KESAKSIAN TENTANG KEBENARAN
Yohanes 18:28-38a
Sidang jemaat yang kekasih di dalam Tuhan,
Tidak terasa hari ini kita sudah memasuki minggu pertama di bulan Desember.
Bulan dimana kita banyak mendengarkan khotbah-khotbah yang berkenaan dengan
kisah kelahiran Tuhan Yesus Kristus: Tentang pribadi Tuhan Yesus, Tentang
gembala-gembala dan orang-orang majus, tentang Maria dan lain sebagainya.
Saudara, peristiwa-peristiwa itu memang menjadi bukti sejarah yang pernah
terjadi di dalam kehidupan manusia. Dan itu terjadi pada dua ribu tahun yang
silam.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Dua ribu tahun bukanlah waktu yang singkat, sejak kedatangan Tuhan Yesus
yang berinkarnasi mengenakan tubuh jasmani seperti kita. Dua ribu tahun bukan
waktu yang singkat, saat Tuhan Yesus lahir di kota Bethlehem pada tahun 4 sM.
Yang oleh penanggalan kekaisaran Roma, karena salah menghitung tahun, mereka
menetapkan tahun 1 adalah tahun kelahiran Yesus. Padahal yang benar 4 tahun
sebelum Masehi dimulai.
Saudara, selama dua ribu tahun ini, gereja telah melewati tahun-tahun
sejarahnya yang sangat panjang. Gereja sudah belajar banyak bagaimana mengiring
Tuhan, sang majikan dan Juruselamatnya Yesus Kristus. Seharusnya gereja sudah
menjadi dewasa. Gereja harus sudah memahami pikiran dan perasaan Allah dan
benar-benar bisa berjalan se visi dengan Tuhan sendiri. Apalagi menjelang
kedatangan Tuhan kedua kali yang tentunya makin dekat, gereja-gereja Tuhan
harus mulai menjadi gereja yang matang, gereja yang dewasa, gereja yang bisa
benar-benar seiring dengan Tuhan.
Saudara, kedewasaan dan kematangan gereja tidak bisa diukur dari sikapnya
yang menunjukkan sebagai gereja yang intelek, gereja yang profesional secara
managerial, gereja yang memiliki aset-aset besar atau banyak. Jangan pernah berpikir
kalau gereja yang profesional dalam managemen, gereja memiliki aset-aset yang
berlimpah dan gedung-gedung yang megah berarti gereja mengalami kemajuan. Itu
bukan ukuran kedewasaan gereja!. Sebaliknya, kematangan dan kedewasaan gereja
dapat di ukur dari beban yang ada di dalam hati mereka apakah seiring dengan
beban yang Tuhan Yesus miliki. Apakah gereja dalam hal ini para pelayan-pelayan
jemaat dan jemaatnya mau mengerti dan peduli terhadap beban di hati Tuhan
tersebut. Apakah gereja memahami keprihatinan dan memahami dukacita dalam hati
Tuhan yang melihat dunia yang sedang bergulir dalam kegelapan abadi.
Gereja yang dewasa adalah gereja yang memiliki beban, gereja yang memiliki
keprihatinan terhadap kondisi dunia yang sedang menuju pada kegelapan abadi.
Kita melihat saudara, ketika murid-murid Tuhan Yesus, orang percaya belum
dewasa. Mereka turut hanyut dalam gelombang besar orang-orang Yahudi yang tidak
memahami kehendak Allah. Murid-murid itu tidak mengerti maksud tujuan Tuhan
Yesus datang ke dunia. Mereka menduga, mengharapkan dan menuntut Tuhan Yesus
akan menjadi pahlawan mereka. Pahlawan yang akan membebaskan bangsa Israel dari
penjajahan Romawi.
Jadi ketika Tuhan Yesus datang ke Yerusalem, beberapa hari sebelum
penyalibanNya. Orang-orang mengelu-elukan Tuhan Yesus. Orang-orang
menghamparkan pakaiannya, dijalan-jalan, dimana keledai Tuhan Yesus hendak
lewat. Itu tidak pernah dilakukan oleh bangsa Yahudi kepada siapa pun. Belum pernah
ada kejadian seperti itu. Mereka mengambil daun palem, mereka
melambai-lambaikan.
