MEMBERI KEPADA YANG
MEMBUTUHKAN
Matius 25:31-46
Sidang jemaat yang kekasih di dalam Tuhan,
Dalam minggu kedua ini, kita akan membahas poin kedua
dari tema besar kita di bulan Oktober, yakni “Memberi Kepada Yang Membutuhkan,”
yang kita kupas melalui Matius 25:31-46.
Saudara, untuk mengerti dengan tepat perikop yang kita
baca ini, kita perlu melihat kembali pasal-pasal sebelumnya, dimana Matius
mengelompokkan pasal 24-25 ke dalam satu bagian mengenai khotbah Tuhan Yesus
tentang akhir zaman. Dan perikop yang kita baca ini merupakan khotbah terakhir
Tuhan Yesus tentang akhir zaman.
Yang menarik untuk kita simak saudara, bahwa puncak dari semua
peristiwa itu, berkaitan dengan tugas manusia sampai kedatanganNya yang kedua
kali ialah tindakan dan perbuatan yang “sederhana”. Satu tindakan nyata bagaimana
kita mengaplikasikan kehidupan yang telah ditebus oleh Allah sebagai suatu
kehidupan yang nyata dan memberi pengaruh bagi sesama kita.
Lagi pula saudara, jika kita bandingkan dengan
perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus sebelumnya, perikop yang kita baca ini,
merupakan salah satu perumpamaan yang paling hidup yang pernah Tuhan Yesus
katakan dan maknanya pun sungguh jelas untuk kita pahami, bahwa Allah akan
menghakimi kita sesuai reaksi kita terhadap kebutuhan manusia.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Kalau kita membaca bagian ini, kita mendapatkan satu
pemahaman bahwa penghakiman Tuhan tidak tergantung pada pengetahuan yang kita
kumpulkan, juga bukan pada ilmu teologis tertentu yang kita bangun, atau pada
kemasyuran yang telah kita raih, atau bahkan pada harta yang telah kita
peroleh, melainkan penghakiman Tuhan itu sendiri ditentukan pada pertolongan
yang kita berikan.
Sidang jemaat yang saya kasihi,
Mungkin kita bertanya, bukankah selama ini kita diajarkan
oleh Firman Tuhan bahwa kita diselamatkan hanya oleh karena iman? Tetapi
mengapa saat kita membaca perikop ini, seolah-olah kita diajarkan bahwa
keselamatan itu diperoleh dari hasil perbuatan kita? Jadi kalau begitu, dengan
apakah keselamatan kita ditentukan, dengan imankah atau oleh perbuatan kita?
Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Kita tidak perlu terkecoh dengan dua pertanyaan di atas.
Saya percaya, bahwa keselamatan kita ditentukan oleh iman kepada Tuhan Yesus
Kristus. Dan “kita
yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh
karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Roma 5:1).
Akan tetapi, kita perlu memahami bahwa orang
beriman harus mengasihi Allah yang tidak kelihatan itu dengan cara yang nyata
terlihat melalui tindakan kasih yang berdampak terhadap masyarakat yang hidup
dalam disekitar kita.
Dalam hal inilah, sangat tepat sekali jika Yakobus mengkaitkan
antara iman yang telah kita peroleh dengan perbuatan kita sehari-hari, bahwa: “Jika iman itu
tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yakobus
2:17). Lebih lanjut Firman Tuhan berkata: “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan
perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.”
(Yakobus 2:22).
Dari sini kita melihat saudara, bahwa tidak ada yang
bertentangan dalam hal ini, justru perikop ini menegaskan bahwa perbuatan baik
yang kita nyatakan kepada sesama kita, merupakan wujud dari iman kita kepada
Tuhan.
Faktanya bapak/ ibu yang kekasih, Tuhan Yesus merupakan
Allah yang sejati, Dia adalah Raja di atas segala raja, dan sekaligus sebagai
hakim yang akan mengadili seluruh umat manusia secara universal
(ayat 31-33).
Penghakiman-Nya
ini akan menentukan nasib akhir (suatu
final
destiny) dari seluruh
umat manusia dimuka bumi ini. Dan akhir dari semuanya ini hanya
ada dua kondisi bagi seluruh manusia yakni masuk ke dalam hidup kekal atau
berada di tempat penyiksaan
yang kekal
(ayat 46).
Saudara, dikatakan, bahwa seluruh umat manusia akan
dikumpulkan bersama dihadapan Tuhan Yesus. Kemudian Ia akan memisahkan mereka
sebagian ke sebelah kanan dan sebagian lagi disebelah kiriNya. Dan pemisahan
ini digambarkan seumpama seorang gembala yang akan memisahkan domba dari
kambing (ayat 32).
