IMAN HARUS NYATA DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN PRAKTIS
Matius 17:24-27
Bapak/ ibu yang kekasih,
Iman
yang benar bukan
sekedar sebuah teori
yang memenuhi alam pikiran
kita, tetapi iman
yang benar lebih kepada sebuah terobosan yang menerapkan isi firman Tuhan dengan bijaksana. Iman Kristiani bukan iman duniawi, yang memakai cara-cara duniawi dan dengan format duniawi.
Karena itu bapak/ ibu yang kekasih,
Kekristenan yang asli adalah kemampuan menerapkan iman sejati dalam kehidupan praktis secara bijaksana,
termasuk dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam kehidupan kita. Demikianlah
firman Tuhan dalam Yakobus 2:26 yang berkata: “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati,
demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.”
Berbicara tentang Hak dan Kewajiban, ini adalah dua hal
yang sangat melekat dalam kehidupan kita. Kedua-duanya harus memiliki perhatian
yang seimbang dalam menjalankannya. Sebab jika hak tanpa disertai dengan kewajiban
maka itu adalah sebuah keserakahan. Sebaliknya kewajiban tanpa disertai dengan
hak adalah kesewenang-wenangan.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan, jika kita
memperhatikan Matius 17:24-27 lebih seksama, sebenarnya perikop ini bukan sekedar membahas
soal bea
untuk Bait
Allah. Tetapi pokok persoalannya
adalah ada pada bagaimana caranya kita menerapkan iman dengan tepat melalui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada kita.
Berbicara
soal kewajiban, khususnya
dalam hal membayar
pajak, rupaya bukan hal baru bagi
kita. Kewajiban ini sudah terjadi sejak jaman dulu. Dalam Keluaran 30:11-16 kita melihat bagaimana Allah
memerintahkan Musa untuk menetapkan suatu persembahan khusus bagi Tuhan.
Inilah yang melatarbelakangi kisah yang ditulis dalam Matius 17:24-27 ini.
Saudara dalam PL, pajak ini dibebankan kepada umat sebagai bentuk
tanggung jawab mereka terhadap
pemeliharaan dan kelangsungan aktivitas di Bait Allah waktu itu. Maka berdasarkan Keluaran 30:13, ditetapkanlah setiap
laki-laki Yahudi yang berusia diatas dua
puluh tahun harus membayar pajak tahunan Bait Allah sebesar setengah syikal. Pembayaran
setengah syikal yang diwajibkan
bagi semua orang ini dipergunakan untuk
mengganti semua biaya yang berkenaan dengan penyembahan di
sana.
Bait Allah di Yerusalem membutuhkan biaya sangat besar
untuk memeliharanya. Setiap hari pastinya ada kurban pagi hari dan sore hari
yang masing-masing membutuhkan seekor anak domba berumur satu tahun. Disamping anak
domba yang dipersembahkan, ada juga anggur, tepung dan minyak yang
melengkapinya. Demikian juga dengan kemenyan yang dibakar setiap hari harus
dibeli dan dipersiapkan. Jubah para imam yang mahal harus selalu diganti, dan
jubah Imam Besar sendiri harganya senilai pakaian seorang raja. Itu semua semua
membutuhkan uang.
Saudara,
Uang
ini disebut sebagai,
“uang
pendamaian karena nyawanya” (Keluaran 30:12). Dan nilai setengah syikal adalah sama nilainya dengan dua
drakhma/Dinar Yunani. Yang pada zaman Tuhan Yesus biasanya disebut sebagai Dirham.
Dalam hal ini, bea Bait Allah sebesar 2 Dirham adalah setara dengan gaji 2 hari kerja
waktu itu. Bea
yang dituntut bukanlah pembayaran sipil kepada pemerintahan Romawi tetapi sebagai tanggung jawab
keagamaan, khususnya pajak bagi
Bait Allah.