Biasanya hal seperti ini dilakukan oleh satu masyarakat yang hendak
menyongsong pahlawan perang yang menang perang. Jadi dengan cara demikian,
sepertinya mereka memaksa Tuhan Yesus untuk menjadi pahlawan berdasarkan versi
mereka. Mereka berharap Tuhan Yesus dapat menjadi Juruselamat berdasarkan versi
mereka. Dan ironisnya, murid-murid Tuhan Yesus termasuk dari barisan kelompok masa
yang mengelu-elukan Tuhan Yesus dengan cara demikian, karena mengharapkan Mesias
versi mereka. Murid-murid belum dewasa sehingga mereka memiliki cara pandang
yang sama dengan orang-orang disekitarnya.
Padahal kedatangan Tuhan Yesus ke Yerusalem itu mau disalib. Jadi terdapat
kontradiksi antara versi orang Yahudi bersama murid-murid dengan versi Tuhan
Yesus. Di dalam Yohanes 12:18 mereka benar-benar hanyut tenggelam dalam hiruk
pikuk orang-orang yang begitu semangat menjadikan Tuhan Yesus sebagai raja mereka.
Sungguh satu hal yang menyedihkan. Orang-orang ini tidak mengerti maksud
Tuhan Yesus turun ke dalam dunia. Padahal Tuhan Yesus memiliki beban yang dalam
terhadap jiwa-jiwa yang terhilang, terhadap manusia yang sedang meluncur ke
dalam kegelapan abadi. Tetapi orang-orang Yahudi termasuk murid-muridNya,
mereka memikirkan kebutuhan mereka sendiri, kesenangan mereka sendiri, obsesi
mereka sendiri. Mereka lebih memilih berkat sesuai selera mereka. Padahal Tuhan
memiliki rancangan yang lain, yang jauh lebih baik.
Dalam hal ini saudara, seperti terjadi benturan kepentingan antara Tuhan
dan manusia. Tuhan Yesus memikirkan keselamatan dunia dan menyediakan berkat
kekakalan, tetapi orang-orang Yahudi dan murid-murid yang belum dewasa itu lebih
berpikir kepada kebutuhan jasmani mereka.
Hingga saat puncak harapan mereka telah menjadi pupus, mereka menyeret
Yesus ke pengadilan Romawi. Sementara mereka sendiri tidak masuk ke dalamnya.
Dikatakan dalam tadi dalam ayat 28: “Maka mereka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung
pengadilan. Ketika itu hari masih pagi. Mereka sendiri tidak masuk ke gedung
pengadilan itu, supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan
Paskah”.
Jika kita bandingkan dengan ketiga Injil
yang lain, kita melihat Yohanes sepertinya menceritakan kisah pengadilan
di hadapan Pilatus ini secara lebih lengkap dan terperinci.
Dengan kata lain, saudara, Yohanes hanya membicarakan sedikit tentang
pengadilan Yahudi terhadap Yesus. Ia juga tidak menceritakan tentang semua yang
terjadi di hadapan Kayafas, baik tentang saksi-saksi palsu, maupun tentang
penghinaan-penghinaan yang dialami Yesus di sana.
Yang sepertinya ada satu hal yang lebih menarik bagi Yohanes sehingga ia
menuliskan kisah ini secara terperinci.
Tetapi yang pasti, Orang-orang Yahudi itu harus membawa Yesus ke hadapan Pontius Pilatus
karena mereka sendiri tidak mempunyai hak untuk melaksanakan hukuman mati. Dan
itu dilakukannya pada pagi-pagi sekali tepatnya pada pk. 05.00 – 06.00, orang-orang Yahudi
membawa Yesus ke hadapan Pilatus untuk diadili.
Bapak/ ibu
yang kekasih dalam Tuhan
Tekad mereka
sudah bulat, tujuannya adalah berusaha menyerahkan Yesus untuk di hukum mati,
melalui tangan Romawi. Mereka merelakan waktu istirahat mereka demi menyerahkan
Yesus. Pada saat yang sama mereka juga mengumpulkan kaki tangan mereka untuk
ikut menentang Tuhan. Tetapi anehnya, mereka tidak mau menajiskan dirinya
dengan masuk ke tempat Pilatus tinggal/ gedung pengadilan. Dengan alasan,
mereka hendak makan paskah.
Jadi
saudara, orang-orang Yahudi tidak mau menajiskan diri,
tetapi mau membunuh orang yang tak bersalah. Jadi, mereka membawa
Yesus ke gedung pengadilan, tetapi mereka sendiri tidak masuk ke dalamnya,
karena mereka tidak mau menajiskan diri mereka.