Dalam khotbah ini, saya tidak akan menafsirkan apakah itu
domba dan apakah itu kambing yang dimaksudkan dalam ayat-ayat dalam perikop
ini.
Akan tetapi saya ingin mengajak kita sekalian untuk lebih
fokus untuk melihat apa yang menjadi kriteria Tuhan Yesus dalam memutuskan bahwa
seseorang itu layak menikmati hidup kekal di sorga atau pantas mengalami
penghukuman kekal di neraka? Apakah
dasar yang dipakai Tuhan untuk
menghakimi?
Sidang jemaat yang kekasih,
Berdasarkan
inti berita yang diproklamasikan Kristus, maka syarat seseorang untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah percaya
kepada Tuhan Yesus sendiri melalui penerimaan terhadap berita Injil yang Ia
kabarkan.
Saudara, di dalam Yohanes 3:36, Tuhan Yesus sendiri
menegaskan bahwa: “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal,
tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup,
melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.”
Dengan demikian, Injil adalah masterpeace Allah yang terfokus pada
karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui peristiwa kematian dan
kebangkitan-Nya. Itu sebabnya hanya Injillah yang menjadi “…kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang
percaya… Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah,
yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman...” (Roma 1:16-17).
Karena itu untuk lebih mengerti hal ini, kita perlu
melihat pokok masalah yang diungkapkan Tuhan Yesus dalam ayatnya yang ke-40. “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Pertanyaannya bagi kita siapakah yang dimaksud dengan “saudara-Ku yang paling hina”
(ayat 40). Benarkah
ungkapan ini menunjuk pada orang-orang
yang miskin?
Apakah dalam ayat ini, Tuhan
Yesus menghubungkan diri-Nya dengan kaum yang kekurangan?
Saudara, untuk mengerti istilah
ini dengan benar, sekali lagi, kita harus kembali kepada konteks Matius 25:31-46, yang berbicara
tentang penghakiman Tuhan Yesus terhadap seluruh umat manusia berdasarkan
respon mereka terhadap diri-Nya, yang dalam hal ini diwakili oleh “saudara yang
paling hina.” Hubungan Tuhan
Yesus dengan mereka yang disebut sebagai “saudara-Nya” ini tentu sangat erat sekali,
hingga nasib akhir segenap manusia tergantung pada penerimaan dan pelayanan
terhadap mereka.
Jadi siapakah yang dimaksudkan dengan “saudara-Ku yang paling hina” ini? Yang
jelas mereka bukanlah orang-orang
miskin. Tuhan Yesus tidak
mengidentikan diriNya dengan orang miskin, tetapi yang dimaksudkan disini adalah murid-murid
Kristus.
Saudara memang tidak bisa kita pungkiri banyak
pengkhotbah-pengkhotbah menafsirkan ayat-ayat ini sebagai bagian dari panggilan
kita terhadap kaum miskin di sekitar kita. Sehingga bagian ini, lebih menarik
untuk mengajak orang percaya untuk bersikap peduli dan memiliki rasa
solidaritas terhadap sesama kita secara umum.
Saya sendiri setuju bahwa kita perlu menanamkan rasa
peduli dan solidaritas yang tinggi terhadap orang-orang yang papa disekitar
kita. Tetapi konteks bacaan kita, ayat-ayat ini tidak berbicara secara luas
seperti itu.
Saudara, kita percaya bahwa
Alkitab memiliki kemampuan untuk menjelaskan dirinya sendiri. Artinya, ada
banyak bagian-bagian
dari Alkitab yang maknanya dapat diterangi oleh bagian lainnya dalam Alkitab. Dan prinsip ini juga harus diterapkan dalam usaha kita untuk memahami istilah “saudara-Ku yang paling hina.”
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kalau kita membaca keseluruhan Injil Matius,
pemakaian istilah “saudara-Ku” ini selalu
dihubungkan dengan para murid-murid
Tuhan Yesus.
Pada
suatu kesempatan, Tuhan Yesus bertanya
kepada orang banyak: “Siapakah ibuKu? Dan siapakah saudara-saudaraKu?” Lalu kata-Nya,
sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: “Inilah ibuKu dan saudara-saudara-Ku.”
(Matius 12:48-49).
Di
tempat lain, Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi;
karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Matius 23:8).
