KEGAGALAN YANG MERUSAK
KREDIBILITAS
1 Samuel 2:11-36
Bapak/
ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Kehadiran
seorang anak dalam rumah tangga kita adalah sebuah karunia Tuhan yang
membahagiakan. Saat kita lelah seharian bekerja, kelucuan dan keluguan dari anak
kita yang masih kecil seakan-akan melenyapkan rasa capek dan lelah itu.
Saudara, itu adalah bagian dari hal-hal yang menyenangkan dari memiliki anak.
Tetapi
kalau kita lebih jauh lagi menatap ke masa depan anak tersebut, kita bisa
bayangkan pastinya akan lebih banyak lagi kengerian yang muncul dari anak-anak
kita jika kita salah dalam mendidik.
Saya
sendiri saudara, saat menatap wajah anak-anak saya yang masih kecil itu,
terkadang terlintas dalam pikiran saya, kira-kira jika anak-anak saya sudah
menjadi besar, bakal jadi seperti apa anak-anak saya? Saudara saya tidak sedang
berbicara tentang cita-cita mereka. Sebagai orang tua, kita juga tidak bisa
menjamin, anak-anak kita bakal menjadi seperti apa. Tetapi paling tidak saudara,
kita harus memulai mengajarkan sesuatu yang bermanfaat, sesuatu yang “yang baik, yang
berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Karena
itu saudara, yang ingin saya katakan adalah apa yang kita tabur hari ini terhadap
pendidikan anak-anak kita saudara, pastinya akan membawa dampak pada kehidupan
mereka di masa depan. Karena itu jika kita mendapati sebuah kegagalan dalam
pembentukan anak-anak, pastinya tidak dapat lepas dari apa yang ditaburnya
terdahulu.
Nyatanya saudara, kegagalan dalam mendidik anak-anak, bukan hanya
menjadikan mereka seorang pemberontak
terhadap orangtua, terlebih lagi mereka bakal menjadi seorang yang tidak takut
akan Tuhan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Saya percaya tidak ada diantara kita yang menghendaki anak-anak kita
menjadi seorang pemberontak apalagi seorang yang tidak takut Tuhan. Sebab jika
anak-anak itu besar menjadi seorang yang suka memberontak, sebenarnya kita
sedang mencetak anak yang kelak akan membuat malu nama baik kita sendiri, dan
terlebih lagi mempermalukan nama Tuhan. Karena itu perlu ada disiplin yang baik
dalam setiap keluarga.
Saudara, mendidik berhubungan dengan disiplin. Mendidik berarti ”mengajar atau
mengatakan, menunjukkan atau memperlihatkan, menuntun seseorang melalui suatu
proses dimana di dalamnya orang itu dilatih.”
Firman Tuhan dalam Amsal 13:24 berkata, "Siapa tidak menggunakan tongkat,
benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada
waktunya"
Mengapa perlu adanya disiplin? Sebab disiplin membuktikan kasih kita
terhadap anak-anak kita. Anak-anak yang memahami karakter dan sifat ayah mereka,
tidak akan membenci disiplin yang ditegakkan oleh ayah mereka. Justru Ayah yang
memilih untuk tidak menegakkan disiplin, dan membiarkan anaknya membuat
pilihannya sendiri, hanya menunjukkan ketidakpedulianya terhadap kesejahteraan
dan masa depan anaknya. Jadi saudara, tidak mendisiplin anak-anak berarti Anda
membenci mereka. Sebaliknya jika Anda mencintai mereka, Anda akan segera
mendisiplin mereka.
Pertanyaannya, berapa lama kita harus menggunakan tongkat untuk mendisiplin
anak-anak? Jawabannya adalah selama mungkin mereka memerlukannya. Karena itu
saudara, dibutuhkan hikmat Tuhan dalam mendisplin anak. Dibutuhkan kepekaan
untuk mengerti apa yang Tuhan mau kita kerjakan bagi anak-anak kita.
Saudara, pernahkah kita bertanya, mengapa Tuhan ingin agar kita sebagai
orang tua mempersiapkan anak-anak kita secara mental dan spiritual? Karena sejatinya
Tuhan menghendaki kita untuk mengasihi mereka sungguh-sungguh. Anak adalah
anugerah Tuhan dalam kehidupan keluarga. Karenanya Tuhan mengharapkan anak-anak
dapat berkembang sebagai orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, meski
pun mereka berada di dunia yang jahat.