Perhatikan saudara, bagaimana liciknya hati mereka. Hati nurani orang-orang
Yahudi itu telah dibutakan oleh dosa sehingga mereka merancangkan satu
pembunuhan yang begitu nista, tetapi masih berani bicara soal kesucian diri.
Melihat kondisi ini, maka Pilatus yang keluar mendapatkan mereka.
Demikianlah dikatakan dalam ayat 29: “Sebab itu Pilatus keluar mendapatkan mereka dan
berkata: ‘Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini?’”.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan, pertanyaan Pilatus bukan didasari oleh
ketidaktahuan dia tentang apa yang
terjadi, tetapi karena secara formal itu memang harus dilakukan. Dan karena itulah Pilatus bertanya: “‘Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini?”.
Kemudian orang-orang Yahudi melontarkan
satu tuduhan palsu dengan mengatakan: ”Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak
menyerahkanNya kepadamu!” (ayat 30).
Saudara perhatikan bagaimana liciknya orang-orang Yahudi dalam mendakwa
Tuhan Yesus. Dalam pengadilan di hadapan Sanhedrin, Yesus dijatuhi hukuman mati
dengan alasan menghujat Allah (Matius 26:65). Tetapi di hadapan Pilatus
mereka tidak berani menggunakan alasan itu, karena alasan yang bersifat agama,
dan pastinya hal itu tidak akan dipedulikan oleh Pilatus. Karena itu mereka
mengatakan bahwa Yesus adalah seorang penjahat.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan.
Kalau saudara benci/ sentimen kepada seseorang, ingatlah bahwa hal itu
sudah merupakan dosa di hadapan Tuhan. Jangan menambahi dosa itu dengan
fitnahan tentang orang itu; sebaliknya, saudara harus memberes-kan kebencian
itu di hadapan Tuhan.
Mendengar jawaban mereka, maka Pilatus berkata dalam ayat 31: “Kata Pilatus kepada mereka: ‘Ambillah Dia dan
hakimilah Dia menurut hukum Tauratmu.’ Kata orang-orang Yahudi itu: ‘Kami tidak
diperbolehkan membunuh seseorang.’”
Saudara, tujuan mereka membawa Tuhan Yesus kepada Pilatus hanya satu, yaitu
berusaha untuk membunuhnya, tetapi karena secara hukum mereka tidak memiliki
hak untuk membunuh, maka mereka berusaha memperalat Pilatus untuk mengikuti
keinginan mereka. Dengan kata lain saudara, sepertinya mereka ingin mengatakan:
‘Engkau
tidak akan mengijinkan kami membunuhNya; dan karena engkau adalah hakim,
lakukanlah tugasmu’.
Disisi lain, Yohanes mengingatkan setiap
kita bahwa kejadiannya memang harus demikian, supaya “genaplah firman Yesus,
yang dikatakanNya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati (Yohanes
3:14, 12:32). Karena itu Yesus harus mati di tangan
orang Romawi, bukan di tangan orang Yahudi.
Jika kita mengacu kepada hukum Taurat, hukuman mati untuk seorang penghujat seharusnya adalah
melalui perajaman (Imamat 24:16). Jadi, seandainya Yesus mati di tangan
orang-orang Yahudi, maka Ia pasti dirajam, bukannya disalib. Tetapi dengan
diserahkannya Yesus ke tangan orang Romawi, maka hukuman mati dilaksanakan oleh
pihak Romawi, sehingga akhirnya Yesus mati melalui penyaliban, seperti yang
telah Ia nubuatkan.
“Maka, kembalilah Pilatus ke dalam gedung pengadilan, lalu
memanggil Yesus dan bertanya kepadaNya: ‘Engkau inikah raja orang Yahudi?’” (ayat 33).
Saudara, Pertanyaan ini ditanyakan oleh Pontius Pilatus, karena adanya
tuduhan bahwa Yesus memang menyatakan diri sebagai raja. Dalam Lukas 23:2 disebutkan bahwa- “Di situ mereka mulai menuduh Dia, katanya: ‘Telah
kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang
membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diriNya Ia mengatakan, bahwa Ia
adalah Kristus, yaitu Raja.’”