Bapak/ ibu yang kekasih dalam Tuhan,
Dikisahkan ketika Yesus tiba di
Kapernaum (tempat dimana Petrus dilahirkan),
demikian dituturkan oleh nas kita, pemungut pajak datang dan bertanya kepada
Petrus, salah seorang murid Yesus:
“Apakah
Gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?” Petrus menjawab, “Ya, memang membayar” (Ayat
24-25).
Saudara,
pertanyaan para pemungut bea ini
sebenarnya sangat sederhana, tetapi jika kita kritisi lebih mendalam pertanyaan ini bukan sekedar sebuah
pertanyaan, sebab di dalamnya terkandung unsur jebakan layaknya suatu
pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang Farisi. Karenanya saat penagih
pajak ini tahu bahwa Tuhan Yesus tengah menginap di rumah Petrus, mereka
bertanya kepada Petrus, yang menjadi pemilik rumah.
Atau kemungkinan yang lain adalah para petugas ini
memiliki keseganan untuk bertanya langsung kepada Tuhan Yesus. Rupanya mereka
tidak berani terang-terangan menjumpai Tuhan Yesus, sehingga ia hanya bertanya
kepada Petrus.
Yang jelas saudara, percakapan petugas bea Bait Allah
dengan Petrus ini begitu singkat dan mungkin sekali terjadi di depan pintu
rumah Petrus. Karenanya ketika Petrus hendak masuk kembali ke dalam rumah,
secara ajaib Tuhan Yesus tahu apa yang terjadi dan bagaimana Petrus menjawab
mereka.
Saudara, dikatakan sebagai jebakan, sebab pertanyaan ini
dilontarkan dengan tujuan yang jahat, petugas bea Bait Allah ini sebenarnya mengharapkan
jawaban “tidak”
dari Tuhan Yesus.
Perhatikan saudara, kalau seandainya Tuhan Yesus menolak untuk membayar, pastinya ada alasan bagi mereka akan
mengatakan bahwa Tuhan Yesus
adalah seorang
yang tidak menghargai ibadah di Bait Allah, dan para pengikut-Nya adalah
orang-orang yang tidak taat pada
hukum, karena
tidak lagi membayar pajak, upeti atau bea (bdk. Ezra
4:13). Dengan demikian, sangat
mudah bagi mereka untuk mendiskreditkan Tuhan Yesus, sebagai seorang pemimpin
bangsa Yahudi yang tidak nasionalis.
Dilain pihak, coba perhatikan bagaimana Petrus menjawab
pertanyaan mereka dengan spontan: “Memang membayar” Sehingga dengan
jawaban ini maka petugas itu langsung pergi, dengan pengertian bahwa bea itu
akan dibayarkan kelak.
Saudara, jika kita membaca percakapan Tuhan Yesus dengan
Petrus kemudian, saat Petrus mengatakan “dari orang asing?” (ayat 25), maka sebenarnya
jawaban ini tidak cocok dengan jawaban Petrus kepada pemungut
bea.
Dari sini kita mendapat kesan bahwa Petrus menjawab para
petugas pajak itu dengan ngawur, ia sekedar menyenangkan hati mereka, supaya percakapan itu
tidak menyulitkan dia. Ia mengatakan sesuatu yang tidak dipikir lebih dahulu. Hal
ini terjadi karena reaksi Petrus kepada Kristus tidak tepat.
Saudara, respon sejati seharusnya
dipikir baik-baik, respon sejati
seharusnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Demikian pula saat kita menjawab karena
takut kepada manusia dan ingin menyenangkan manusia maka jawaban kita pastinya akan menjadi ngawur. Sebaliknya basis jawaban kita
seharusnya berpusat kepada Kristus yang berdaulat atas kita. Jadi jangan asal jawab! Iman sejati pastinya memberikan kepada kita jawaban sejati.
Iman
bukan hanya ada di awang-awang tapi iman itu nyata, yaitu bagaimana kita
menghadapi persoalan di dunia ini, bagaimana kita bereaksi dengan tepat kepada
Kristus ketika kita menghadapi persoalan di dunia ini. Kalalu iman kita tepat
maka jawaban kita pastinya juga
tepat.