Saudara,
Charles Williams, seorang pakar di bidang anak,
mengatakan bahwa, "Anak kecil yang
berusia 2 tahun adalah majikan Anda, pada usia 10 tahun adalah budak Anda, pada
usia 15 tahun adalah kembaran Anda, dan setelah itu kawan Anda atau musuh Anda,
tergantung bagaimana Anda membesarkannya." Oleh
karena itu, jangan segan-segan untuk menggunakan rotan/ tongkat jika memang diperlukan,
yang terpenting adalah mintalah hikmat kepada Tuhan kapan kita harus
menggunakannya.
Kenyataannya saudara, jika orang tua tidak pernah menegakkan disiplin dan
mengharapkan anak-anak kita mereka-reka menurut kemampuan mereka sendiri, itu
sama saja dengan akan menghancurkan jiwa mereka.
Bapak/ ibu yang kekasih,
Perhatikan apa yang terjadi pada kehidupan keluarga imam Eli. Dijelaskan
dalam nats kita bahwa Imam Eli adalah pemimpin rohani bangsa Israel. Ia adalah seorang yang
berasal dari keturunan Itamar, adik Eleazar, anak-anak Harun. Ia adalah seorang
imam besar, sebuah jabatan yang ia dapatkan secara otomatis, karena diberikan
secara turun temurun.
Saudara, sebagai Imam
besar Israel pastinya kata-kata yang diucapkannya akan didengar dan hidupnya
diperhatikan banyak orang. Ia dapat dianggap sebagai representasi umat Israel
di hadapan Tuhan dan memanjatkan doa serta mempersembahkan korban bakaran bagi
orang Israel. Nah, dengan posisi dan jabatan yang demikian, maka dapat dipastikan
bahwa ia bersama anggota keluarganya adalah orang-orang yang terhormat dan bisa
menjadi teladan bagi umat.
Namun masalahnya adalah, ada
suatu hal yang sangat mengejutkan kita, ternyata kedua anak dari Imam Eli ini,
yakni Hofni dan Pinehas justru melakukan hal-hal yang menghina Allah. Inilah
kejujuran Allah yang kita lihat dalam Alkitab, saudara. Allah tidak hanya
menuliskan hal-hal yang baik sebagai sarana membentuk umatNya. Tetapi kegagalan-kegagalan
orang-orang yang hidup di dalam Alkitab pun, tetap dibukakan Allah sebagai
bentuk peringatan yang berlaku bagi kehidupan pembaca di masa depan.
Saudara kita melihat,
bagaimana kehidupan Imam Eli dalam mendidik anak-anaknya. Umumnya orang menduga,
imam Eli pastinya mampu membentuk anak-anaknya untuk dapat bertumbuh dalam iman
dengan baik. Terlebih lagi, kedua anak-anaknya turut terpanggil sebagai pelayan
Tuhan. Kedua anak-anak iman Eli juga menjadi imam. Tetapi Alkitab menjelaskan
kepada kita bahwa walaupun demikian, kehidupan anak-anak imam Eli tidak
mencerminkan kehidupan seorang pelayan Tuhan.
Sebab
anak-anak imam Eli tidak memiliki pengalaman persekutuan dengan Allah secara
pribadi. Mereka tidak pernah dengan serius memikirkan Allah. Karena itu
saudara, jangan pernah menyangka jika anak-anak kita yang rajin datang ke
gereja lalu secara otomatis dapat memiliki kerohanian yang baik, Tidak saudara!
Selama kerajinannya tidak disertai dengan pertobatan! Mustahil anak itu
bertumbuh secara baik dalam kerohaniannya.
Saudara
satu contoh bisa kita lihat dalam kehidupan pelayanan Tuhan Yesus. Sepanjang
pelayanan Tuhan Yesus, ada begitu banyak orang-orang yang turut hadir untuk
mendengarkan pengajaranNya. Tetapi tidak semua mengalami pertumbuhan rohani.