Pertanyaan tentang apakah Yesus raja
orang Yahudi dilaporkan oleh keempat penulis Injil. Dan sebagai Gubernur
Romawi, tentu saja Pilatus tertarik dengan suatu pengakuan Yesus sebagai raja. Lagipula
saudara, pengharapam Mesianis selalu meningkat selama paskah, dan mudah bagi
seorang penipu Yahudi untuk menghasut orang ke dalam huru-hara atau pemberontakkan
terhadap Roma.
Karenanya tidak diragukan bahwa Pilatus
merasa dirinya aman ketika ia menanyakan tentang pengakuan Yesus sebagai raja.
Namun rupanya ia tidak siap untuk
jawaban yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya, “Engkau sendiri
mengatakannya” (Matius 17:11). Namun Yesus kemudian menambahkan dengan pertanyaan lain,
“Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri,
atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?” (ayat 34).
Saudara, kata-kata Tuhan Yesus ini mengandung arti: “Apakah engkau sendiri
mencurigai Aku, atau karena orang banyak yang telah menuduh Aku, sehingga
engkau menanyakan pertanyaan itu?”
Jika yang ada di dalam benak Pilatus
adalah raja Romawi, maka keberadaan Tuhan Yesus dapat dipandang sebagai seorang
pemberontak. Tetapi jika yang dipikirkan gubernur itu adalah raja orang Yahudi,
maka soal-soal politik dapat dikesampingkan.
Hanya yang menarik saudara, setidaknya ada
empat kali Pilatus menyebut Yesus “raja” selama pengadilan tersebut, dan bahkan
menuliskan gelar tersebut pada plakat yang digantung di atas kayu salibNya
(18:39; 19:3, 14, 15, 19).
Jika Pilatus mengatakan hal itu dari
hatinya sendiri, maka tujuan Tuhan Yesus, yaitu melayani Pilatus, akan jauh
lebih mudah karena Pilatus mungkin lebih siap mendengarkan kebenaran.
Tetapi jika dia hanya mendengar itu dari
orang lain, maka jelas Pilatus akan sulit untuk dilayani, karena dia sudah
dibingungkan oleh kebencian para pemimpin agama Yahudi, dan tidak memiliki
kerinduan dalam hatinya sendiri untuk mengerti kebenaran atau mengenal Allah.
Karena itu ia malah balik bertanya: “Apakah aku seorang Yahudi? BangsaMu
sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku; apakah
yang telah Engkau perbuat?” (ayat 35).
Dari sini kita pahami saudara, bahwa jawaban Pilatus kepada Yesus menunjukkan apa yang
dipikirkan orang-orang Romawi terhadap orang-orang Yahudi: Karenanya pertanyaan
Pilatus mengenai “Apakah aku seorang Yahudi?” tidak lebih dari sebuah penghinaan dalam
nada yang sinis.
Dalam hal ini saudara, rupanya dalam
diri Pilatus memang tidak ada keterbukaan untuk hal-hal rohani. Karenanya ia
tidak peka ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai hal KerajaanNya.
Dan lebih lanjut Tuhan Yesus berkata: “KerajaanKu bukan dari
dunia ini; jika KerajaanKu dari dunia ini, pasti hamba-hambaKu telah melawan,
supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi KerajaanKu bukan
dari sini.” (ayat 36).
Dalam kekacauan pikiran yang dirasakan
Pilatus, ia kembali bertanya: “Jadi Engkau adalah raja?’ Jawab Yesus:
‘Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk
itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang
kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraKu.”
(ayat 37).
Saudara, pertanyaan
ini tidak bisa dijawab sekedar dengan kata “Ya” atau “Tidak”, karena kalau demikian justru tidak akan mendapatkan jawaban yang
sesungguhnya. Dalam beberapa kasus di pengadilan, seringkali seseorang yang
ditanyai hanya diijinkan untuk menjawab dengan “Ya” atau “Tidak”, dan anehnya hakim biasanya menyetujui
pembatasan seperti itu.
Namun dalam kasus pengadilan terhadap Yesus ini, sang hakim, yaitu Pilatus,
ternyata mau mendengarkan jawaban panjang lebar dalam ayat ini, dan ini
merupakan sesuatu yang bijaksana. Ini menyebabkan ia betul-betul mendapatkan
jawaban yang benar.
