dilewati.
Tindakan Yohanes dan Yakobus dengan ibu mereka yang meminta
agar kelak Yohanes dan Yakobus bisa duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus
menunjukkan bahwa mereka belum memahami tentang pemimpin yang sesungguhnya
dalam Kerajaan Allah, sebab itu mereka rakus akan kekuasaan.
Lagi pula dibalik permintaan
kedua murid itu tersembunyi kesombongan, suatu kecongkakan demi kepentingan
diri sendiri, sikap memandang rendah saudara mereka, dan keinginan sombong akan
kehormatan dan kedudukan yang lebih tinggi. Semua keinginan tersebut di dorong
oleh karena adanya rasa takut, sikap manja dan kepribadian yang belum matang
dalam diri mereka.
Kaum muda yang kekasih,
Jangan kita berfokus kepada apa yang akan kita peroleh,
namun mari kita kerjakan apa yang menjadi bagian kita, dan menerima konsekuensi
dari apa yang akan kita kerjakan dalam pelayanan ini. Sebab jika kita melihat
lebih seksama, Tuhan Yesus bukannya tidak memberi upah disurga, sebaliknya Ia
berkata: “tetapi
hal duduk disebelah kanakKu atau di sebelah kiriKu, Aku tidak berhak
memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa BapaKu telah
menyediakannya" (ayat 23). Dengan kata lain, bagian kita adalah
mengerjakan panggilan kita, dan bagian Tuhan adalah menyediakan upah bagi
mereka yang diperkenan Bapa. Jadi mari lebih dahulu kita kerjakan panggilan
pelayanan ini, karena upah yang di surga memang sudah disediakan Bapa bagi
mereka yang setia kepadaNya.
Jadi pelayanan bukan pertama-tama berbicara tentang apa
yang akan kita dapat, tapi pelayanan berbicara apa yang harus kita tanggung
dalam pelayanan yang kita kerjakan. Pertanyaannya, "Beranikah kita membayar harga untuk
pelayanan yang kita lakukan?"
Tuhan Yesus menyadari ketegangan yang timbul diantara
murid-muridNya. Oleh sebab itu Ia mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan
penjelasan yang benar mengenai konsep sebuah pelayanan. Jawab Yesus Kristus
atas permintaan ini yang ditujukan bukan kepada sang ibu, tetapi kepada kedua
putranya yang mendorongnya untuk mengajukan permintaan itu. Jawab Yesus sangat
halus. Kedua murid dikuasai oleh keinginan kuat yang keliru akan tetapi Tuhan Yesus
memimpin mereka ke jalan yang benar dengan roh lemah lembut.
Permintaan Yakobus dan Yohanes dengan sendirinya mengusik
para murid yang lain. Dari sini kita mendapatkan satu kenyataan bahwa Yohanes
dan Yakobus bukanlah orang-orang kudus yang super. Sebaliknya mereka hanya
dipanggil, diperlengkapi dan digunakan oleh Allah.
Kesepuluh murid lain yang sejak tadi mendengarkan dialog
itu menjadi marah kepada Yakobus dan Yohanes. Kemarahan kesepuluh murid juga
bukan karena sudah paham akan maksud Yesus. Sebab mereka tidak mengerti mengapa
kedua kakak beradik ini harus mencuri langkah, walaupun mereka saudara sepupu
Tuhan Yesus. Mereka juga tidak mengerti mengapa kedua orang itu harus dibiarkan
menuntut kedudukan istimewa. Kemarahan mereka juga adalah dalam rangka
memperebutkan jabatan tersebut, hanya saja dengan cara yang lain yaitu “cari muka”.
Karena sejujurnya, kesepuluh murid itu juga tidak rela tanpa mendapat posisi
empuk. Sungguh, mereka semua hanya berpikir tentang jabatan dunia, padahal
Yesus tidak pernah menjanjikan jabatan dunia kepada para murid untuk itu.
Kita melihat saudara, bahwa Tuhan Yesus tahu apa yang
terkandung dalam benak mereka. Karenanya Ia tidak menyurutkan ambisi untuk
memperoleh kebesaran, tetapi Ia mendefinisikan keagungan yang sejati sebagai
pelayanan dan kemurahan hati. Ia berbicara kepada mereka dalam kalimat yang
merupakan dasar utama dalam kehidupan kristiani.
Tuhan Yesus mengoreksi pandangan tersebut. Dia mengajukan
cara pandang yang menjungkirbalikkan perspektif para murid. Kepemimpinan sejati
tidak berfokus pada diri sendiri, tetapi pada kesejahteraan orang lain. Bekal
utamanya ialah kerendahan hati dan kesediaan untuk melayani sesama. Seorang
pemimpin akan rela menyingkirkan kepentingan pribadinya demi memberikan
sumbangsih yang bermakna bagi orang banyak. Kepemimpinan, dalam pandangan
Yesus, bukan terutama mengacu pada kedudukan, melainkan pada sikap dan motivasi
hati.
Di dunia, Yesus mengatakan bahwa memang benar, orang yang
besar adalah orang yang berkuasa atas orang lain; orang yang perintahnya harus
dipatuhi oleh yang lain; orang yang mampu menggerakkan orang lain hanya dengan
gerakan tangannya.
Agar para murid mengerti akan visi Yesus, maka Yesus
menggambarkan pemerintahan yang terjadi di tengah-tengah bangsa-bangsa. Yesus berkata:
“Kamu tahu,
bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan
besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka”
(Ayat 25). Hal ini memang terjadi di sepanjang zaman. Di dunia ini,
orang yang “memerintah”
dan “menjalankan
kuasa” dipandang sebagai orang yang besar. Karenanya tidak heran
jika manusia dunia suka memerintah dan menguasai orang lain. Keinginan tersebut
dapat dicapai dengan jabatan yang melekat pada dirinya, sehingga ia dapat
memerintah demi kepentingan membesarkan diri. Untuk hal itu, para pemimpin
tidak segan-segan menggunakan segala cara, sehingga menambah penderitaan
masyarakat. Itulah realita dunia.