Jika demikian, jika Petrus sadar bahwa dia sudah salah menjawab kepada pemungut bea. Dalam kondisi
seperti ini, pastinya ada
macam-macam pilihan reaksi yang dapat timbul yaitu:
1. Petrus tetap melakukan pembayaran.
Karena
Petrus sudah
berani berbicara,
maka yang harus
dia lakukan adalah ia harus segera membayar bea. Tetapi
jika hal
ini dilakukan, bukankah akan berdampak
buruk terhadap status Tuhan Yesus. Dia yang adalah Allah, Raja di atas segala
raja masakan soal membayar bea
harus dibayarkan oleh anak buah.
2.
Petrus mencabut omongannya,
Ketika Petrus sadar
bahwa ia telah salah berbicara, seharusnya ia akan bergegas mencari petugas bea
dan meralat perkataannya dan mengatakan bahwa Gurunya tidak mau membayar. katakan
kalau tidak mau bayar. Saudara ini lebih
celaka! Karena ini bukan hanya memalukan Petrus, tetapi pastinya
ia akan dianggap telah melakukan konspirasi dan seorang pelanggar hukum.
3. Yesus yang bayarkan.
Saudara pilihan ketiga mungkin lebih aman sebab
seharusnya Yesus memang membayar. Tetapi rupanya pilihan ini juga salah,
karena Raja di atas segala raja seharusnya tidak perlu bayar.
Jadi apa yang harus dilakukan oleh Petrus? Situasi
ini rupanya bertambah rumit bagi
Petrus. Karenanya saat ia memalingkan wajahnya hendak masuk ke dalam rumah,
Tuhan Yesus tahu apa yang terjadi. Dan Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus: “Apakah pendapatmu,
Simon? dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya
atau dari orang asing?” (ayat 25) Jawab Petrus: “Dari orang asing!”
Maka kata Yesus kepadanya: “Jadi bebaslah rakyatnya” (ayat 26).
Dari sini kita memahami, bahwa Tuhan Yesus sedang ingin
mengetahui secara pribadi mengenai isi hati Petrus. Bagaimana dia memahami
tentang pribadi Yesus dan bagaimana iman Petrus kepadaNya. Nyatanya saat Tuhan
Yesus menanyakan secara lembut satu pertanyaan yang menyentuh hatinya, Petrus
baru menyadari sehingga ia mampu menjawabnya dengan benar. Karena itu ia
berkata: “Dari
orang asing!” Maka kata Yesus kepadanya: “Jadi bebaslah
rakyatnya” (ayat
26).
Jika demikian, apakah masalahnya selesai sampai disitu?
Belum saudara! Masih ada satu hal yang penting yang ingin Tuhan Yesus ajarkan
kepada Petrus dan juga kepada kita hari ini, yaitu.
Kita tahu bahwa pemerintah Romawi saat itu sedang menjajah
tanah Palestina, mereka memungut pajak dari bangsa Yahudi. Para pemungut cukai
atau pajak ditugaskan untuk memungut pajak untuk pemerintah Romawi.
Nyatanya bila seorang raja memungut pajak dari suatu
bangsa, maka ia pasti membebaskan keluarganya sendiri dari kewajiban itu. Pajak
itu justru dipungut untuk menanggung biaya keluarga raja.
Nah sekarang, pajak yang dipersoalkan disini adalah pajak
bagi Bait Allah, yang adalah rumah Allah. Kita memahami bahwa Tuhan Yesus
adalah Anak Allah. Bukankah Ia pernah berkata ketika orang tuaNya mencariNya di
Yerusalem: “Tidakkah
kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah BapaKu?” (Lukas 2:49).
Jadi bagaimana mungkin Anak wajib membayar pajak bagi rumah BapaNya sendiri?