Tuhan Yesus menjelaskan tentang siapa
Dia dan seperti apa KerajaanNya. Pilatus mungkin tidak memahami arti dari
kata-kata yang mendalam itu, tetapi kita saat ini dapat menangkap beberapa hal
yang dimaksudkan Yesus. Ia “lahir” adalah menunjuk pada kemanu-siaanNya; “Ia datang ke dalam dunia” menunjukkan ketuhananNya.
Kenyataan bahwa Yesus “datang ke dalam dunia” menyiratkan bahwa Ia sudah ada sebelum kelahiranNya di
Bethlehem; dan itu adalah kebenaran yang penting dan diulang-ulang dalam Injil
Yohanes (1:9-10; 3:17, 19; 9:39...)
Namun, Yesus bukan hanya memberi tahu
Pilatus tentang asalNya; Ia juga menjelaskan tentang pelayananNya; untuk
memberi kesaksian tentang kebenaran. KerajaanNya adalah kerajaan kebenaran yang
rohani; dan Ia akan memenangkan orang-orang untuk kerajaanNya bukan dengan
paksaan, melainkan dengan menyadarkan dan menyakinkan mereka.
Bapak/ ibu yang kekasih, mari kita
bandingkan dengan pasal 9:39 saat Tuhan Yesus berkata, “Aku
datang ke dalam dunia untuk menghakimi...” Dari sini kita melihat bahwa tujuan
penghakiman dan tujuan memberi kesaksian adalah tujuan yang sama. Tidak ada
kontradiksi disini. Jika Tuhan Yesus memberi kesaksian tentang kebenaran, Dia
menyatakan bahwa Dia adalah Raja atas segala raja. Demikianlah kebenaran.
Karena itu saat Ia berbicara tentang
kebenaran firman Allah dan semua orang yang adalah umatNya pastinya akan
menanggapi panggilanNya (8:47 dan 10:27).
Tuhan Yesus datang untuk menjadi Raja.
Lagi pula Dia datang supaya Ia dapat memberi kesaksian tentang kebenaran.
KerajaanNya adalah kerajaan kebenaran dan Dia benar-benar layak dinobatkan
sebagai Raja seluruh ciptaan Allah.
Di sini Tuhan Yesus tidak menegaskan
bahwa Ia dilahirkan untuk memerintah, bahwa ini merupakan rencana
kedatanganNya; tetapi Ia lahir/ datang untuk memberi kesaksian dan menunjukkan
kebenaran. Dengan ini Ia menunjukkan sifat dari kerajaanNya. Bukan untuk
menuntut kuasa, bukan untuk mengumpulkan tentara; bukan untuk menundukkan
bangsa-bangsa dalam pertempuran. Tetapi hanya untuk menyatakan kebenaran kepada
manusia, dan menjalankan kuasa hanya oleh kebenaran.
Karena itu satu-satunya kuasa yang
dikeluarkan dalam mengekang orang jahat, dan meyakinkan orang berdosa, dalam
mempertobatkan hati, dalam membimbing dan memimpin umatNya, dan dalam
menguduskan mereka, adalah apa yang dihasilkan oleh penerapan kebenaran pada
pikiran.
Manusia tidak dipaksa untuk menjadi
orang kristen. Mereka dibuat melihat bahwa mereka adalah orang berdosa, bahwa
Allah itu penuh belas kasihan, bahwa mereka membutuhkan seorang Penebus, dan
bahwa Tuhan Yesus cocok dengan kasus mereka, dan mereka dibuat untuk menyerahkan
diri mereka sendiri sepenuhnya pada pemerintahanNya.
Tuhan Yesus tidak datang untuk
mendirikan suatu pemerintahan teokratis yang politis-religius atau bercita-cita
untuk menjadi penguasa dunia. Tuhan Yesus menyatakan bahwa seandainya itu yang
dimaksudkan olehNya maka hamba-hambaNya akan melawan. Sebaliknya yang merupakan
Kerajaan Kristus, adalah Kerajaan yang meliputi kepemimpinan, keTuhanan, kuasa
dan kegiatan rohani Kristus di dalam kehidupan semua orang yang menerima Dia
dan menaati firman kebenaranNya (Band. 37).
Dengan demikian, satu penegasan yang
dinyatakan Tuhan Yesus kepada Pilatus adalah “setiap orang yang berasal dari kebenaran
mendengarkan suaraKu”. Pada waktu Ia berkata bahwa mereka adalah dari
kebenaran, Ia tidak memaksudkan bahwa mereka secara alamiah mengenal kebenaran,
tetapi bahwa mereka diarahkan oleh Roh Allah.