Sebab tidak semua mencari pribadi Tuhan. Tidak semua juga mengalami pertobatan.
Misalnya kehadiran orang-orang Farisi dalam setiap pelayanan Tuhan Yesus
menjadi bukti bahwa intensitas mereka untuk hadir tidak menjamin besarnya
kerohanian mereka. Sebab orang-orang Farisi hadir bukan untuk belajar mengenal
Tuhan Yesus. Tetapi mereka hadir untuk mencari-cari kesalahan Tuhan Yesus.
Kembali kita pada
kehidupan imam Eli, kita melihat imam Eli tidak mampu mempersiapkan kerohanian anak-anaknya
untuk hidup sungguh-sungguh di dalam Tuhan. Sehingga dikatakan dalam nats bahwa
anak-anak Eli ini hidup sebagai seorang dursila, yang berarti: jahat atau buruk kelakuannya. Mereka
tidak mengenal Tuhan dengan baik. Tidak ada ruang untuk
Allah dalam pikiran mereka. Mereka memang tinggal di Kemah Suci. Ayah mereka
mengenal Tuhan. Namun dua anak ini adalah orang-orang terhilang, orang-orang
yang belum diselamatkan, karenanya disamakan dengan “orang-orang dursila yang tidak mengindahkan
Tuhan.” Saudara, mereka adalah manusia duniawi yang hanya berpikir
tentang apa yang menguntungkan bagi mereka.
Kejahatan mereka nyata terdaftar
dalam ayat-ayat berikut:
-
Mereka
tidak mengindahkan Tuhan dengan tidak menghormati kurban persembahan bagi Tuhan
(ayat 12),
-
Mereka tidak mengindahkan
batas-batas hak seorang imam (ay. 13). Sebab mereka tidak hanya meminta bagian
yang seharusnya menjadi milik si pemberi persembahan, tetapi dalam beberapa
kasus mereka justru mengambil bagian yang seharusnya diberikan kepada Tuhan (ayat 15).
-
Mereka
serakah dan curang dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terbukti dari sikap
mereka yang suka melakukan kekerasan untuk memperoleh kehendak mereka (ayat
16).
-
Dan
yang sangat memilukan hati adalah, mereka tidak lagi menghormati
kekudusan Tuhan dan kekudusan tempat ibadah (ayat 22). Mereka melakukan suatu dosa
perzinahan dengan jalan tidur dengan perempuan yang melayani di depan pintu Kemah
Pertemuan.
Ini jelas adalah dosa yang
disengaja, karena sebagai imam tidak mungkin mereka tidak mengetahui hukum
Tuhan tentang hal itu. Mereka sudah tidak mempunyai rasa malu sedikitpun dalam
berbuat dosa. Kondisi yang demikian sangat meresahkan bangsa
Israel terlebih kejahatan mereka ternyata sampai juga ke telinga Imam Eli.
Saudara! Tindakan dan
perbuatan anak-anak Eli ini sangat memalukan dan merusak kredibilitas orang tua
mereka yang selaku imam besar dan mereka sendiri yang sebagai asisten imam. Satu
perbuatan yang sangat tidak pantas untuk dilakukan.
Bukankah seharusnya mereka
menjadi teladan yang baik bagi umat yang dipimpinnya, tetapi kehidupan mereka
justru menjadi batu sandungan bagi umat. Dosa imam Eli ini
sangat fatal. Maka
pantaslah jika Allah marah terhadap mereka.
Saudara, walaupun imam Eli berkali-kali menasihati mereka agar mereka
menghentikan dosa tersebut, namun sayangnya anak-anak Imam Eli tidak
menghiraukan nasihatnya. Sungguh kegagalan yang sangat menyedihkan bukan.
Apalagi yang membuat suatu keluarga hancur, selain tidak diperkenankan Tuhan
melayaniNya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebab imam Eli sendiri
tidak memiliki ketegasan dalam mendidik anak-anaknya. Ini terlihat dari
sikapnya yang hanya memberi nasihat, tanpa adanya tindakan untuk mendisiplinkan
mereka, sehingga tingkah laku mereka yang jahat semakin
menjadi-jadi (ayat 29). Imam Eli hanya mempertanyakan tindakan anak-anaknya, "Mengapa
kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini
tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu,
anak-anakku…" (ay. 23-24).