Setelah
mengalami kebangkitan dari kematian, Tuhan Yesus menjumpai para wanita yang
mencari-Nya di kuburan dan berkata kepada mereka demikian, “…Pergi dan katakanlah kepada
saudara-saudaraKu, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan
melihat Aku” (Matius 28:10). Siapakah
yang pergi ke Galilea? Saudara jawabannya ada
dalam Matius
28:16, “Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang
telah ditunjukkan Yesus kepada mereka.”
Dengan demikian bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Berdasarkan
realita yang dituliskan oleh rasul
Matius, maka kesimpulan yang tepat
untuk menjelaskan makna ini hanya satu yaitu yang dimaksud dengan “SaudaraKu”
pastinya mengacu kepada murid-muridNya. Dengan kata lain, saat Tuhan Yesus berkata “saudaraKu” sebenarnya Tuhan Yesus sedang mengidentikkan
diri-Nya bukan dengan orang miskin
secara umum tetapi dengan para murid.
Karena itu bapak/ ibu yang kekasih, pengidentikkan
ini ada hubungannya dengan tugas memberitakan Injil. Dalam melaksanakan misi
pekabaran Injil, murid-murid menyandang status sebagai wakil Kristus, selaku
utusan dan duta Injil-Nya. Beridentitas seperti ini, maka kehadiran murid-murid
Tuhan Yesus adalah suatu kehadiran yang disertai dengan berita Injil yang
menyelamatkan. Demikianlah firman Tuhan
berkata: “…Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik”
(Roma 10:15).
Dengan kata lain saudara, setiap orang
berdosa yang hatinya terbuka dan menerima berita keselamatan yang diwartakan
oleh para murid adalah sama dengan menyambut Tuhan Yesus sendiri yang hadir
melalui pemberitaan mereka.
Kita memahami bahwa Tuhan kita memang tidak
lagi menjadi sosok yang hadir secara jasmaniah seperti saat Ia berinkarnasi
2000-an tahun yang lalu. Namun Allah
yang kita sembah bukanlah Allah yang “absen”, sebab kehadiran-Nya terwakili melalui
keberadaan para murid-Nya. Dan
sistem perwakilan ini ditegaskan sendiri oleh Kristus ketika Ia berkata “Barangsiapa
menyambut kamu, ia menyambut Aku…” (Matius 10:40).
Karena
itu, bapak/ ibu yang kekasih,
Tidaklah mengherankan apabila
nasib akhir umat manusia sangat ditentukan oleh sambutan mereka terhadap para
murid Kristus yang datang dengan Injil keselamatan-Nya. Bahwa bagi yang menerima berita ini, hidup kekal
telah tersedia untuk mereka. Sedangkan bagi mereka yang menolak, hukuman kekal tidak akan luput dari mereka.
Dengan demikian, hanya pemahaman yang
menempatkan murid-murid Kristus sebagai saudara-Nya yang paling hina inilah
yang konsisten dengan konteks dari Matius 25:31-46, di mana temanya adalah
tentang penghakiman Allah atas setiap insan yang pernah hidup di dunia.
Dari
perspektif pengidentikkan ini, kita pun dapat memahami secara benar arti dari
tindakan memberi makan, minum, tumpangan, pakaian; melawat ketika sakit dan
mengunjungi dalam penjara (Matius 25:35-36). Perbuatan-perbuatan ini adalah
bukti kasih dan kepedulian dari orang-orang yang sudah menerima berita Injil terhadap
para pemberitanya. Murid-murid Kristus adalah orang-orang yang hidup berdasarkan panggilan Ilahi
untuk melaksanakan tugas pemberitaan Injil.
Seringkali
tugas sebagai duta Kristus membuat hidup para murid akrab dengan kekurangan dan
penderitaan. Rasul
Paulus sendiri adalah
contoh yang sangat riil
untuk memahami konteks ini.
Di dalam 2
Korintus 6:4-10, dan dalam pasal 11:23-29
kita mendapatkan satu gambaran
bagaimana penganiayaan
dan kekurangan yang dialami Paulus sebagai seorang utusan Injil Kristus.
Kondisi kehidupan yang serba minim secara lahiriah dan berbagai penindasan juga
seringkali dialami oleh hamba-hamba Tuhan di setiap zaman dan di seluruh
penjuru dunia.
Sehingga
sangatlah wajar jika ia berkata: “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu
kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang
merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan,
baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan” Filipi 4:12.
Jika
orang berdosa sudah menerima keselamatan melalui iman kepada berita Injil yang
disampaikan murid-murid Kristus, maka sudah sepantasnyalah rasa syukur mereka
atas keselamatan tersebut diwujudnyatakan melalui tindakan kasih yang peduli
terhadap kebutuhan para muridNya.