Tetapi cara pandang dunia berbeda dengan cara pandang dalam
Kerajaan Allah. Yesus tidak menghendaki kerajaan dan pemerintahan dunia, dimana
manusia mengalami tekanan dan penderitaan. Berbeda dengan pola kepemimpinan
pemerintah bangsa-bangsa yang mengedepankan tangan besi dan kekerasan, maka
pola kepemimpian kristiani adalah pola kepemimpinan melayani/ menghamba.
Saudara, Tuhan Yesus menunjukkan teladan dari diriNya
sendiri. Dengan kuasa-kuasa seperti yang ada padaNya. Ia bisa saja mengatur
keseluruhan hidupNya sesuai dengan keinginan diriNya. Namun, Ia telah
menyerahkan diriNya dan mempergunakan semua kuasaNya untuk melayani orang lain.
Ia mengatakan bahwa “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan
untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang”
(Ayat 28). Ini adalah salah satu ungkapan yang agung dalam Injil.
Inilah arti dari kebesaran yang ingin dijelaskan Tuhan Yesus, dengan satu
maksud setiap orang yang percaya kepadaNya dapat meneladani sikapNya.
Yesus menghendaki kerajaan yang menghadirkan damai
sejahtera. Yesus telah mengajarkan dan praktekkan kerajaan seperti itu selama
pelayananNya. Yesus telah memberi teladan, dimana ia hadir sebagai seorang
hamba. Kepemimpinan yang demikian itulah yang Yesus kehendaki berlangsung di
dalam kerajaanNya. Di dalam Kerajaan Tuhan kebesaran seseorang diukur dari
seberapa besar kesediaannya melayani terhadap sesama mereka dan semua orang. Dunia
memang memandang mereka yang punya kuasa sebagai seseorang yang penting dan
terhormat. Tetapi di dalam Tuhan Yesus, hanya pelayanan yang merupakan lambang
kebesaran. Kebesaran tidak terletak pada memerintah orang lain untuk melakukan
sesuatu bagi kita; melainkan terletak pada melakukan sesuatu bagi orang lain.
Gereja adalah persekutuan milik Tuhan yang dipakai untuk
menghadirkan kerajaanNya, dimana orang-orang yang bersekutu di dalamnya mesti
saling melayani. Pelayanan yang diperbuat adalah untuk kehendak Tuhan. Setiap
anggota harus legowo apabila kehendaknya tidak tercapai. Kehendak Tuhan itu
terlihat di dalam kehidupan berjemaat apabila setiap orang merasakan sukacita.
Kita telah dipanggil Tuhan dalam persekutuan jemaatNya,
baik sebagai jemaat maupun sebagai pengurus komisi. Tuhan berkenan memanggil
kita menjadi hambaNya sebagai pelayan, untuk melakukan kehendakNya, bukan
kehendak kita sendiri. Jika kita memaksakan kehendak kita, maka kita bukan lagi
hamba tetapi telah menjadi tuan. Umat Tuhan dalam suatu persekutuan harusnyalah
melaksanakan pelayanan dengan segala ketulusan dan tidak perlu ada kecewa.
Juga, seorang hamba tidak perlu mengatakan kepada tuannya bahwa satu hari itu
ia telah bekerja keras, supaya ia mendapat pujian. Itu sudah bagian dari tugasnya
sebagai seorang hamba.
Makin besar pelayanan, makin besar pula kehormatan. Yesus
menggunakan semacam gradasi, sebuah kekontrasan. Karena itu Ia berkata: “Barangsiapa
ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan
barangsiapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu”
(Ayat 26). Inilah revolusi
kristiani yang menjungkirbalikkan paradigma dunia tentang sebuah kebesaran.
Jadi dalam hal ini saudara, orang percaya hendaknya tidak
berusaha untuk meraih kedudukan yang tertinggi dengan maksud untuk menguasai
atau memerintah orang lain. sebaliknya mereka harus memberikan diri untuk
menolong orang lain, dan khususnya bekerja demi kesejahteraan rohani semua orang.
Pelayanan dapat kita lakukan menolong orang-orang kecil, yang mungkin tak bisa
membalas karena keterbatasannya. Kita perlu memberi penghormatan dan pelayanan
pada setiap orang sekalipun tampilan lahiriah atau kedudukan sosialnya rendah.
Sebab hasrat menjadi yang terbesar dapat mengancam
keefektifan kita sebagai murid Tuhan. Hasrat untuk memperoleh kemuliaan diri, seharusnya
tidak dimiliki seorang pengikut Yesus. Sebaliknya, milikilah hati seorang hamba,
yang berusaha mengutamakan orang lain lebih tinggi daripada kepentingan diri
sendiri dan merendahkan diri sendiri, atas dasar kasih kepada Tuhan maka
kerajaan Allah sungguh-sungguh hadir dalam kehidupan kita.
Bagaimana dengan kita saudara? Apakah selama ini, kita
berusaha mengejar posisi dan mencari pujian dalam setiap pelayanan yang kita
buat, sehingga kita mengincar keuntungan pribadi? Ataukah kita sungguh-sungguh
rindu untuk memberkati orang lain, melakukannya yang terbaik seperti untuk
Tuhan? Bersediakah kita merendahkan diri sebagai pelayan yang kita buat?
Kiranya perenungan ini dapat menjadi berkat. Amin.