Kita melihat saudara, sebagai orang tua, imam Eli tidak tegas, imam Eli
begitu lembek di dalam mendidik anak-anaknya. Jika kita bandingkan
teguran-teguran imam Eli yang terdahulu terhadap Hana (1:14), teguran imam Eli terhadap
moralitas anak-anaknya saya rasakan terlalu lemah.
Sebab imam Eli bertindak kompromi dengan kejahatan mereka. Ia
memandang kejahatan anak-anaknya sebagai sesuatu yang biasa. Karenanya tidak
heran jika tidak ada hukuman yang harus diterapkan, tidak ada didikan yang
mengajar untuk membuat anak-anaknya menyadari bahwa tindakan mereka adalah suatu
dosa dimata Allah.
Lebih parah lagi, imam Eli terkesan cuci tangan terhadap kesalahan
anak-anaknya. Perhatikan ayat 25: ”Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang
lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seorang berdosa terhadap
Tuhan, siapakah yang menjadi perantara baginya?”
Aneh bukan saudara! Jelas-jelas ia adalah seorang imam, jelas-jelas ia tahu
hukum-hukum Allah. Seharusnya tugas dia adalah menegur dosa, menyatakan
kesalahan anak-anaknya. Dan membawa kembali ke jalan Tuhan. Tetapi itu ternyata
tidak dilakukan imam Eli terhadap anak-anaknya, karena imam Eli menganggapnya sikap
mereka sebagai suatu hal yang sepele.
Bapak/ ibu yang kekasih, bagaimana
sikap saudara pada saat melihat/ mendengar anak saudara berdusta, mengeluarkan
kata-kata kotor, bersikap kurang ajar, nyontek di sekolah, dsb?
Apakah saudara
membiarkannya/ tidak memarahinya? Atau, lebih jelek lagi, apakah saudara lalu
tertawa, seolah-olah dosa anak itu merupakan sesuatu yang lucu? Kita bersikap
membiarkannya. Dan berpura-pura tidak tahu. Ingatlah saudara, bahwa sikap
seperti ini pastinya akan membangkitkan kemarahan Tuhan! Tidak adanya ketegasan dalam mendidik anak, merupakan kesalahan yang
dipandang oleh oleh Tuhan.
Saudaraku, ada alasan lain yang juga tidak bisa ditolelir oleh Tuhan dari
kehidupan imam Eli, dimana Imam Eli secara sengaja turut dalam dosa
anak-anaknya dengan memakan daging persembahan yang berlemak, yang diambil dari
kedua anaknya dengan paksa (ay 29c). Ia dianggap berkomplot dengan anak-anaknya dalam
dosa mereka. Hal ini nampak dari teguran Tuhan yang mengatakan: ”kamu menggemukan
dirimu dengan bagian yan terbaik dari setiap korban sajian umatKu Israel?” (1
Samuel 2:29c).
Disini kita melihat walaupun nampaknya Imam Eli memang menegur mereka,
namun ia sendiri tidak menunjukkan keteladan akan hal tersebut. Karenanya tidak
heran jika kedua anak-anaknya tidak menghiraukan perkataan ayahnya.
Saudaraku, ada seorang ayah yang sedang menasihati anaknya. Dia mengatakan:
”nak kamu
harus ingat, kamu tidak boleh merokok, karena itu tidak baik bagi kamu” Ayah ini menasihati anaknya sambil ia sendiri
tidak henti-hentinya menghisap rokok. Pertanyaannya, apakah ia sedang
menasihati? Tidak saudara! Sebenarnya ia sedang memberikan satu teladan yang
buruk terhadap anaknya.
Dalam 2 Timotius 2:24-25 memang
dijelaskan bahwa “Seorang
hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia
harus cakap mengajar, sabar dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang
suka melawan.” Jika kita bandingkan dengan kejadian yang dikisahkan
dalam kitab Samuel ini jelas menunjukkan bahwa ada saat dimana seorang hamba
Tuhan pun harus marah dan bertindak tegas, terlebih ketika melihat ada dosa!