Dengan demikian bapak/ ibu yang kekasih,
Sambutan
dan perhatian untuk murid-murid Tuhan adalah sama dengan perbuatan yang
dilakukan terhadap Kristus. Sebab, Tuhan berkata “…sesungguhnya segala sesuatu yang kamu
lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah
melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40).
Saudara, mungkin kita bertanya apakah
istilah “saudaraKu” ini secara
eksklusif hanya menunjuk kepada murid-murid pertama Kristus (kesebelas murid
ditambah rasul Paulus)? Jawabannya tidak
saudara!
Sebab dalam Matius 12:50, kita akan mendapatkan satu pengajaran Tuhan
Yesus yang mengatakan,
“…siapapun
yang melakukan kehendak BapaKu di sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah
saudaraKu perempuan, dialah ibuKu.” Dari
keterangan yang dibuat Tuhan Yesus ini, kita memahami bahwa ungkapan “saudaraKu” ini tidak terbatas hanya untuk murid-murid
pertama melainkan juga meliputi
siapa saja yang merealisasikan kehendak Allah Bapa. Artinya semua pengikut Kristus yang menjalankan
tugas mempro-klamasikan
berita keselamatan bagi dunia yang berdosa adalah murid Kristus, saudara-Nya.
Bapak ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Selain
Injil Matius
12:50, petunjuk lain mengenai luasnya
cakupan “saudaraKu” juga bisa dilihat dari Kisah Saulus saat dalam perjalanannya menuju kota Damsyik. Saulus (sesudah bertobat bernama Paulus)
yang hatinya dipenuhi kebencian terhadap orang kristen, akhirnya berjumpa
secara pribadi dengan Kristus. Di tengah perjumpaan itu, Tuhan Yesus
melontarkan satu pertanyaan yang membuatnya tersentak, “Saulus, Saulus
mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kisah 9:4).
Kita
percaya bahwa Kristus
tidak dianiaya oleh Saulus dalam pengertian harafiah. Tetapi jemaat atau murid-murid Tuhan yang tersebar di
berbagai tempatlah yang menjadi objek kemarahan Saulus (Kisah 8:3, 9:1-2).
Tetapi, hal yang luar biasa ialah Tuhan Yesus mengatakan bahwa Saulus telah
menganiaya diri-Nya (Kisah 9:5). Hal
ini menandakan kepada
kita adanya persatuan organis antara orang beriman sebagai tubuh
dengan Kristus selaku kepala gereja, sehingga apa yang dialami para
pengikut-Nya, secara realita
juga dialami oleh Kristus
sendiri.
Dari
Kisah Para Rasul ini saudara, kita dapat
melihat bagaimana solidaritas Tuhan Yesus dengan para pengikut-Nya
sama sekali tidak terbatas hanya untuk murid-murid awal-Nya tetapi juga mencakup semua orang yang percaya pada-Nya.
Kehadiran
Kristus telah diwakili di dalam dan melalui eksistensi seluruh pengikut-Nya di
semua tempat dan segala waktu. Iman kepada Tuhan Yesuslah yang menjadi sarana satu-satunya yang
memungkinkan setiap orang diangkat menjadi saudara-Nya. Dan dalam hal ini, Tuhan
menyatakan keberpihakkan terhadap murid-murid-Nya, sehingga merekalah yang menjadi saudara bagi
Kristus.
Sidang jemaat yang kekasih dalam Tuhan,
Saya percaya sebagai seorang pengikut Kristus yang sejati pastilah memiliki kerinduan jiwa
yang kuat untuk berusaha secara maksimal melakukan hal-hal yang terbaik dalam
menyenangkan hati-Nya. Yaitu dengan
cara
menunjukkan perhatian kepada
saudara-saudara seiman yang dengan tekun memberitakan Injil bagi Tuhan.
Tetapi saudara, masalahnya tidak berhenti disini. Di
dalam ayat 41-45 Tuhan Yesus sepertinya mengkontraskan dengan apa yang telah
dijelaskan diawal. Dan apa yang Tuhan sampaikan itu pastinya juga akan membuat kita terkejut.
Jangankan
bagi orang-orang
yang berada di kelompok domba saja yang
heran dan bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, kapankah kami melihat Engkau lapar
dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?
Kapankah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau
tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Kapankah kami
melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?” (ay
37-39). Mereka sendiri juga
merasa tidak pernah secara langsung memberi makan atau minum kepada Tuhan.
Tetapi jawaban Tuhan dengan tegas dinyatakan dalam ayat 40
yaitu “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk
Aku”.