Sebenarnya
Yesus, selaku Anak Allah, secara pribadi tidak berkewajiban untuk membayar bea
bagi rumah Allah. Ia seharusnya bebas
dari soal tanggung jawab membayar pajak untuk Bait Allah.
Tapi
disinilah hal yang penting
untuk kita simak. Dalam ayat 27 dijelaskan: “Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka...”
Saudara, perkataan Tuhan Yesus ini adalah hal yang luar biasa, suatu
sikap yang menandakan kerendahan
hati. Memang dalam
soal Tuhan Yesus
membayar bea untuk Bait Allah merupakan bentuk pemenuhan tuntutan pemimpin Agama. Dan sekarang Ia pun memenuhi tuntutan pembayarnya bea bagi diri-Nya yang sekalipun Dia adalah Anak Allah.
Karena itu saat pertanyaan Tuhan Yesus ditujukan kepada
Petrus secara pribadi bahwa raja-raja memungut pajak dan bea itu hanya dari
orang-orang asing, maka sebenarnya Tuhan Yesus hendak menyatakan satu hal bahwa
Ia sekalipun lahir ditengah-tengah bangsa Yahudi, tetapi sebenarnya Ia bukanlah
bangsa Yahudi.
Kalau Tuhan Yesus bukan seorang Yahudi, lalu dari bangsa
manakah Dia? Saudara, jawabannya sederhana: “Tuhan Yesus adalah Anak Allah. Ia datang dari sorga ke
dalam dunia, dilahirkan dalam bangsa Yahudi untuk menyelamatkan umat manusia
dari hukuman Allah atas dosa manusia. Ia adalah Pencipta langit dan bumi. Ia
menciptakan ikan yang ada di danau. Ia mengenal ikan yang membawa empat dirham
itu.”
Ungkapan Tuhan Yesus tentang “Supaya tidak menjadi batu sandungan” bukan
berarti Ia tunduk
kepada aturan dunia, tetapi
berusaha menghormati
apa yang diatur oleh
dunia,
dan supaya tidak menjadi
contoh yang buruk sehingga tidak memberi kesaksian yang baik bagi orang lain
mengenal Kerajaan
Allah.
Pada sisi yang lain, Tuhan Yesus mengerahkan
kuasaNya menolong Petrus agar
bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain. Tetapi ini bukanlah karena sebuah tuntutan kewajiban dunia, melainkan
karena ada kewajiban yang lebih tinggi yang harus Ia penuhi. Karena itu
Tuhan Yesus berkata: “Kita harus membayar supaya jangan memberi contoh buruk
bagi orang lain. Kita tidak hanya harus melakukan tugas kita, tetapi kita juga
harus melaksanakan hal-hal yang lebih besar karena dengan cara itu kita
menunjukkan kepada orang lain hal-hal yang seharusnya mereka lakukan.”
Dalam hal ini saudara, Tuhan Yesus tidak akan membiarkan
diriNya mengajarkan sesuatu yang dapat membuat orang mengabaikan kewajiban
hidupnya sehari-hari. Karena itu kita pun tidak boleh membiarkan diri kita
menjadi contoh buruk bagi orang lain.
Ketika Tuhan Yesus diperhadapkan dengan soal kewajiban orang
Yahudi untuk membayar pajak bait Allah, Ia pun tidak menghindar, karena nyataannya kewajiban membayar
pajak Bait Allah tidak tercantum dalam hukum Taurat. Peraturan
itu dibuat oleh para pemimpin agama. Tetapi walaupun demikian, Tuhan Yesus
tetap membayarnya karena Ia tidak
ingin menjadi batu sandungan bagi para pemimpin agama (ayat 27).
Dengan demikian Ia tidak menjadikan diriNya suatu pertentangan dengan para pemimpin agama Yahudi karena tidak menaati peraturan. Sebaliknya, dalam hal ini Tuhan Yesus telah memperlihatkan bahwa hak dan kewajiban adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang yang punya “hak” maka konsekwensinya dia juga harus punya “kewajiban dan tanggung jawab.” Semakin besar hak dituntut maka semestinya semakin besar pula kewajiban atau tanggung jawab yang diemban.