Demikian pula kita sebagai
orang tua, kita pun adalah imam atas anak-anak kita, jika kita sebagai orang
tua selalu memanjakan anak-anak dan tidak bisa/ tidak tega mendisiplin
anak-anak pada waktu mereka berbuat salah, maka seharusnya kita bercermin dari
bagian ini dan melihat kesudahan dari anak-anak iman Eli (2:34 3:13-14 4:11).
Kegagalan imam
Eli dalam mendidik anak-anaknya dianggap sebagai satu tindakan yang tidak menghormati
Tuhan, karena itu Tuhan membatalkan janjiNya terhadap imam Eli.
Bapak/
ibu yang kekasih dalam Tuhan
Apabila kita melihat
realitas zaman sekarang, anak-anak sekarang pun cukup memprihatinkan, kejadian
ini mirip dengan kondisi anak-anak imam Eli. Hal tersebut dapat di lihat dari
kondisi mereka saat ini yang cenderung lebih bebas, mereka tidak lagi peduli dengan
nilai-nilai moral yang baik. Kelakuan mereka justru cenderung lebih agresif,
emosi tidak stabil, dan tidak bisa menahan dorongan nafsu.
Rusaknya moralitas
anak-anak muda saat ini, disamping karena factor lingkungan dimana mereka
berada dalam masyarakat. Kehidupan mereka juga sebagian lagi dipengaruhi oleh
factor pendidikan orang tua yang gagal.
Banyak orang tua
menganggap diri bijaksana dengan memberikan “kebebasan” pada anak mereka, yang
akhirnya disalahgunakan sehingga penuh kekhawatiran mereka harus menunggu
anaknya yang pulang sampai dini hari. Yang akhirnya berujung pada percekcokan
dalam keluarga.
Saudara, kita harus
mengerti bahwa anak-anak zaman sekarang lebih pintar dan pandai menjawab. Dulu
saat orang tua kita menasihati anak-anaknya untuk tidak pulang terlambat,
sebagai anak-anak kita pastinya merasa takut dan segera pulang sebelumnya.
Tetapi sekarang kondisinya berbeda. Saat kita mengatakan jangan pulang
terlambat, yang terjadi adalah anak-anak justru pulang pada jam dini hari.
Karenanya tidak heran
saudara, jika anak-anak muda sekarang lebih suka memberontak, karena mereka
kehilangan teladan dalam keluarga. mereka lebih suka memilih pergaulan bebas,
karena lingkungan mereka menawarkan kebebasan yang mereka butuhkan.
Sex bebas, mengkonsumsi obat-obatan
terlarang, minum-minuman keras, perkelahian antar pelajar, pelecehan seksual,
pencurian, geng motor dan lain sebagainya. Yang sangat memprihatinkan, kejadian
ini bukan hanya menimpa anak-anak yang tidak mengenal Tuhan, tetapi juga
sebagian lagi dilakukan oleh anak-anak dari keluarga Kristen.
Melihat kenyataan ini
saudara, kita harus menyadari bahwa mendidik anak-anak di masa modern ini
pastinya lebih sulit jika dibandingkan pada masa kita kecil. Dulu waktu kita
kecil, ketika orang tua kita berkata: “nak dulu bapakmu ini diajar orangtua begini… begini… begini…,
papamu harus nurut, papa harus taat makanya papa bisa menjadi seperti ini.”
Tetapi saudara, pernyataan ini tidak bisa langsung diterapkan bagi anak-anak
zaman sekarang. Mereka lebih kritis, dalam mencerna informasi. Jika informasi
yang mereka dengar tidak sejalan dengan apa yang mereka lihat dengan mata
kepala mereka sendiri, yang ada adalah sikap memberontak terhadap orang tua.
Masalahnya adalah kadang
kita bersikap tegas tetapi tidak pada tempatnya. Alhasil bukan disiplin yang
terbentuk melainkan pemberontakan. Apa artinya bersikap tegas kepada anak?
Bersikap tegas adalah tidak menuruti kehendak atau permintaan anak.
Saudara, kita harus ingat,
bahwa anak-anak memang selalu meminta sesuatu pada kita; Tugas kita adalah
menentukan kapan menuruti keinginannya dan kapan tidak menuruti keinginannya.