Kata Yunani yang digunakan terjemahannya bukan “hear” tetapi “listen”. Jadi, bukan asal mendengar, tetapi mendengar dengan penuh perhatian. Disamping itu perkataan ini merupakan
suatu tantangan. Tuhan Yesus hendak melayani Pilatus, tetapi kesempatan yang
diberikan kepadaNya sangat terbatas. Seolah-olah Dia berkata: “Dengarkanlah perkataanKu, Pilatus. Jika kamu
menghargai kebenaran, dengarkanlah Aku!”
Setelah mendengar tantangan ini, ada
satu kesempatan yang diberikan Tuhan Yesus kepada Pilatus untuk dia dapat mengambil
keputusan. Sama seperti perempuan di sumur Yakub, atau Nikodemus yang juga harus
mengambil keputusan. Tanggapan Pilatus menyatakan apakah dia merindukan
kebenaran seperti perempuan di sumur Yakub atau masih belum siap meninggalkan
kesombongan dan kesinisannya. Kita tidak pernah tahu.
Tetapi jika melihat kronologis cerita di
atas, kita dapat memahami bahwa Pilatus menolak pelayanan Tuhan Yesus. Pilatus
gagal merendahkan dirinya di hadapan Dia yang adalah kebenaran.
Yang jelas Pilatus sendiri tidak termasuk dalam golongan “orang yang berasal
dari kebenaran” ini. Jadi, sekalipun ia bersimpati/
mempunyai maksud baik terhadap Yesus, dalam arti ia ingin membebaskan Yesus,
tetapi ia tidak mau mendengar maupun mempercayai Yesus, dan karena itu ia tetap
merupakan “orang yang tidak berasal dari kebenaran”.
Pernyataan diri Tuhan Yesus adalah tema
seluruh Injil Yohanes, sehingga kesimpulan ini, Aku memberi kesaksian tentang
kebenaran, adalah kesimpulan yang tepat dan padat bagi tujuan kedatangan Tuhan
Yesus.
Karena itu setelah Pilatus menanyatakan satu kalimat yang sangat fenomenal
mengenai “Apakah
kebenaran itu?”, ia keluar mendapatkan orang-orang Yahudi dan berkata kepada
mereka: “Aku tidak mendapati kesalahan apapun
padaNya”.
Memang Pilatus tidak terbuka kepada kesempatan
yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya, tetapi bukan berarti dia mau mendukung
orang-orang Yahudi itu dalam urusan mereka. Dia tidak mau mendukung mereka,
tetapi dalam kasus ini orang yang tidak memihak kepada Tuhan Yesus, akhirnya
searah dengan melawan Dia.
Pertanyaannya bagi kita, Mengapa Pilatus lalu keluar? Jawabannya adalah ia
yakin bahwa Tuhan Yesus bukanlah raja dalam arti seperti yang dituduhkan oleh
orang-orang Yahudi, dan bahwa Ia tidak berbahaya bagi pemerin-tahan
Romawi, dan karena itu Ia tidak bersalah terhadap tuduhan-tuduhan yang
diberikan kepadaNya.
Berulangkali Pilatus menyatakan bahwa Yesus tidak bersalah (bdk. 19:4, 6b).
Ini penting untuk kita catat, karena kalau Yesus bersalah, maka Ia mati untuk
kesalahanNya sendiri. Tetapi karena Ia tidak bersalah, maka Ia bisa mati untuk
kita.
Sebagai pencipta segala sesuatu Dia
adalah sumber tertinggi semua pengetahuan kita, sehingga usaha kita untuk
mengetahui kebenaran bergantung kepada Dia dan secara tak terucapkan
menyaksikan mengenai Dia. Sebagaimana kasih dan keadilanNya adalah sumber dan
norma bagi kasih dan keadilan manusia, demikian juga pengetahuanNya menjadi
sumber dan norma bagi pengetahuan kita. Dengan demikian, segala kebenaran
adalah kebenaran Allah di mana pun itu ditemukan.
Pengertian ini memberikan kepada kita
dua implikasi. Pertama, kebenaran itu tidak relatif tetapi absolut, artinya
kebenaran Allah itu tidak berubah dan bersifat universal. Jika pengetahuan
Allah itu utuh dan benar secara sempurna, maka kebenaran itu tidak dapat
berubah; ia tetap sama disetiap saat dan tempat; lagi pula ia bersifat mutlak.