Hal
yang sama juga terjadi
pada orang-orang yang berada di
kelompok kambing, mereka juga mempertanyakan, “Kapan kami melihat Engkau lapar dan haus
Tuhan? Kalau kami melihat Tuhan sedang lapar ya pastilah kami akan memberi
Tuhan makanan kan?” (ay. 44). Dan
jawaban Tuhan sama persis dengan jawaban di ayat 40 tadi, yaitu “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah
seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (ay.
45).
Yang
menarik dari kisah ini adalah: yang benar merasa tidak benar (ayat 37-39), sebaliknya yang tidak benar
merasa benar (ayat 44). Ini adalah masalah arogansi rohani. Kenyataannya saudara, ada begitu banyak
orang yang merasa diri rohani, tetapi di mata Tuhan mereka adalah orang yang
jahat. Orang yang demikian tidak lain adalah orang yang munafik, yang mencari pengakuan publik akan
apa yang diperbuatnya. Sebaliknya ada banyak juga orang yang merasa diri tidak benar, tetapi
sebenarnya di mata Tuhan mereka mengerjakan hal-hal yang benar.
Saudara, Tuhan kita memang Tuhan yang luar biasa, Ia
tidak pernah berat sebelah dalam
menimbang satu perkara, termasuk dalam hal penghakiman yang terakhir.
Karena itu diayat-ayat yang terakhir ini, Tuhan juga
ingin menunjukkan bahwa orang yang tidak melakukan apa-apa terhadap orang yang
paling hina ini, maka itu sama dengan tidak melakukannya untuk Dia (Band. Ayat
45).
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kita percaya memang keselamatan ada di
dalam Tuhan Yesus,
tetapi keselamatan itu pun bukan untuk
kita simpan sendirian,
sebaliknya keselamatan yang kita terima seharusnya memberi buah dalam kehidupan
kita.
Dengan demikian, orang yang telah
diselamatkan dan menerima kasih Tuhan seharusnya mampu hidup menjadi saluran kasih dan saluran berkat
bagi sesamanya.
Dalam hal inilah Firman Tuhan berkata, “Sebab itu Aku
berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak
berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat
kasih" (Lukas 7:47). Dalam ayat lain juga
dikatakan bahwa “Siapa
menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi Tuhan, yang akan membalas perbuatannya itu” (Amsal
19:17).
Dalam hal ini, saya tidak akan
menghakimi kita, tetapi saya rindu kita masing-masing menginstropeksi diri kita
sendiri. Apakah selama ini kita sudah berbuat baik kepada sesama? Apakah
perbuatan kita sudah memuliakan Tuhan? Apakah kita sudah mengasihi orang-orang
lain, yang mungkin berkekurangan, sakit, terhadap orang-orang yang dengan gigih berjuang dalam iman?
Jika kita sama sekali belum memiliki kasih seperti itu, patut kita renungkan,
jangan-jangan sebenarnya kita sendiri belum merasakan kasih Tuhan dan belum menerima
keselamatan dari Tuhan.
Karena itu bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Marilah mulai hari ini kita berusaha untuk menjadi saluran kasih Tuhan
bagi orang lain, sebab tanpa melakukan
hal ini, itu sama artinya kita sedang melawan Tuhan. Hanya
orang yang yang pernah dilayani Tuhan pada saat dirinya masih hina dan berdosa,
bisa melayani siapa saja tanpa pandang bulu.
Dengan demikian, kalau Yesus saja mau
mengidentifikasikan diriNya dengan mereka yang dianggap hina, siapakah kita yang merasa tidak level untuk melayani mereka? Faktanya saudara, Tuhan Yesus sudah
memberikan yang terbaik bagi saudara dan saya, pertanyaannya apa yang dapat kita hadiahkan bagi Dia?
Tentu
yang menjadi persoalan di sini bukanlah siapa dan mengapa Tuhan mengidentikkan
diri dengan orang-orang yang tidak dipandang itu. Yang mau ditunjukkan oleh
Tuhan melalui pernyataan itu adalah bagaimana kecintaan dan kesetiaan kepada
Tuhan seharusnya terwujud melalui cinta dan kepedulian kepada sesama kita.
Sebagai
kesimpulan dari khotbah saya hari ini, saya mengajak kita untuk kembali melihat
judul kita hari ini, dalam bentuk sebuah pertanyaan. Jadi kepada siapakah kita wajib menyalurkan
perhatian kita? Pada tahap ini, kita menemukan jawabannya dalam Galatia 6:10 “Karena itu, selama masih
ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita seiman.” Amin.