Karena itu saudara, ini
adalah tanggung jawab yang berat dalam menyelamatkan generasi anak-anak kita, peran
orang tua harus lebih aktif dalam mengajar dan mendisiplinkan anak-anak.
Artinya, anak-anak harus kita disiplin dengan jalan yang benar.
Sebagai orang tua, kita
harus berani menyatakan bahwa ini salah kalau memang itu salah, dan itu benar
kalau memang itu adalah kebenaran. Sambil terus-menerus memberikan teladan yang
hidup dalam keluarga kita.
Kemudian, ketika orang tua
dikatakan imam dalam keluarga, maka tugas fungsi keimaman dalam keluarga adalah
membawa seisi rumah tangga mengalami kehadiran Tuhan, intim dengan Tuhan dan
hidup didalam naungan kasih Tuhan. Hal itu dapat dilakukan melalui doa bersama,
pujian penyembahan bersama atau membaca firman Tuhan dan merenungkannya bersama.
Jika seorang bapa telah tumpul secara rohani, bagaimana dengan anak-anaknya?
Demikianlah yang terjadi dengan anak-anak Imam Eli. Kegagalan atau kesalahan
seorang anak kita tidak dapat dilepaskan dari kegagalan kita sebagai orangtua.
Kesalahan/ kegagalan Hofni dan Pinehas adalah kegagalan Eli sebagai seorang
ayah.
Karena itu, baik dalam
gereja maupun keluarga, kalau memang dibutuhkan, kita harus berani bertindak
keras terhadap orang yang jelas-jelas berdosa dan tidak mau bertobat!
Apakah imam Eli adalah
Imam yang jahat? Menurut saya tidak. Imam Eli adalah Imam yang cukup
bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Tuhan juga mendengarkan ucapan imam
Eli. Sehingga apa yang dikatakannya terjadi pada keluarga Elkana dan Hana. Hal
ini menunjukkan kepada kita bahwa imam Eli sebenarnya tidak sembarangan dalam menjalankan
tugasnya sebagai Imam. Dia memperhatikan umat, mau mendengar permasalahan umat.
Lalu apa yang menyebabkan anak-anaknya menjadi dursila?
Kemungkinannya adalah imam
Eli jarang sekali atau tidak pernah berdoa bagi anak-anaknya. Bandingkan dengan
Samuel yang juga tinggal di tempat yang sama. Dia tidak seperti anak-anak imam Eli.
Alkitab mencatat dalam 1 Samuel 2:26, bahwa Samuel semakin disukai baik oleh
Tuhan dan oleh jemaat. Kenapa bisa begitu? Kita lihat perhatian dari orangtuanya
sangat besar terhadap Samuel. Saya yakin setiap hari nama Samuel pasti disebut
dalam doa orangtuanya. Dukungan doa yang tidak putus dari Elkana dan Hana
membuat Samuel tetap berada di jalan yang benar walaupun berada di dekat
anak-anak Eli.
Bagi kita yang sudah
dikaruniai anak, marilah kita menyebut nama anak-anak kita satu-persatu di dalam
doa pribadi kita setiap hari. Ingat bahwa di sekitar anak-anak kita lebih
banyak pengaruh buruk dibandingkan pengaruh baik. Bagaimana kita membentengi
anak kita dari pengaruh buruk? Jawabannya adalah dengan DOA.
Dengan demikian saudara, ingat-ingatlah
apa yang akan kita perbuat. Jangan hanya lihat jangka pendeknya saja tapi juga pertimbangkanlah
akibatnya untuk jangka panjang. Sebelum nasi menjadi bubur,
marilah kita kembali mengingat apa yang Tuhan kehendaki bagi anak-anak kita.
Artinya
kita tidak boleh meremehkan tugas mendidik anak-anak dan memperhatikan
pertumbuhan kerohanian mereka. Tugas kita sebagai orang tua sangatlah penting
dalam menentukan masa depan anak-anak kita. Kita mungkin dapat dikenal baik dan
memiliki reputasi tinggi di masyarakat, tetapi apa jadinya jika anak-anak kita
hidup tidak takut akan Tuhan. Karena Tuhan lebih memperhatikan apakah kita
memimpin keluarga kita pada takut akan Tuhan, dibandingkan reputasi kita. Amin