Implikasi yang kedua adalah kebenaran
pada dasarnya bersifat personal, bukan bersifat otonom seperti bentuk-bentuk
ideal dalam “republiknya.” Saat Tuhan Yesus berbicara mengenai hal menyaksikan
kebenaran, sesungguhnya Ia sedang berbicara tentang kebenaran dalam konsep
Alkitab – kebenaran personal maupun proporsisional. Yesus Kristus bukan hanya
mengklaim telah mengajarkan dan menyaksikan kebenaran: Dia juga mengklaim
diriNya adalah kebenaran - seperti nyata tentang konsep “aletheia” dalam Yohanes
14:6. Disini kita menemukan konsep mengenai kesetiaan Allah yang sempurna, yang
sekarang menyatakan diriNya dalam diri AnakNya.
Saudara, hampir
saja Pilatus memperoleh penemuan terbesar dalam kehidupannya. Dan Tuhan Yesus
baru saja memberitahukan bahwa Dia datang ke dalam dunia untuk memberi
kesaksian tentang kebenaran. Namun sayang ia tidak mau bersujud di hadapan-Nya
dengan pertobatan, pengakuan dosa, dan iman, malah mengabaikan jawaban Yesus
dan berkata kepada orang-orang Yahudi, “Aku
tidak mendapati kesalahan apa pun pada-Nya.”
Sepanjang sejarah banyak pemimpin agama yang datang
dan pergi, namun tak seorang pun berani menyatakan diri sebagai kebenaran dan
kemudian membuktikannya dengan cara bangkit dari antara orang mati. Banyak
orang di sepanjang sejarah telah mendapati bahwa kehidupan Yesus, firman-Nya,
dan kebangkitan-Nya adalah bukti-bukti yang meyakinkan bahwa Dia dapat
dipercaya. Dan, mereka menyimpulkan bahwa mengenal kebenaran harus dimulai
dengan memiliki hubungan pribadi dengan Kristus.
Jadi dalam menyambut Natal kali ini, jangan sampai dalam menyambut natal
tahun ini dan tahun-tahun ke depan kita lebih banya menyita perhatian kita,
menyita waktu kita, menyita tenaga kita, menyita uang kita, menyita fokus hidup
kita yang seharusnya diarahkan kepada beban yang dimiliki Tuhan Yesus untuk
keselamatan jiwa-jiwa dengan kesibukan seremonial.
Faktanya, banyak orang memasuki bulan natal ini, lebih fokus kepada
aksesories gereja, hiasan gereja, baju seragam, paduan suara, pengisi acara,
dll. ini memang tidak salah, tetapi jika hal ini membiaskan fokus saudara yang
seharusnya tertuju kepada Tuhan. Natal bukan bukan menjadi berkat tetapi
menjadi bencana. Natal bukan menjadi berkat tetapi laknat.
Orang-orang kristen yang masih kanak-kanak lebih senang dengan suasana
natal yang fenomenal dan spektakuler. Tapi kalau perayaan itu pada akhirnya tidak
mengubah orang, lalu untuk apa? Sebaliknya kita harus merayakan natal dengan
sikap hati yang benar. Memberikan perhatian kepada apa yang diinginkan Tuhan.
Seluruh acara natal seharusnya memiliki tujuan bagaimana mengubah cara pandang
seseorang kepada apa yang Tuhan inginkan dalam kehidupan kita.
Tuhan Yesus datang untuk menjalankan tugas penyelamatan. Ia mempertaruhkan
seluruh hidupNya tanpa batas. Tuhan Yesus datang untuk membinasakan pekerjaan
Iblis. Dan membawa jiwa-jiwa untuk kembali serupa dengan gambar Allah Bapa. Dan
selain Tuhan Yesus menebus mereka dari dosa. Tetapi Tuhan Yesus juga menjadi
teladan dan contoh. Ini satu perjuangan yang luar biasa.
Saya prihatin, banyak orang merayakan natal tanpa mengerti visi yang besar.
Beban yang luar biasa di hati Tuhan ini. Ia datang untuk menjalankan tugas
penyelamatan, supaya penebusan atas seorang berdosa bisa dilakukan, memikul
semua kesalahan manusia di kayu salib. Dan orang-orang yang percaya kepadaNya
Tuhan Yesus hendak membentuk untuk menjadi manusia sempurna. Amin.