Dengan demikian Ia tidak menjadikan diriNya suatu pertentangan dengan para pemimpin agama Yahudi karena tidak menaati peraturan. Sebaliknya, dalam hal ini Tuhan Yesus telah memperlihatkan bahwa hak dan kewajiban adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Orang yang punya “hak” maka konsekwensinya dia juga harus punya “kewajiban dan tanggung jawab.” Semakin besar hak dituntut maka semestinya semakin besar pula kewajiban atau tanggung jawab yang diemban.
Kalau Petrus mengakui bahwa Kristus adalah Tuhan, Mesias Anak Allah yang Hidup. Raja
di atas segala raja. Seharusnya
Petrus menjawab bahwa Tuhan Yesus tidak perlu bayar bea, Dialah pemilik alam
semesta ini, justru manusia yang seharusnya bayar kepada Tuhan Yesus. Semua
persembahan seharusnya diberikan kepada Tuhan.
Saudara, Kita seringkali tidak menempatkan Kristus
sebagai Allah kita. Kalau ada yang tanya tentang Kristus, seharusnya kita jawab
bahwa Dia adalah Tuhan, Raja di atas segala raja. Kita seringkali takut
menyatakan kebenaran. Konsep tentang Allah adalah pemilik hidup kita seringkali
tidak diaplikasikan dalam hidup kita.
Iman
sejati adalah iman yang menyatakan siapakah Kristus itu. Hampir seluruh
kekristenan sudah salah memandang kepada Kristus. Kristus diperlakukan sebagai
pembantu, sebagai teman baik. Padahal,
Kristus adalah satu-satunya objek iman yang patut kita pegang.
Kalau kita berpegang kepada Kristus,
pastinya kita
tidak akan hanyut oleh arus dunia.
Jawaban
Tuhan Yesus atas persoalan yang dihadapi Petrus di atas adalah: Petrus harus
jalan ke danau, lalu mancing, di dalam mulut ikan pertama yang diperoleh ada
uang 4 dirham, pakai uang tersebut untuk bayar bea. Jadi yang membayarkan bea sebenarnya adalah ikan yang dipakai
Tuhan. Dalam hal ini, Petrus
tidak menjadi malu, Tuhan Yesus sebagai Raja di atas segala raja juga tidak
melakukan pembayaran.
Dengan demikian, Tuhan pastinya punya cara dan sistim diluar pemikiran manusia. Otak kita cuman 300 cc, jadi jika kita mengandalkan otak kita, tidak
mungkin kita sanggup
memikirkan pemecahan dari persoalan
dunia. Yang dapat kita lakukan
adalah percayakan sepenuhnya hidup kita kepada Kristus, maka Dia yang akan
menyelesaikannya.
Iman
Kristen adalah iman yang realistis artinya apa yang kita imani mampu direfleksikan dalam
kehidupan praktis kita. Beriman kepada Kristus berarti kita
melakukan satu terobosan dari sekedar menjalani kehidupan.
Dengan demikian, Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa iman Kristen dan
Kewarganegaraan yang baik seharusnya dapat berjalan bergandengan tangan. Orang
kristen yang membebaskan dirinya dari kewajibannya sebagai warga negara yang
baik tidak hanya gagal menjadi warga negara, tetapi ia juga gagal dalam
menjalankan iman Kristennya.
Iman
Kristen bukan hanya untuk hari ini saja, tapi untuk seluruh perjalanan waktu
hidup kita, kita harus jatuh bangun dalam menghidupi iman kita, yang akan
membawa kita semakin hari semakin bersandar kepada Tuhan. Itulah pertumbuhan,
itulah proses pengudusan (sanctification). Amin
halodoc
BalasHapuswithoutimage.xyz
Renungan Harian Katolik